Skip to main content

Posts

Showing posts from 2007

Mengkritisi Gerakan Literasi Lokal

Bral Geura Miang, karya Titarubi "Jika gerakan literasi sekadar ajakan membaca, saya kira semua orang sepakat. Namun, ada apa di balik ajakan itu dan bagaimana implementasinya, itu yang sulit," hal itu terlontar dari Puthut E. A., penulis dan aktivis komunitas Tanda Baca, dalam diskusi "Gerakan Literasi Lokal dan Peluang Membangun Jaringan", beberapa waktu lalu di UGM, Yogyakarta. Apa yang disampaikan Puthut menjadi gugatan atas persoalan klasik negeri ini bahwa gerakan-gerakan sosial seringkali berhenti sebatas jargon belaka. PADA tahun 2003, UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, mengomunikasikan, dan kemampuan berhitung melalui materi-materi tertulis dan tercetak termasuk juga variasi bahan yang sesuai dengan konteks definisi literasi itu sendiri. Dari definisi tersebut, Koiichiro Matsuura, Director-General UNESCO menjelaskan bahwa literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Melaink

Beyond Horizon

Frank M. Charles Memorial Park Sembilan hari (sejak tanggal 21 November 2007) lalu, diriku dipenuhi dengan pertanyaan itu: Ada apa di balik horison? Sebuah berita besar bagi hidupku. Kuterima dengan segenap kebahagiaan. Aku menginginkannya sejak SMA dulu. Lalu berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu dan lolos seleksi , sampai akhirnya aku mendapatkannya. Sebuah perjuangan panjang bagiku. Ya, aku sangat menginginkannya: pergi ke jantungnya metropolitan dunia_ NYC . Rasanya beberapa waktu lalu, keinginan itu masih terasa sebagai impian. Karena aku tau, aku ga mampu untuk menyengaja pergi piknik kesana. Aku harus memperjuangkan kesempatan untuk membuat mimpi itu jadi kenyataan. Ketika aku mendapatkan kabar gambira ini, tiba-tiba langkahku begitu lebar. Aku seperti melompat masuk ke dalam lingkaran impianku itu. Kakiku menjejak di dalamnya dan membuktikan bahwa semuanya bukan lagi mimpi, tapi nyata. Tanganku seperti menyentuh horizon NYCku. Merabanya dan merasakannya. *** Aku ingat pe

Kebahagiaan Satu Meter Persegi

Tuhan Tak Sampai,2005, karya Agus Suwage "Apakah Tuhan membiarkan hambanya mencapaiNya dengan mengabaikan hambanya yang lain?" Sebuah pertanyaan yang muncul di tengah perbincangan akrab kami_aku dan seseorang yang spesial dan banyak membuatku tersadar 'everyday is a new day'. Ia mengajarkanku bagaimana mengalami kota tempat tinggalku. Ini kali kedua kami sarapan pagi di tempat yang sama-sama kami suka_Warung Kopi Purnama. Tempat dimana interaksi komunitas sangat terasa. Di sana dan kami bisa mengamati setiap pelanggan yang datang dan duduk di tempatnya. Sama seperti kami yang untuk kali kedua duduk di meja yang sama dan dengan posisi duduk yang sama. Pembicaraan soal spiritualitas di pagi hari, di antara hiruk pikuk Purnama yang ramai dengan pengunjung. "Rasanya umat mayoritas ini merasa insecure , sehingga harus selalu berteriak, terus menerus minta dimengerti dan tidak lagi cukup toleran pada sekelilingnya, atau kah ini cerminan kerinduan spiritual yang dala

Tiga Hari Bertanya Gambang Kromong Punya Siapa?

