Skip to main content

Beyond Horizon


Sembilan hari (sejak tanggal 21 November 2007) lalu, diriku dipenuhi dengan pertanyaan itu: Ada apa di balik horison? Sebuah berita besar bagi hidupku. Kuterima dengan segenap kebahagiaan. Aku menginginkannya sejak SMA dulu. Lalu berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu dan lolos seleksi, sampai akhirnya aku mendapatkannya. Sebuah perjuangan panjang bagiku. Ya, aku sangat menginginkannya: pergi ke jantungnya metropolitan dunia_NYC. Rasanya beberapa waktu lalu, keinginan itu masih terasa sebagai impian. Karena aku tau, aku ga mampu untuk menyengaja pergi piknik kesana. Aku harus memperjuangkan kesempatan untuk membuat mimpi itu jadi kenyataan.

Ketika aku mendapatkan kabar gambira ini, tiba-tiba langkahku begitu lebar. Aku seperti melompat masuk ke dalam lingkaran impianku itu. Kakiku menjejak di dalamnya dan membuktikan bahwa semuanya bukan lagi mimpi, tapi nyata. Tanganku seperti menyentuh horizon NYCku. Merabanya dan merasakannya.

***

Aku ingat perasaan seperti itu pernah ku rasakan saat menjejakkan kakiku di sebuah kapal bernama Mirad dan kapal perlahan melaju, membawaku menyusuri sungai Mahakam. Membelah arusnya. Menyongsong anginnya. Dan aku merasakannya. Semua impian masa kecilku tentang perjalanan ke pedalaman Kalimantan, menjejak nyata bersama deru mesin kapal. Ada perasaan yang mengembang dan melebar, seperti sebuah garis yang perlahan bergerak menghubungkan satu titik dengan titik yang lain. Rasanya seperti menyelam ke dalam setiap halaman buku River of Gems_buku yang menceritakan tentang perjalanan Lorne Blair dan Rio Helmi mengupas belantara Kalimantan. Buku itu kubeli 12 tahun lalu dengan jerih payahku berdagang kartu nama, karena aku ingin memancang mimpiku pada setiap foto-foto Rio Helmi sambil berjanji pada diriku sendiri: Aku akan sampai di tempat-tempat ini suatu hari nanti. Sebelas tahun kemudian, ternyata aku sampai pada horizonku. Menelusurinya, merasakannya dari setiap belaian angin sungai Mahakam, kemilau perak airnya dan gumpalan awan yang menari-nari seperti formasi tarian yang berubah setiap 15 menit sekali. Menatap langsung gunung batu karang dan mengagumi langitnya. Aku menikmatinya. Sangat. Setiap jengkal penelusuranku atas garis horizon Mahakamku saat itu.

Ku kirimkan pesan pada bapakku di surga, "Pak, aku sudah sampai disini. Di tempat yang pernah sama-sama kita hayalkan. Lewat cerita-ceritamu di masa kecilku dulu. Aku sampai dan menjejakan diriku disini meski tidak denganmu, tapi aku sudah sampai disini." Enam hariku menyusuri Mahakam dan anak sungainya, mengunjungi perkampungan Dayak, bersalaman dengan kepala suku Dayak untuk pertama kalinya, menjumpai dukun Dayak dan kehidupan mereka, seperti meraba tekstur mimpiku yang kemudian nyata berwujud. Saat kapal Mirad membawaku kembali ke Balikpapan untuk kembali pulang, Aku bilang pada diriku sendiri. Horizon Mahakamku telah ku lampaui. Setelah ini lalu apa? Apa yang kurasakan setelah menggapainya dan melewatinya?


