Skip to main content

Posts

Showing posts from 2011

Secangkir Kopi Dari Playa, Ketika Ideologi Kehilangan Rasa Cinta

Jarak dari Minggiran dan Kedai Kebun, kurang dari 500m, namun malam itu (19/12) Yogjakarta basah. Hujan tak kunjung berhenti, meski rintik tapi cukup kerap. Dari lima tiket yang sengaja kubeli, hanya dua saja yang ternyata terpakai. Tanpa Akum, Gendis memutuskan ikut meski terlihat ragu. Mas Sudi, mengantarkan aku dan Gendis ke Kedai Kebun, tempat berkumpul para penonton yang akan menonton pertunjukkan Papermoon Puppet Theatre : Secangkir Kopi Dari Playa . Sesampai di Kedai Kebun, antusiasku bertambah karena bertemu teman-teman. Sementara mata Gendis mulai berkaca-kaca ketika menyadari dialah satu-satunya anak kecil di ruangan itu. "Tante aku mau pulang," katanya hampir terisak. Aku tidak bisa memaksanya tetap ikut menonton pertunjukkan ini. Ya sudah, aku hubungi mas Sudi untuk menjemput Gendis kembali. Tak lama malah bapaknya muncul. Rupanya Gendis mengsms bapaknya juga, minta di jemput. Bapaknya Gendis datang dengan temannya, Lipi, seorang seniman perempuan dari Bangl

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah

Museum Punya Siapa?

foto oleh vitarlenology Beberapa waktu lalu, seorang teman memberitahukan bahwa sebuah museum pemerintah di Bandung membuka lowongan sukarelawan. Berbekal niat, ingin mengamalkan ilmu dan pengalaman permuseuman yang pernah kuperoleh beberapa tahun lalu, aku pun mendaftar sebagai sukarelawan. Rasanya sayang aja kalau ilmu dan pengalamanku itu tidak kuamalkan di museum di kota tempat tinggalku ini. Baru ikut dua kali pertemuan, aku udah nyaris putus asa. Museum yang kutemukan tidak seperti yang kuharapkan (aku sempat menyalahkan diri sendiri, menganggap diriku bodoh karena menaruh harapan pada museum pemerintah). Fakta yang kutemukan, seorang kepala museum pemerintah itu merangkap kerja sebagai kurator museum, artistik, humas, programer, bendahara, bahkan eksekutor urusan teknis. Akibatnya, sulit sekali menemukan kualitas pada proses penyelenggaraan pameran yang serius, karena pekerjaan yang tumpang tindih itu tadi. Padahal referensi yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pamer

Mari Mulai Mengatur Ide

foto by vitarlenology Ketika memulai Tobucil , tahun 2001 lalu, aku memulainya dengan semangat, antusiasme dan ide-ide yang membludak. Belum selesai satu ide di jalankan, sudah muncul banyak ide yang lain. Rasanya ingin menjalankan semua ide-ide itu dalam satu waktu sekaligus. Awalnya mengikuti perjalanan ide di saat memulai usaha, sangatlah menyenangkan dan menggairahkan.  Namun ketika guliran ide menjadi seperti bola salju yang kian membesar, aku menjadi kewalahan dan akhirnya terlibas olehnya. Aku tidak lagi bisa mengendalikan ide-ide itu, tapi ide-ide itulah yang mengendalikan aku. Aku merasakan tanda-tanda  ketika aku  dikuasai oleh ide adalah ketika aku merasa kewalahan dengan ide-ide  itu sendiri. Terlalu banyak ide yang menggelinding, sampai-sampai aku ga tau ide mana dulu yang perlu di realisasikan.  Aku jadi kehilangan kemampuan untuk membuat skala prioritas, karena semua ide sangat menggoda dan menarik perhatian. Semua ide seperti minta di realisasikan dalam waktu yan