Altar Arwah Klenteng Keluarga Liem, Pecinan Semarang, Foto by tarlen Dari Catatan Awal Penggarapan Film Dokumeter Anak Naga Beranak Naga, 2005. Tulisan ini pernah dimuat di Bandung Beyond Magazine, Edisi Chinese Parade Bisa diakses juga di http://anaknagaberanaknaga.com/catatan/index.html . Di blog ini judulnya aku tambahin. Tulisan ini aku posting untuk mengantarkan tulisan yang sedang kubuat soal pendokumentasian seni tradisi menanggapi tulisan Farida Indriastuti di Kompas, ' Dari Kemitren ke Hollywood' *** Mencari jawab atas pertanyaan Gambang Kromong punya siapa? Mungkin tak sesederhana ketika menanyakannya. Keragaman pengaruh yang membentuk musik Gambang Kromong, sangat menarik untuk ditelusuri. Itu sebabnya, ketika ditawari Ariani Darmawan untuk telibat dalam proyek penggarapan film dokumenter Anak Naga Beranak Naga , saya begitu exciting. Sebuah film dokumenter mengenai akulturasi kebudayaan Tionghoa dan Betawi yang melahirkan musik Gambang Kromong, tak mungkin saya t

Creative Treatment of Actuality

Foto by tarlen Kira-kira itulah persepsi John Gierson, pada tahun 1930-an tetang dokumenter. Sejarah panjangnya dimulai sebelum tahun 1900, tepatnya ketika teknologi sederhana gambar bergerak ditemukan. Dari mulai definisi sederhana untuk apapun yang bersifat nonfiksi, sampai perdebatan tentang objektivitas. Jika berbicara tentang film dokumenter, orang seringkali berdebat panjang tentang untuk apa membuat dokumenter. Karena jika tujuannya merekam realitas seobjektif mungkin, sekarang ini pandangan positivistik tentang obejektivitas digugat banyak orang. Ketika seseorang melakukan kegiatan dokumentasi, sesungguhnya realitas yang direkam adalah realitas yang disusun berdasarkan world of view dan background orang yang melakukan aktifitas dokumentasi tersebut. Saya teringat perdabatan panjang antara saya dan beberapa orang dalam tim penulis film dokumenter Anak Naga Beranak Naga *). Kami sepakat bahwa upaya-upaya pendokumentasian itu perlu dilakukan. Apa lagi ketika dokumentasi itu menya

Forgiven Not Forgotten

Nisan bapak, foto by 'kamu' Di hari seperti lebaran ini, hampir setiap orang sibuk merangkai kata, mencari kata-kata indah untuk mengucap maaf. Dan begitulah kejadiannya setiap tahun. Maaf demi maaf, lalu khilaf lagi kemudian maaf lagi, lalu khilaf lagi, maaf lagi.. terus.. seperti siklus yang tak jelas ujung pangkalnya. Tahun ini, aku sendiri ga tau, kata-kata apalagi yang harus kususun untuk mengucap maaf, pada semua kekhilafan yang berulang itu. Aku ga pandai merangkai kata-kata manis, apalagi untuk sebuah ucapan maaf yang sangat ingin kuucapkan dengan ketulusan. Kebingunan ini membuatku memikirkan lagi kata maaf itu. Belum lagi beberapa kejadian yang kualami dan yang beberapa temanku alami membuat perenungan kata maaf itu menjadi sangat relevan buatku. Saat aku sadar diriku ini berbuat salah, sebenarnya tindakan yang kulakukan sendiri telah lewat dan dalam hitungan waktu, kejadian itu ga bisa di putar mundur. Rasa bersalah yang terjadi kemudian karena aku terus menerus kej

Perjumpaan di Lorong Hati

pic: tara mcpherson setiap orang pasti punya lorong panjang dalam hatinya. sebuah lorong yang bisa saja gelap, bisa saja terang benderang, bisa saja berwarna, bisa saja hanya satu warna saja. lorong itu bukanlah tempat yang cukup besar untuk bisa ditapaki oleh siapa saja, karena dia lebih mirip 'sanctuary' bagi setiap orang ketika ingin menjenguk dirinya yang paling dalam. aku punya lorong itu di hatiku. sebuah tempat dimana aku bisa menengok diriku dan menyapanya dengan banyak rasa dan asa. 'hai diri apakabarmu hari ini?' begitu biasanya aku menyapanya. lorongku itu akan membalasnya dengan gema 'apakabarmu' yang bunyinya memantul dari dinding-dindingnya. aku biasa mendatangi lorong itu. melepas lelah, penat, kesedihan dan menorehkan bahagiaku. tidak banyak yang pernah datang mengunjunginya dan biasanya mereka tidak lama. hanya satu dua saja, yang menetap cukup lama bahkan membangun lorong itu kembali, saat gempa merubuhkan seluruh bangunannya. dia membangunnya

Kota Kreatif, Bukan Jargon

WACANA industri kreatif yang ramai akhir-akhir ini dibicarakan, membawa Bandung pada posisi penting dalam pembicaraan ini. Sebagai kota kosmopolit berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini, Bandung dikenal memiliki potensi kreatif yang besar. Mulai dari produk-produk penunjang gaya hidup kaum muda, makanan sampai teknologi informasi yang muncul dari Bandung dan menyebar ke seluruh Indonesia. Wacana industri kreatif sendiri mulai mengemuka di tingkat global dalam lima tahun terakhir ini, ketika negara-negara seperti Inggris mulai mencari sumber-sumber perekonomian baru untuk menggantikan sektor industri manufaktur. Pengembangan industri kreatif ini dianggap menjadi pilihan yang bisa mengakomodasi hak intelektual setiap individu berdasarkan kreativitasnya. UNESCO tahun 2003, mengeluarkan rilis resmi mengenai definisi industri kreatif ini sebagai suatu kegiatan

Ridwan Kamil: "Potensi, Reputasi, & Kompetensi Sudah Tinggi"

Ridwan Kamil, Foto atas kebaikan Islaminur Pempasa DI taman belakang "kantor"-nya, Ridwan Kamil bersama beberapa rekannya tampak asyik berdiskusi. Dari kantor yang lebih mirip rumah di kawasan Sumur Bandung, Urbane Indonesia, sebuah agensi arsitektur menangani berbagai projek arsitektur bernilai triliun di Dubai, Cina, dan selain kota-kota besar di Indonesia. Emil --panggilan akrabnya-- belum lama ini mendapatkan juara dalam perancangan museum tsunami di Aceh dan mendapat International Young Creative Entrepreneur of the Year (IYCEY) British Council, 2006. Berkaitan dengan wacana kota kreatif, Tarlen Handayani dan Wartawan "PR" Islaminur Pempasa mewawancarainya, Sabtu (15/9). Berikut petikannya. Kenapa Bandung yang dipilih sebagai kota kreatif? Ini Bandung banget , ini contoh (Emil menunjuk suasana taman yang menjadi tempat diskusi bersama rekan-r

Persaingan, Pembajakan, Hingga ”Copy-Paste”

”We are the original one,” ujar Fiki C. Satari, Direktur Airplane sekaligus ketua KICK (Kreative Independent Clothing Kommunity) yang merupakan organisasi pengusaha clothing Bandung yang berdiri tahun 2006. Potensi usaha clothing mulai dilirik oleh pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Pencanangan pondasi ekonomi kreatif Jawa Barat tahun 2008-2012, diakui Fiki memberi dampak pengakuan terhadap para pelaku industri clothing dan menempatkan sektor ini sebagai salah satu primadona andalan dalam pengembangan pondasi ekonomi kreatif Bandung. Namun jika ditelisik lebih jauh, perkembangan beberapa sektor industri kreatif di Bandung bukan tanpa masalah. Persoalan yang dihadapi oleh para pelakunya seperti gunung es. Sektor industri fashion misalnya. Selama ini perkembangannya masih dilihat secara parsial. Perkembangannya seringkali tidak dilih

Kreativitas Sebaiknya tak Distrukturkan

SUDAH setahun terakhir, Center for Innovation, Enterpreneurship & Leadership (CIEL) yang merupakan bagian dari Sekolah Bisnis Manajemen ITB, melakukan pemetaan terhadap industri kreatif. Lembaga ini bekerja sama dengan Deperindag Provinsi Jawa Barat untuk merancang stategi pengembangan industri kreatif di Jawa Barat. ”Kalau melihat karakter secara umum dari usaha kecil ini, sebenarnya kan lebih ke bagaimana mereka survive , bagaimana hidup hari ini sehingga tidak banyak pengembangan dari sisi kreativitasnya dalam rangka mengembangkan produk-produk yang unik dan bisnisnya,” tambah Direktur CIEL, Dwi Larso. Salah satu upaya yang dilakukan CIEL dalam mengatasi persoalan mendasar ini adalah menggagas pusat pengembangan desain untuk membantu para pelaku industri kecil mengembangkan produk-produknya. ”Cuma yang masih belum jelas metodenya adalah