Skip to main content

Tentang Arsitek(tur) dan Seni Mengalami Kebaruan


Photo by tarlen

(tulisan ini, tidak ada maksud untuk menyerang siapapun atau profesi tertentu. Apa yang ditulis di sini adalah murni kegelisahanku semata, sebagai seseorang yang pernah sangat-sangat ingin menjadi seorang Arsitek dan kemudian berubah pikiran. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa aku bunuh.
Namun menuntutku untuk mencoba mencari jawabannya)


"Seni adalah keterampilan untuk mengalami kebaruan-kebaruan dalam hidup."

- Bambang Sugiharto, ECF, Unpar, 16 Maret 2007-

Hari kemarin, aku harus mengahadapi hal yang membuatku heran. Akhir bulan ini, Common Room dan kineruku berencana memutar film-film pendek dan animasi dari Resfestival 2006 di Bandung. Karena materinya sangat cocok dengan kampus-kampus seni dan desain, kami memutuskan untuk mengajak pihak-pihak kampus tersebut untuk bekerjasama. Salah satunya adalah sebuah program studi arsitektur di salah satu kampus di Bandung. Dari beberapa dosen yang menjadi kontak person, mereka mendukung program ini, karena mereka pikir mahasiswa/i perlu mendapat alternatif lain sebagai materi pembelajaran. Toh materi Resfest sendiri banyak mengeksplorasi seni dan teknologi dengan content yang banyak berhubungan dengan persoalan arsitektur dan urbanism.

Keherananku muncul, saat ketua program studi jurusan tersebut mengimel padaku, mengatakan bahwa belum bisa bekerjasama karena tidak ada kegiatan yang bisa mewadahi pemutaran film dan kegiatan ini dianggap tidak sesuai dengan tema program studi arsitektur. Spontan aja baca email itu, dahiku berkerut dan menampakan muka terheran-heran, kok bisa merasa tidak sesuai dengan tema ya? Pertama, lihat film-filmnya aja belum. Kedua, bagaimana mungkin film, grafik animasi, desain, apalagi tema-temanya juga banyak yang berhubungan dengan urbanism, tidak terkait dengan studi arsitektur?

Beneran loh, aku jadi kepikiran. Kenapa ya untuk sebuah disiplin ilmu yang sesungguhnya gabungan dari art dan teknologi ini, justru sebagian orang yang mumpuni dan punya power disitu, malah membuat sekat-sekat pemisahan yang jelas. Bagiku, apapun itu jika memang berhubungan dengan seni, apapun bisa jadi nyambung. Karena seni adalah keterampilan untuk mengekplorasi kebaruan hidup, imajinasi yang kreatif dan menuntut untuk selalu di eksplorasi. Dan hal ini nyambung dengan pembicaraanku dengan temanku yang arsitek. Disela-sela pembicaraan kami tentang materi spirituality anonymous, kami berdiskusi tentang bagaimana profesi seringkali justru membangun sekat-sekat yang mengekang diri untuk mengeksplorasi imajinasi itu. Contoh pengekangan dalam konteks tulisanku ini ya, anggapan bahwa menonton film-film yang aku tawarkan itu, ga sesuai dengan bidang studi arsitektur. Gimana bisa melahirkan karya-karya yang menawarkan kebaruan itu, jika belum apa-apa sekat-sekat itu sudah ditanam kuat.

Aku sempat berdebat dengan teman arsitekku itu, bagaimana seniman menurut temanku itu, punya keleluasaan yang lebih besar, karena dia lebih soliter. Sementara menurut temanku, arsitek punya batasan karena harus bernegosiasi dengan banyak hal: ada insinyur sipil, ada drafter, ada mandor dan yang lain. Aku membantah pernyataan itu dan mencoba melihat hal itu dari sisi yang lain. Bukankah, Arsitek justru punya tools yang lebih 'kumplit' karena apa yang dia lahirkan sebagai sebuah karya (seharusnya) merupakan proses negosiasi dengan sekelilingnya (anggota timnya, masyarakat, lingkungan, pemilik modal, dll). Tentunya menegosiasikan ide kratif kepada banyak pihak bukanlah hal yang sederhana. Pada titik ini kupikir karya seorang seniman lebih 'menawarkan' cara mengalami kebaruan itu, karena intensitas personal senimannya menjadi sangat terasa. Sementara karya seorang arsitek justru 'membentuk' cara mengalami kebaruan itu. Karena ada proses mengalami yang dibentuk oleh ruang. Aku ga tau, apa karena bermain-main dengan ruang kemudian membuat sekat yang dibangun, bukan hanya menandai batas, tapi juga mengurung diri dalam teritori yang seolah tak bisa dilanggar?

Pernyataan lain yang menarik untuk disimak dari temanku yang arsitek itu adalah: "mungkin arsitek selama ini terjebak dalam persoalan teknis. Sebagaian besar waktunya justru habis untuk menyusun kertas kerja daripada bereksplorasi dengan kebaruan-kebaruan itu. Dengan maksud bercanda, aku mengatakan pada temanku arsitek lain yang lebih senior: "keluarkan bakat rocker terpendammu." Karena sepengelihatanku, kejaimannya yang selama ini dikondisikan oleh lingkungan, membuat ekspresinya terepresi ketika ingin merayakan kebaruan-kebaruan dalam hidupnya (Mmm.. mungkin saja dalam hal ini aku sebenernya terlalu cepat menilainya, dan penilaianku salah. maaf ya..).

***

Bagiku ga jadi masalah juga ketika 'sekat' itu di tutup oleh orang yang berpengaruh dalam program studi arsitektur itu. Meski pun tetap terheran-heran: 'kok, bisa?' bagaimanapun juga sebuah tawaran untuk menikmati kebaruan-kebaruan lewat resfest 2006, bisa saja disambut dengan semangat ataupun penolakan sama sekali. Semua balik ke persoalan sejauh mana, kebaruan itu diinginkan.

(terima kasih untuk kampus-kampus yang mau mengalami kebaruan imajinasi lewat ResfestI10 Goes2 Bandung)

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...