Skip to main content

My Rock N Roll Breastfeeding



 Aku punya cara bebeda untuk mengapresiasi sesuatu. Musik misalnya. Untuk musisi yang bener-bener berpengaruh pada diriku (setidaknya pemikiranku), prosesnya cukup lama dan panjang. Seperti memahami sebuah pemikiran filsuf yang ga cukup hanya dengan membaca satu buku saja.

Pearl Jam misalnya. Band asal Seattle ini memberi pengaruh sangat besar di masa remaja sampai menuju masa dewasa. Awalnya adalah Jeremy yang pertama kali aku dengarkan di tahun 92 saat lagu itu pertama kali di rilis. Saat itu saat itu aku lagi seneng-senengnya sasama Red hot Chili Peppers dan Nirvana. Suara Eddie Vedder yang getir dan berat itu, mengusik kesenanganku menikmati Anthony Kiedis yang manis tapi seenaknya itu. Setelah Eddie Vedder, Kurt Cobain jadi terdengar terlalu pemarah dan terlalu persimistik.

Sementara pada satu titik suara Eddie Vedder menyentuh frekuensi kegalauan filosofis masa remajaku yang dipenuhi dengan berjuta-juta pertanyaan mengapa ini begini dan mengapa itu begitu. Kegalauan, kemarahan, kesedihan, kepahitan, ketidakmengertian ada pada suara Vedder yang intens dan dalam itu, tapi dia seperti memberikan optimisme  bahwa semua ini adalah sementara. pada satu titik kita akan menemukan jawaban-jawaban atau sedikit kejelasan dari perasaan yang campur aduk itu.

Saat itu dunia di sekelilingku justru kesulitan menanggapi pertanyaan-pertanyaanku yang ga ada habisnya. Sampai akhirnya aku seperti terisolasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa aku hindari. Apa yang Eddie Vedder nyanyikan seperti kata-kata penghibur yang meyakinkan aku bahwa ia akan menemaniku dalam proses panjang kegalauan filosofis masa remajaku itu. Aku bisa mendengarkan 'Ten' berpuluh-puluh kali dalam sehari tanpa bosan, mencoba menyimak setiap kata dan nada, mencoba menemukan keyakinan bahwa Vedder benar-benar menemaniku. Aku ingat tahun 1994, saat pertama kali aku mengenal internet, aku menghabiskan waktu berjam-jam di warnet mencari tau tentang Pearl Jam. Siapakah Eddie Vedder, Stone Gossar, MikeMcCready dan Jeff Ament (saat itu aku ga tertarik pada Dave Abruzzese yang menurutku ga cocok dengan personil PJ yang lain). Kuikuti sepak terjang mereka dan kusimak album mereka kata demi kata, nada demi nada, gambar demi gambar (artworknya PJ itu sama pentingnya untuk disimak). Sebenarnya yang kucari adalah jawaban dari petanyaan mendasar: mengapa mereka bisa mempengaruhi hidupku.

Sampai album Vitalogy aku seperti mengikuti perjalanan menuju klimaks. Penuh dengan intensitas, ketegangan dan tiba-tiba saja ketika menemukan No Code, Pearl Jam seperti menawarkan 'pengosongan' yang bener-bener ga kuduga sebelumnya. Keputusan mereka untuk tidak muncul di media, pergantian drumer, musik dan lirik yang jauh lebih kontemplatif, aku seperti  dipaksa melihat sisi PJ yang lain yang selama ini ga aku lihat. Butuh waktu kurang lebih setahun (terhitung dari pertama kali aku mendengarkan No Code) sampai akhirnya aku siap untuk menyimak perubahan besar itu. Pada saat itu bagiku seperti ujian kenaikan kelas. Apakah aku 'just that one of that fan' yang meninggalkan PJ karena tidak bisa menerima perubahan mereka di album No Code, atau aku adalah fan yang tumbuh bersama mereka? Dan aku memilih yang terakhir. Itu sebabnya Yield bagiku seperti menemukan sesuatu yang melegakan. Kelegaan kerena menemukan kenyataan bahwa ternyata PJ pun mengalami proses pendewasaan dari karya maupun personalitas, apalagi setelah menyimak 'Single Video Theory'. Kata-kata Stone Gossard yang aku ingat di dokumenter itu adalah "We have tendency to see the world differently, but that's oke, that's what I really like about this band." Saat itu, dalam kehidupanku aku baru mengalami perpisahan dengan para pendiri tobucil.  karena cara pandang yang berbeda. Pernyataan Stone memberi pemahaman baru bagiku  tentang perbedaan dalam sebuah idealisme.

Binaural sama sulitnya dengan No Code, karena perubahan formasi yang membuat PJ menemukan soulmate drumernya selama ini. Masuknya Matt Cameron (mantan drumer Soundgarden dan drumer ketika PJ membuat demo pertama di awal karir mereka), memberi karakter baru bagi PJ. Cameron seperti memberi bentuk baru pada PJ, merapikannya dan membuatnya menjadi lebih solid. Butuh waktu lumayan lama untuk menerima perubahan itu. Dan sesudah Binaural, Riot Act, Pearl Jam, Backspacer menjadi lebih mudah dan membuatku merasa lulus ujian sebagai fan yang ingin tumbuh bersama mereka. Dan merasa lengkap saat bisa hadir di Madison Square Garden, menyaksikan PJ secara langsung dan menginjakkan kaki di Seattle yang selama ini hadir dalam mimpi. Perjalanan tumbuh bersama Pearl Jam memberiku kesadaran penting dalam hidup bahwa: 'jika kamu menyakini mimpimu yang dua dimensi itu, waktu akan mengantarkan mimpimu pada ruang tiga demensimu, sehingga kamu bisa merabanya, menjejakinya, mencium baunya..'

 ****


Jack White di It Might Get Loud 

Sekarang aku ingin bicara tentang Jack White. Setelah Pearl Jam, Jack White mempengaruhiku dengan cara yang sama sekali berbeda. Jack White yang kuketahui pertama kali ketika RollingStone Magazine memunculkan nama mereka sebagai The White Stripes 'brother and sister band' dan itu cukup membuat mereka menjadi bebeda dengan yang lain. Apalagi kemudian publik mengetahui bahwa Jack White (yang punya nama asli John Anthony Gillis) pernah menikah dengan  Meg White (drumer) di tahun 1996 dan bercerai di tahun 2000. Setelah perceraian mereka mengikrarkan diri sebagai kakak adik dan tetep ngeband bareng. Sebuah pernyataan hubungan yang buat banyak orang sangat tidak biasa. Penampilan Jack sempat membuatku bertanya-tanya: apakah orang ini sekedar mencari perhatian tanpa punya sesuatu yang benar-benar istimewa?  Aku mengabaikannya beberapa tahun setelah sosoknya muncul di Rolling Stone tapi 'menghantuiku'. Ada sesuatu dengan Jack White yang aku ga bisa mengabaikannya.  Dan jangan harap bisa menemukan CD White stripes dengan mudah, karena The White stripes memproduksi sendiri album mereka dalam jumlah yang terbatas (sebelum album Icky Thump).

Barulah ketika aku menemukan 'Conquest' aku bener-bener mencari semua album The White Stripes dan mencoba menyimaknya (tentunya dengan cara mendonlotnya dari banyak sumber). Tiba-tiba saja aku mendapatkan semua materi tentang The White Stripes sekaligus dari album pertama sampai terakhir.  Aku merasakan ada sesuatu di balik semua 'noise' yang dia ciptakan. Aku menemukan bahwa tanpa didengarkan secara kronologispun, aku menemukan intensitas dan kejutan-kejutan di semua albumnya. Dan itu mendorongku untuk menyimak wawancara-wawancara di video maupun yang tertulis tentang The White stripes awalnya, tapi kemudian Jack white menjadi sosok yang sangat dominan, misterius, sekaligus membuatku sangat penasaran. Kali ini aku bener-bener ga bisa menghindarinya. Cara dia bernyanyi dan memainkan gitar: 'totally blown my mind'. Aku merasakan totalitas dan intensitas di setiap lagu dan permainan gitarnya.

Pada titik ini, White seperti mengisi kerinduanku pada sesuatu yang total dan intens di tengah dunia yang makin lama makin banal dan superfisial. Dan yang tidak bisa tidak menjadi penting buatku adalah dia sebaya denganku (Jack lahir 19 Juli 1975) diusia seperti ini, aku menemukan kenyataan bahwa menjadi pragmatis adalah hal yang wajar dan normal. Memang tidak ada yang salah dengan hal itu (menjadi pragmatis), tapi ketika melulu pertimbangan itu yang di kedepankan, rasanya kok seperti menguras  spiritualitas, bukan malah memperkayanya. Itu sebabnya, bagiku menjadi sangat luar biasa menemukan seniman di usia sebaya denganku tapi bisa mencapai intensitas dan totalitas seperti itu. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang bisa mengisi dan memperkaya spiritualitas itu.

White tidak punya sejarah hidup yang getir seperti Eddie Vedder. Tumbuh dalam keluarga katolik, sebagai anak bungsu dari sepuluh bersaudara dari keturunan imigran Polandia dan Irlandia  di bagian paling keras di southwest Detroit bersama komunitas Latin Amerika (aku merasa pada titik tertentu visual The White Stripe sangat dipengaruhi oleh kultur latin, lihat aja video conquest dan pada beberapa penampilan Meg dan Jack mengingatkanku pada conqueror  Spanyol). Dan nampaknya keluarga besar menjadi pondasi yang membangun kekuatan karakternya sebagai musisi. Bagiku memutuskan menikahi perempuan yang lebih tua di usia yang sangat muda (usia Jack 21 tahun saat menikahi Meg White) dan mengganti nama keluarganya dengan nama keluarga Meg, ketika bercerai bisa tetap berkarya bersama  dan  mengubah relasi mereka jadi kakak adik, membuat Jack terlihat sangat matang untuk laki-laki seusianya. Dia tidak suka mengekspose kehidupan pribadinya, meski media tau saat Jack memutuskan menikahi Karen Elson (model di salah satu video White Stripes) di tengah belantara Amazon dan menjadikan Meg pengiring pengantinnya dan begitu pula Meg, ketika menikahi Jackson Smith, putra Patty Smith, di halaman belakang rumah Jack di Nasville. Wow, kurasa kedewasaan Jack dan Meg dalam berelasi sungguh-sungguh menjadi pondasi kuat bagi Jack untuk mengekplorasi bakat artistiknya secara total. Tanpa perlu banyak bicara dan tampil dominan, Meg justru memberi pengaruh yang sangat besar pada Jack.

Kurasa Jack termasuk dari sedikit orang yang bisa jadi superstar tanpa kehilangan karakter dan personalitasnya. Sementara yang membedakannya dengan Eddie Vedder,  Vedder justru 'dealing with himself' lewat musik yang dia ciptakan'. Sementara Jack, dia memakai musik untuk mencapai kebebasan ekspresi tanpa batas, dia bisa keluar dari batasan-batasan itu sejauh-jauhnya dan menciptakan ruang bermusiknya yang begitu leluasa. Bagiku jadi sangat menarik untuk mengikuti perkembangan kekaryaannya ke depan. Seperti menunggu-nunggu kejutan. 'Kali ini, Jack mau bikin apa lagi ya?' dan aku akan selalu menunggu-nunggu dengan penuh antusias. Dari Jack aku menemukan kejutan-kejutan di tengah-tengah tekanan rutinitas berpikir dan eksplorasi yang memperkaya spiritualitas bukannya eksplorasi yang fatalistik. Simak lirik-lirinya White Stripes, kukira mereka cukup positif memandang hidup. Kebenaran yagn Jack sampaikan lewat lirik, bisa tampil begitu sederhana tanpa perlu metafor yang rumit dan justru menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Jujur, to the point dan apa adanya. Meski ketika Jack memainkannya di panggung, lagunya tidak pernah menjadi sederhana lagi. Dia selalu menemukan cara bebeda untuk memainkan lagu yang sama dengan penguasaan teknik bermain dan intensitasnya yang luar biasa itu.