Dua Puluh Tahun Tumbuh Bersama Pearl Jam

Tulisan yang aku posting di sini adalah versi sebelum di edit redaksi majalah Tempo, versi majalah bisa di baca dengan mengklik gambar di atas Saat Eric Clapton sibuk menyanyikan Tears in Heaven di panggung MTV Video Music Award 1992, Eddie Vedder  (vokalis Pearl Jam) dan Kurt Cobain (vokalis Nirvana), malah sibuk berdansa dengan mesra di belakang panggung. Orang-orang di sekelilingnya tampak tidak mempedulikan mereka. Usai berdansa, mereka berdua berpelukan layaknya dua orang sahabat. Gambaran ini jauh dari gembar-gembor media yang saat itu justru sibuk memposisikan Pearl Jam dan Nirvana sebagai rival  yang saling bermusuhan. Cameron Crowe, jurnalis dan sutradara yang dikenal lewat film Singles (1992), Jerry McGuire (1996), Almost Famous (2000)  menyusun kembali footage sepanjang 1200 jam menjadi film dokumenter berdurasi 109 menit dengan judul PJ20 .  Film ini diputar sekali saja secara serentak di seluruh dunia pada tanggal 20 September, termasuk Indonesia. Up

Pertanggung Jawaban Energi

Singapore Art Museum, Agustus 2011. Photo by Vitarlenology "Please take responsibility for the energy you bring into this space." Hampir setahun terakhir ini, aku belajar Tai Chi. Sebuah ilmu bagaimana mengolah energi yang ada dalam diri yang menemukan keseimbangannya dengan energi semesta. Hal yang memotivasiku untuk belajar Tai Chi yang biasanya populer dilakukan oleh para orang tua adalah sebuah adegan di film (aku lupa judulnya) yang diperankan oleh Jet Li. Di film itu, Jet Li mengalami gangguan jiwa setelah di kalahkan oleh musuhnya. Dalam kondisi seperti itu yang dilakukannya adalah memandangi bagaimana air di dalam baskom bergerak-gerak mengikuti angin yang bertipu. Dari situ, Jet Li justru menemukan rahasia untuk mengalahkan musuh yaitu melawan musuh dengan energi si musuh itu sendiri. Semakin besar energi musuh yang digunakan untuk menyerangnya, semakin besar pula energi yang didapatkannya untuk menyerang balik si musuh. Jadi sebenernya Jet Li, tidak mengelua

Only a Dad

My Dad By Edgar Albert Guest 1881–1959   Only a dad, with a tired face, Coming home from the daily race, Bringing little of gold or fame, To show how well he has played the game, But glad in his heart that his own rejoice To see him come, and to hear his voice. Only a dad, with a brood of four, One of ten million men or more. Plodding along in the daily strife, Bearing the whips and the scorns of life, With never a whimper of pain or hate, For the sake of those who at home await. Only a dad, neither rich nor proud, Merely one of the surging crowd Toiling, striving from day to day, Facing whatever may come his way, Silent, whenever the harsh condemn, And bearing it all for the love of them. Only a dad, but he gives his all To smooth the way for his children small, Doing, with courage stern and grim, The deeds that his father did for him. This is the line that for him I pen, Only a dad, but the best of men .   Puisi

Hey Para Orang Tua, Kejujuran Macam Apa yang Ingin Kau Ajarkan Pada Anak-anakmu?

Orang tua murid seorang sisa SD berinisial AL yang melaporkan kecurangan sekolah, karena membiarkan muridnya mencontek masal pada saat ujian, malah dilabrak banyak orang tua murid lainnya. Akibat laporan ini, kepala sekolah dicopot dari jabatannya. Para orang tua murid yang marah ini, tidak terima orang tua AL melaporkan kecurangan itu dan membuat ujian akhir terancam harus di ulang lagi. Orang tua AL yang berprofesi sebagai buruh dan penjahit ini, malah dimaki-maki. Reaksi ini membuat orang tua AL minta maaf karena tidak bermaksud mempermalukan nama sekolah. (Baca berita lebih lengkapnya di sini dan di sini ). Aku bener-bener terpaku bisu. MASYARAKAT  MACAM APA INI???? yang salah dibenarkan, yang benar malah disalahkan. Semula aku masih mengira, apa ini mimpi buruk? karena film-film Hollywood yang sering dituduh merusak moral generasi muda, sejauh yang aku tonton justru mengajarkan nilai moral sebaliknya: 'Kejujuran adalah hal penting yang harus kamu bela sampai mati sekalipun

