Skip to main content

My Remedy

'Frida Kahlo Lonely Heart Club'. Karya Agus Suwage yang paling aku suka


Still 'heart' him for sentimental reason, after all these years..
thanks for always be my best remedy

Ada dua bapak dalam hidupku. Pertama, bapak yang membuat aku lahir kedunia sekaligus sahabat terbaikku sampai usiaku 18 tahun. Kedua, seorang yang terasa seperti bapak bagiku. Bapak yang menyusun kembali kepingan-kepingan hidupku setelah berantakan karena kehilangan bapakku yang pertama. Bapak keduaku ini bukan hanya merekatkan dan membentuk kembali diriku, namun juga mewarnainya dengan ketulusan sayangnya dan kehangatan rumah yang selalu dia berikan padaku. Dia juga sahabatku yang bisa kurasakan hadirnya, tanpa kata-kata.

Dua orang yang membuatku merasa penuh dengan rasa sayangnya.

***

Bapak #1

'Sini duduk dekat bapak. Bapak mau tanya, kamu sayang ga sama bapak?'
Aku tak pernah bisa melupakan matanya yang membundar dan ekspresinya ketika menanyakan hal ini pada anak yang sangat dia sayangi.
' Ya jelas lah. Aku sayang sama bapak.'
Aku mendekapnya. Bapakku dengan kumis dan bekas cukuran jenggotnya itu mencium sayang pipiku. Rasa bekas cukurannya, selalu nempel di pipiku sampai sekarang.


Bapak #2

"kamu kangen sayur daun singkong ya? besok aku minta si mbak masak sayur kesukaan kamu, dan besok pas makan sambil aku kirim rasanya khusus buat kamu. Aku yakin kamu di Amerika bisa merasakannya. Tombo kangen.."

"Terima kasih ya pak, untuk 'kiriman' daun singkongnya. Semoga kamu juga bisa merasakan pelukan terima kasihku dari jauh.."

"Nanti kalau ketemu, aku boleh cium dan peluk kamu kan?"

"Tentu saja. Tentu boleh. Aku juga pengen peluk kamu erat."

***

... Dua bapakku itu adalah anugerah luar biasa yang Tuhan berikan untukku.
Terima kasih Tuhan, terimalah bapak #1 di surga, di sisiMu dan Jagalah bapakku #2, lindungilah ia selalu berikan ia kesehatan dan kebahagiaan..

Amin.


Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah ...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...