***
Aku membayangkan seandainya aku yang duduk di bangku Central Park, menunggu Sihar yang berjanji pada Laila menemuinya di New York, seperti yang Ayu Utami tulis di kisah Saman. Atau membayangkan seandainya akulah si Carrie Bradshaw di Sex n The City, menulis kolom tentang lika liku hubungan dari pengalaman kesehariannya sebagai New Yorker. Atau membayangkan, seandainya aku saat 9/11, aku ada disana. Menyaksikan bagaimana gedung kembar itu hancur bersama dengan hancurnya hati orang-orang yang terpaksa kehilangan rasa nyaman pada kotanya. Aku tentunya sering sekali membayangkan bisa menonton konsernya Pearl Jam atau Tom Waits di kota ini. Membayangkan berpapasan dengan Steve Buscemi di Subway Brooklyn atau papasan di jalanan Manhattan dengan Daniel Day Lewis. Banyak.. banyak sekali yang kubayangkan tentang kota ini.

"Kamu harus pergi kesana. Nikmati cafe-cafe kecil pinggir jalan, sambil rasakan interaksimu dengan kota itu, dengan penghuninya, dengan hiruk pikuknya. Kau akan mengalami kegairahan ketika mengalami New York, aku yakin kamu akan sangat menyukainya", matanya berbinar-binar penuh semangat, mengenang kembali pengalamannya sendiri ketika berinteraksi dengan kota itu. Saat itu, tepatnya empat bulan lalu, ketika aku mengabarkan padanya aku masuk 4 besar kandidat yang tepilih untuk berangkat kesana. Menjelang akhir perjumpaan kami , dia menatapku optimis "Kamu pasti berangkat," katanya yakin.

Sampai tanggal 21 Nov 2007 lalu, aku meneleponnya sebagai orang pertama yang kuberi tau..
"... aku jadi pergi.. aku hepi banget.."

***

Satu persatu apa yang pernah ku impikan di masa kecil menjelma nyata. Tuhan selalu mengabulkannya meski tidak langsung pada saat keinginan itu muncul. Semua keinginan itu ada waktunya sendiri untuk bisa terwujud, karena setiap keinginan membutuhkan waktu untuk membangun jalannya sendiri untuk sampai pada kesiapannya mewujud jadi nyata. Tugasku adalah menjaga keinginan itu dengan keyakinanku. Bersetia padanya. Keyakinan dan kesetiaan itu yang membukakan jalan dan mengantar keinginan sampai pada horisonnya dan wujud nyatanya, juga mengantarku menemukan kesiapan diri ketika sampai untuk meraihnya.

Lalu apa setelah sampai dan mencapai horison keinginan itu? selesaikah semua mimpi itu? Yang kemudian kurasakan setelah satu persatu horizon itu ku gapai, duniaku melebar. Di balik horison itu ternyata ada horison lain yang menungguku untuk sampai dan menggapainya. Seperti juga langit yang bertingkat-tingkat. Apakah ini semata-mata gambaran ketidak puasan manusia dengan segala keinginannya? Aku tidak sepenuhnya setuju. Ketidakpuasan mendorong manusia untuk terus mencari. Dan setiap hidup manusia adalah proses pencarian itu sendiri. Mencari sesuatu yang bisa di gapai.

Aku percaya, perjalanan menggapai horisonku adalah bagian dari proses diriku membangun kosmologiku sendiri. Ruang yang melingkupi diri dan kehidupanku. Kesetiaanku dan keyakinanku pada impianlah yang menentukan seluas apa kosmosku. Perjalanan hidup berarti juga perjalanan membangun kosmos itu terus menerus. Menyambungkan satu horison dengan horison yang lain, membentang seluas keinginan yang tumbuh dan berkembang dalam diriku.

Aku ingin membangun kosmosku seluas dan selebar yang aku mampu. Seperti payung yang lebar. Bukan hanya menaungi diriku, tapi juga bisa menaungi siapapun yang ingin masuk kedalamnya.

terima kasih untuk pemberi hidup
terima kasih untuk semua yang menemaniku menggapai horison itu.
terima kasih untuk kamu, kamu dan kamu..
terima kasih.

Comments

anita said…
halo mbak tarlen, senangnya jika impian kita jadi kenyataan-tentunya butuh kerja keras dan proses. saya salut ma mbak terlen dan jadi inspirasi saya tuk wujudkan impiank jadi nyata :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...