Ibu, Bapak dan Sinkronisasi Keyakinan

Saat kondisi bapakku tiba-tiba kritis dan sakratul maut datang menjelang, ibuku bertanya pada bapakku: "Pak, Kamu ingin menghadap Tuhan ditunggui pastor atau orang-orang mesjid? Ibu ikhlas, kalau bapak, mau kembali menghadap Tuhan dalam Katolik, ibu tidak akan menghalangi.." Bapakku dengan nafas terakhirnya yang tersengal-sengal, menjawab: "Bapak ingin menghadap Tuhan dalam Islam. Bapak sudah yakin bu.."  *** Saat menikahi ibuku, bapakku menyetujui mengikuti agama ibuku daripada tetap dalam Katolik. Dua kalimat syahadat menjadi mas kawin pernikahan mereka. Namun pindah agama bukan persoalan mengganti tulisan di KTP atau kartu identitas dari agama A mejadi B. Bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan tiada rasul selain Muhamad, tidak serta merta mengiringi berpindahnya sebuah keyakinan. Meski pindah agama, bapakku membesarkan anak-anaknya tetap dalam disiplin dan logika Katolik yang begitu kental. Bapakku memang tidak pernah mengemukakan doktrin-doktrin Kato

I Follow You Into The Dark *)

James Franco If there's no one beside you when your soul embarks Then I'll follow you into the dark - Death Cab for Cutie - Hal yang cukup mengagetkan namun sekaligus bisa dimengerti di awal bulan ini adalah James Franco mendelete account twitternya. Setelah sebulan setengah, James 'berkicau' pada para penggemarnya lewat foto-foto, video aktivitas dia sehari-hari_ sehingga aku yang ada di Bandung, tiba-tiba bisa merasa menjadi teman dekatnya. Bagaimana tidak, keseharian James yang selama ini (sebelum dia buka account twitter) adalah sesuatu yang jauh dan hanya dalam bayangan belaka, setelah bertwitter ria, tiba-tiba sampai isi email buat James saja, penggemarnya bisa tau. Aku rasa mendelete account dengan lebih dari empat ratus ribu follower, bukan hal mudah. Memutuskan  untuk tidak lagi 'dibuntuti' empat ratus ribu pengikut, menurutku itu tindakan yang sangat berani. Itu sama artinya dengan mengambil resiko mengecewakan empat ratus ribu pengikut yang 

Kerinduan Abadi di Hari Ulang Tahun

Ternyata aku masih merindukanmu sebagai teman dekatku, teman berbagi ide dan resah gelisah.. tapi kamu hanya bisa jadi ibu saja dan itu pun sudah cukup berat. Ya sudah. Aku terima saja. Aku simpan saja keinginan itu sebagai kerinduan abadiku saja. Tidak semua yang kuinginkan dan kuharapkan dapat terpenuhi dan biarkan saja begitu karena hidup akan mempertemukannya dengan orang-orang yang tak disangka-sangka, pertemuan-pertemuan yang seperti kebetulan (padahal bukan) untuk memenuhinya. Ibu mungkin tidak bisa jadi teman dekat, tapi teman-teman yang kusebut sahabat, bisa. Jadi kurasa, seperti halnya tidak ada yang abadi dalam hidup, kerinduanpun tak akan pernah jadi abadi. Ada yang mengosongkan, pasti ada yang mengisinya. Dan kerinduanku pada bapak, mungkin tak bisa disebut abadi, karena rasanya berbeda-beda setiap harinya. Mungkin malah tidak  bisa lagi disebut rindu, karena merindukan yang jelas-jelas tidak akan pernah kembali itu pekerjaan yang sia-sia. Dengan menyimpan semua rasa dar

Kawan Sepermimpian

 foto by vitarlenology Beberapa hari lalu aku terhubung dengan adik seorang teman yang dulu pernah membangun cita-cita bersama. Lalu temanku itu meninggalkanku begitu saja untuk cita-cita yang lain. Si adik, tiba-tiba muncul dan memberi dukungan terhadap cita-cita yang pernah kubangun bersama kakaknya. Diam-diam ternyata si adik menyimak dan mengikuti sepak terjangku selama sepuluh tahun terakhir ini. Aku jadi teringat, masa-masa ketika si kakak meneleponku setiap malam dan bermimpi bersama tentang apa yang kukerjakan selama sepuluh tahun ini, bahwa ini akan menjadi begini dan begitu di masa datang. Benar-benar hampir setiap malam. Setiap ada ide baru, sekecil apapun, si kakak akan menelepon dan membahas panjang lebar denganku. Saat si kakak memutuskan untuk meninggalkan Bandung dan pindah ke kota lain untuk menjalani pekerjaan lain, aku sempat terpukul dan bertanya: "bagaimana dengan semua rencana-rencana dan impian yang kita bangun bersama?" Dengan enteng, si kakak