Skip to main content

'Cangkemanmu' Kekal Abadi

 Gambar diambil dari sini

"Rasah Cangkeman.. Sobek..Sobek!!!"  (Jangan banyak omong, ta' sobek-sobek).Begitulah tulisan di stiker yang tertempel di papan pesan meja kerjaku. Ungkapan yang sempat dipopulerkan oleh Tukul Arwana. Tulisan itu langsung saja terasa pas, ketika membaca kutipan Andi Mallarangeng yang benar-benar menyakiti bukan hanya korban Merapi,  tapi juga rakyat Indonesia.
Saya lihat mereka itu sudah cukup sebenarnya, makan sudah siapkan dan MCK sudah ada. Mereka ini tinggal menunggu bunyi klenteng-klenteng lalu sarapan, klenteng-klenteng lalu  makan siang dan klenteng-klenteng lalu makan malam," kata Andi Mallarangeng di Gedung Agung, Jl Malioboro, Yogyakarta, Minggu. Sumber DetikNews
Sebelumnya ketua DPR alias Dewan Perwakilan Rakyat, Marzuki Ali yang asal cangkeman  terhadap korban tsunami Mentawai:
"Mentawai itu kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah," kata Marzuki di Gedung DPR, demikian dikutip Kompas Online.

Sedangkan di Detikcon dikutip: "Kalau tahu berisiko pindah sajalah," imbuhnya. "Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan."
Menyedihkan sekali bahwa orang-orang yang dipercaya menjadi pejabat publik, melontarkan pernyataan-pertanyaan yang asal mangap tanpa rasa empati sedikitmu. Banyak orang marah dan bertanya: "kemana hati nurani para pejabat ini?"

Iya kemana ya perginya? mungkin nurani itu sudah lama terkubur dalam-dalam bersama semua kotoran yang masuk lewat mulutnya selama ini. Jangan dikira, makanan yang dibeli dari uang hasil korupsi, mengambil hak rakyat, biar keliatannya bersih tapi sesungguhnya mengandung sumber penyakit yang paling mematian jiwa dan nurani. Makanya omongan yang keluar dari mulutnya cerminan dari nuraninya yang udah mati.

Jika bisa memilih, siapa yang mau tinggal di pulau terpencil di tengah samudra, hidup dalam pilihan yang sedikit (seperti halnya Komunitas Adat Terpencil lainnya). Meski hidup mengajarkan untuk berterima. Masyarakat Mentawai hidup dalam berterima. Keterbatasan bukan alasan untuk tidak berterima. Meski harus bertahan dari koyakan keserakahan dan pikiran-pikiran kotor para pejabat publik, toh kearifan lokal dan sikap mengahargai semesta masih bisa mereka pertahankan. Tidak semudah berkata kotor, menyuruh mereka pindah. Itu sama artinya menyuruh mereka membalikkan hidup dan memberi alasan para pejabat publik untuk melepaskan diri dari tanggung jawab mereka. Siapa pula yang mau tinggal dalam ketidak pastian di pengungsian? Tidak semudah membunyikan klenengan lalu semua menjadi baik-baik saja.

Bahkan orang yang semestinya paling paham apa arti komunikasi alias mentri komunikasi dan informasi, Tifatul Sembiring, mestinya lebih bijak mengeluarkan pernyataan-pertanyaannya lewat twitternya itu. Sehingga tidak mempermalukan diri sendiri di media massa internasional akibat komentar yang ga penting banget itu mengenai Michael Obama. Entah jika Tifatul bermaksud mencatat sejarah sebagai pejabat paling banyak ngomong ga mutu dan membuat departemen yang dipimpinnya menjadi kementrian Miskomunikasi dan Disinformasi.

***

Rasanya para pejabat ini ga paham, bahwa dijaman internet ini hukum kekekalan energi berlaku:
"Statement bisa diciptakan dan dikatakan tapi tidak pernah bisa dimusnahkan"
Semua pernyataan-pernyataan politik yang bodoh dan memalukan itu tidak akan pernah bisa dihapus. Pernahkan mereka membayangkan, cucu mereka kelak meng-googling nama kakek mereka dan menemukan arsip dari pernyataan-pernyataan bodoh di masa lalu. Mungkin kelak, jika twitter bersedia arsip mereka masuk ke dalam daftar salah satu pencarian di google, ketika orang mengetik nama Tifatul Sembiring yang muncul adalah omongan-omongannya yang ga sungguh tidak penting. Para pejabat negara itu mungkin tidak menyadari, bahwa sekarang ini bukanlah zaman  dimana semua pernyataan dan publikasi buruk tentang mereka bisa dengan mudah dihapus dari jagat internet. Tidak akan pernah. Kecuali terjadi suatu hari nanti, koneksi internet musnah dari muka bumi.

Ironis ya, biasanya orang justru ingin menorehkan catatan yang baik tentang sejarah hidupnya, apalagi jika dia pernah menjadi penguasa. Pastinya ingin dikenang sebagai penguasa yang baik. Sayangnya, para pejabat bodoh ini tidak menyadari bahwa google sesungguhnya sedang membantu tugas malaikat pencatat kebaikan dan keburukan, Raqib dan Atid, sehingga sepak terjang kehidupan kita selama terunggah ke dunia maya, bisa dengan 'catatan' itu diakses oleh siapa saja.

Jadi, mengutip nasehat Sergey Brin, genius yang menciptakan google: "berhati-hatilah dan pikirkanlah dengan baik-baik sebelum kau mengunggah sesuatu ke dunia maya, karena kamu tidak pernah tau apa yang akan terjadi dengan unggahanmu itu di kemudian hari.." Maka pikirkanlah itu wahai para pejabat sebelum cangkemmu kau biarkan asal mangap.

Cangkem: mulut
Cangkeman: omongan
 
 

Comments

HRW said…
Boleh komentar ya?
Yang bener itu "kecangkeman" yang artinya banyak omong; dalam bahasa Jawa "cangkeman" itu tidak ada, yang ada "cangkem" (yang artinya "mulut") itu bahasa agak kasar, yang halus "tutuk", Lebih kasar dari "cangkem" adalah "cocot". Ngomong2, mbak Tarlen bukan orang Jawa yah? (Sorry, bukan bermaksud rasialis)
vitarlenology said…
terima kasih untuk koreksinya.. kedua ortu saya orang jawa (satunya magelang satunya semarang) tapi saya lahir di bandung. saya ngerti bahasa jawa, tapi tidak terlalu mengerti tata bahasanya, karena dari kecil saya lebih banyak belajar bahasa sunda daripada bahasa jawa.. but, thanks buat koreksinya.. :)

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...