It Might Get Loud, memberi gambaran yang sangat jelas tentang motif kreativitas yang dijalani Jack sebagai musisi dan bagaimana dia belajar dari para senior-seniornya, The Edge dan Jimmy Page. Juga bagaimana dia Jack tampil berkolaborasi dengan The Rolling Stones, Alicia Keys, Loretta Lyn, Flat Duo Jets (duo band yang sangat menginspirasi dan membuka perspektifnya tentang gitar), bahkan band Jack yang lain: The Raconteurs dan Dead Weather, menurutku adalah upaya Jack menemukan kemungkinan-kemungkinan lain dalam eksplorasi artistiknya. Dan yang menarik juga menurutku adalah pemahaman Jack tetang bagaimana mekonstruksi blues (sebagai musik yang begitu mengilhaminya) dan kemudian mendekonstruksi untuk menemukan bentuk bangunannya yang baru. Dia sungguh memberiku banyak sekali inspirasi tentang begitu banyak kemungkinan-kemungkinan dalam hidup yang bisa aku temukan.

***

Apakah aku terlalu serius menggemari PJ dan Jack White? Kukira aku bisa membalikkan pertanyaan ini pada orang-orang yang merasa terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran orang lain, 'apakah kamu  serius menggemari Karl Marx, Foucault, Satre. Kurasa seorang musisi atau seniman itu sama pentingnya dan sama besar pengaruhnya dengan filsuf yang bisa mengubah dunia. Para musisi inilah yang tanpa disadari membentuk karakter dan personalitas seseorang lewat karya-karya mereka, ketika aku memutuskan untuk tumbuh bersama mereka. Disadari atau tidak, pengaruh yang satu akan menyiapkan pengaruh yang lain. Dan kurasa, di dunia ini ga ada satupun manusia yang hidup terbebas dari pengaruh (agama sekalipun adalah pengaruh). Dan secara filsafati, manusia mendefinisikan siapa dirinya lewat kolase pengaruh-pengaruh itu. Untuk memahami siapa aku, berarti penting juga untuk mengetahui siapa yang mempengaruhiku dan  bagaimana mereka mempengaruhiku.

Sekarang aku tau, siapa yang ingin kutonton ketika ada kesempatan kembali lagi ke Amrik selain Tom Waits, tentu saja Jack White.

Comments

Helman Taofani said…
Menggugah.

Ini bagian dari "siapa musisi yang menginspirasimu?" itu ya mBa Tarlen? :D

Saya sendiri sepertinya belum pernah menjabarkan panjang lebar tentang "kenapa saya menyukai musisi ini?".
vitarlenology said…
hahahaha iya.. pertanyaan ini sebenarnya muncul ketika jack White sedemikian menghantui dan musiknya (the white stripes) totally blown my mind.. aku harus menuliskannya dan menjelaskan pada diriku sendiri, kenapa. Setelah menulis panjang lebar seperti ini rasanya cukup melegakan dan bisa menemukan pijakan yang lebih sehat tentang hubungan fan dengan idolanya..
awang_vedder said…
banyak pengalaman menarik dan ter insprirasi dari tokoh nyata, apalagi rockstar/ musisi. padahal di sebagian masyarakt beragama justru tuntutannya adalah kembali ke Kitab Suci dan Cerita Hebat pemuka agama :). well tulisan ini begitu jujur menyampaikan bahwa setiap orang berhak terinpirasi oleh hadir nya seorang manusia biasa.

terimakasih, saya rasa. saya tidak sendirian :)
vitarlenology said…
kebenaran itu bisa datang dari siapapun.. tidak selalu dari orang-orang yang shaleh.. selama dia menyampaikannya dengan ketulusan dan kejujuran..para musisi menurutku lebih bisa jujur daripada para pemuka agama yagn seringkali bersembunyi dibalik kebenaran agama itu sendiri..

anyway.. you're welcome awang.. :)
I. Widiastuti said…
ini di luar konteks sih, sayang mbak, nama the white stripes tidak cukup kuat untuk meanikkan penjualan kamera holga dan diana eisi jack & meg.

tentang pemuka agama dan kitab suci, i'm totally not a big fan of them, except for God himself.
vitarlenology said…
iya aku sendiri baru tau ada edisi meg diana dan jack holga setelah buka situs white stripes.. dan ipod edisi white stripes juga..

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah