Skip to main content

Kacamata Baru

Foto by tarlen

Rasanya kaya baru ganti kacamata baru, karena ukurannya berubah. Biasanya beberapa hari akan terasa 'kleyeng-kleyeng' kaya juling, karena mata perlu membiasakan diri dengan ukuran baru untuk bisa melihat dengan jelas dan nyaman. Apalagi kalo ada lonjakan ukuran, misal dari minus 1 langsung loncat jadi minus 3 dan pake tambahan silindris lagi..butuh penyesuaian yang rada lama sampai mata bisa nyaman dengan kacamata baru itu.

Memang yang dilihat jadi berubah ya? mungkin objek yang terlihat sebenernya sama aja. Cuma karena kacamatanya ukuran baru, hal-hal yang dulu ga terlihat jadi kelihatan dan jadi lebih jelas juga fokus. Cara ngeliatnya yang berubah dan ternyata untuk bisa mensinkronkan dengan pikiran juga butuh waktu. Semua objek yang kemudian jadi terlihat atau menjadi lebih jelas, butuh waktu buat pikiran mencernanya. Pertanyaan menjadi datang bertubi-tubi sebagai bagian dari mengenali lagi objek2 yang ga terlihat itu atau ga fokus sebelumnya. Kenapa gini, kenapa gitu? Kok dia disini ya? kok berantakan banget ya keliatannya? Kok langit jadi lebih indah ya? kok..? kok..? sampai akhirnya semua pertanyaan itu menghilang dengan sendirinya seiring dengan perasaan mata yang mulai nyaman dengan ukuran kacamata yang baru yang dan pikiran pun telah menyesuaikan dengan perubahan pengelihatan itu.

***

Setiap kepulangan dari sebuah perjalanan jauh dan penting, rasanya seperti memakai kacamata dengan ukuran yang baru itu. Semua terlihat berbeda. Bukan objeknya yang berubah, tapi kejelasan, kejernihan, ketajamanan dan fokus pengelihatan yang berubah. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan cara melihat yang baru itu. Jika kacamata berukuran baru itu menjadi ukuran yang tepat dengan kondisi mata kita sekarang, penyesuaian itu ga btutuh waktu yang terlalu lama. Merasa juling sebentar, kemudian setelah mata dan pikiran sinkron, perasaan nyaman segera muncul.

Namun ketika pengalaman perjalanan justru memberi kita ukuran kaca mata yang ga tepat dengan kondisi mata kita sekarang, bukan cuma merasa juling yang kita rasakan, tapi juga ketidak sinkronan yang cukup parah karena disertai dengan pusing dan mual. Rasanya ada yang mengganjal di mata. Semua yang dilihat jadi terasa ga nyaman terus menerus.

Makanya 'menemukan sebuah ukuran baru yang tepat untuk mata kita' setelah kepulangan menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Semua pertanyaan yang muncul untuk membantu mengenali lagi objek dari cara pandang yang baru itu, menjadi panduan yang fleksibel sebagai proses sinkronisasi antara ukuran dan kondisi pengelihatan yang baru.

Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu memang ga butuh jawaban yang sama sekali baru, karena pada dasarnya pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan sama yang pernah kita tanyakan sebelumnya. Mungkin memang bukan jawaban yang kita cari, tapi hanya rasa yang berbeda ketika melihat kembali jawaban-jawaban yang sudah ada itu lewat kacamata berukuran baru itu. Lalu rasa itulah kemudian memperkaya rasa yang sudah ada.

Setelah sebulan kembali ke rumah..
terima kasih untukmu yang telah bersabar dengan semua hiruk pikuk kejulingan sementara setelah memakai kaca mata baru itu.. meski aku melihatmu berbeda sekarang, tapi itu tak mengubah perasaanku sama kamu... you're always special...:*

Comments

Hilda Perdana said…
Walaupun saya blm pernah pake kacamata minus, tapi saya bisa merasakannya. Mungkin janggal ya melihat keadaan yang seperti biasa tapi terlihat tidak biasa. Tp kalo udah sampe rumah, orang2 pasti memahaminya.
btw nice blog. First visit.

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah