Skip to main content

Museum Punya Siapa?

foto oleh vitarlenology
Beberapa waktu lalu, seorang teman memberitahukan bahwa sebuah museum pemerintah di Bandung membuka lowongan sukarelawan. Berbekal niat, ingin mengamalkan ilmu dan pengalaman permuseuman yang pernah kuperoleh beberapa tahun lalu, aku pun mendaftar sebagai sukarelawan. Rasanya sayang aja kalau ilmu dan pengalamanku itu tidak kuamalkan di museum di kota tempat tinggalku ini.

Baru ikut dua kali pertemuan, aku udah nyaris putus asa. Museum yang kutemukan tidak seperti yang kuharapkan (aku sempat menyalahkan diri sendiri, menganggap diriku bodoh karena menaruh harapan pada museum pemerintah). Fakta yang kutemukan, seorang kepala museum pemerintah itu merangkap kerja sebagai kurator museum, artistik, humas, programer, bendahara, bahkan eksekutor urusan teknis. Akibatnya, sulit sekali menemukan kualitas pada proses penyelenggaraan pameran yang serius, karena pekerjaan yang tumpang tindih itu tadi. Padahal referensi yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pameran dan program cukup canggih. Cita-citanya selalu apa yang dilakukan museum-museum besar di Eropa, namun apa boleh buat, biasanya cita-cita kandas karena persoalan keterbatasan dalam mengeksekusi dan juga konsep yang kedodoran.

Di satu sisi menjadikan museum di Eropa sebagai acuan, bisa memberikan semangat bahwa ada standar tinggi yang perlu di kejar. Namun disisi lain, rasanya kok ga realistis. Dengan sikap pemerintah yang seringkali mendadak amnesia terhadap sejarah atau hanya mencuplik sejarah sepotong-sepotong demi legitimasi kekuasaan, strategi kebudayaan yang ga jelas, dan kebijakan-kebijakan  yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan yang serba sumir dan samar, pengelola museum yang sangat birokratis,  serta dampaknya pada cara pemerintah mengelola kesejarahan itu sendiri lewat museum; rasanya itu jadi alasan yang cukup kuat untuk menjadi putus asa dan skeptis pada dunia permuseuman di negeri ini (karena aku yakin kondisi museum pemerintah di tempat lain, bisa jadi lebih buruk dari si museum yang ada di Bandung ini).

Pada titik ini aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku akan termasuk ke dalam pihak yang putus asa dan skeptis atau yang masih menyimpan harapan meski ga tau harus bagaimana.

***

Sebelum tulisan ini menjadi kesinisan berkepanjangan, aku mencoba menggali kembali pengalaman mengikuti workshop pengembangan audience museum di Kuala Lumpur, pengalaman mengobservasi pengembangan audience museum di NYC, summer intern di program dewasa Brooklyn Museum juga pengalaman mengunjungi berbagai museum di beberapa negara kalau aku melakukan perjalanan. Dari deretan pengalaman ini, aku tidak sedang berusaha mengkontraskan kondisi museum di luar negeri sana dengan di sini. Aku justru menemukan beberapa pendekatan yang dilakukan oleh museum berdasarkan amatan dan pengalamanku yang berkaitan dengan museum.

Pertama, museum yang dikelola dengan pendekatan kekuasaan. Museum ini seperti museum-museum yang dikelola oleh pemerintah, tujuannya untuk memberi legitimasi pada penguasa yang sedang berkuasa. Biasanya sangat propaganda dan tidak memberi banyak pilihan tafsir terhadap peristiwa atau kesejarahan yang ditampilkan. Museum menjadi etalase kekuasaan, seperti sebuah lemari yang menyimpan benda-benda para penguasa. Tidak dapat sembarangan di buka, tapi juga seringkali tidak terlalu diperhatikan pemiliknya. Kurasi atau pemilihan karya didasarkan pada selera atau kepentingan penguasa, bukan pada metodologi riset yang sahih. Museum seperti ini biasanya lebih melayani kekuasaan daripada masyarakat. Yang penting ada dan biasanya tidak terlalu ambil pusing dengan ada atau tidaknya pengunjung yang datang.

Kedua, museum yang dikelola dengan pendekatan komunitas. Museum ini biasanya dikelola oleh organisasi masyarakat yang bekerjasama dengan pemerintah dan menjadikan komunitas juga masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani oleh museum ini. Museum menjadi ruang yang merepresentasikan komunitas. Keberadaannya pun biasanya didukung oleh komunitasnya lewat donasi sukarela dari komunitas pendukungnya. Museum dengan pendekatan seperti ini, sangat menjaga hubungan baik mereka dengan pengunjung atau komunitasnya. Program-program yang dijalankan oleh museum juga biasanya didasarkan pada kebutuhan komunitasnya. Para pendukung dan sponsor biasanya sangat memperhatikan bagaimana museum ini berdampak bagi komunitasnya. Jumlah pengunjung dari sebuah pameran menjadi salah satu indikator penting, sukses tidaknya sebuah pameran. Biasanya pula, museum seperti ini memiliki audience yang memiliki tingkat apresiasi yang lebih baik, karena dialog yang terjadi antara museum dan audiencenya berlangsung dua arah. Museum menjadi ruang belajar bersama antar komunitas.

Ketiga, museum yang dikelola dengan menggabungkan pendekatan kekuasaan dan komunitas. Museum-museum seperti ini sangat sadar bahwa legitimasi kekuasaan tidak mungkin diperoleh dari komunitas pendukungnya. Biasanya museum-museum pribadi yang kemudian membuka dirinya untuk umum, menjadi semacam etalase pencitraan perorangan atau kelompok tertentu. Museum seperti ini, seringkali mengalami persoalan kesulitan mencari sponsor dan komunitas pendukung, jika strategi pengelolaannya tidak berimbang antara kepentingan pemiliknya dan komunitasnya. Museum seperti ini sangat bergantung pada sekuat apa individu ini mampu mengelola pencitraannya. Karena membangun pencitraan lewat museum bukanlah hal yang mudah dan murah.

***

Dari apa yang kuamati dan kualami, komunitas sebenarnya  menjadi hal yang sangat penting dalam keberlangsungan sebuah museum. Secara pribadi aku sangat berpihak pada museum yang dikelola dengan pendekatan komunitas atau minimal museum yang melakukan pendekatan kekuasaan dan komunitas. Bagiku, komunitas menjadi jawaban dari pertanyaan klasik: 'museum itu sesungguhnya punya siapa?' 

Indikator yang paling sederhana adalah dari program museum itu sendiri. Kita bisa melihat perbedaan pendekatan ini dari program yang ada di museum itu sendiri. Seberapa banyak program-program yang berkaitan dengan publik, masyarakat atau komunitas. Interaksi dengan publik, masyarakat atau komunitas ini sesungguhnya yang membuat museum yang menyimpan artefak masa lalu itu berdialog dengan masa kini dan yang akan datang.

Museum yang hanya melayani kepentingan penguasa, seperti kumpulan koleksi kuno yang makin lama makin kehilangan makna dan konteks jaman dengan penikmatnya.  Apa gunanya artefak-artefak itu dipajang bertahun-tahun dalam satu ruangan yang sama dengan keterangan yang sama tanpa kontekstualisasi terhadap kekinian (sayangnya museum-museum yang dikelola pemerintah Indonesia banyak sekali yang seperti itu, apalagi museum-museum daerah). Padahal kekuasaan pun mestinya menyadari bahwa dirinya bagian dari proses estafet yang panjang. Kekuasaan sekarang, jika mau sedikit cerdas, bisa belajar banyak dari kekuasaan di masa lalu untuk mencari cara melanggengkannya di masa datang. Dan museum sesungguhnya bisa menjadi ruang belajar itu.

Sementara museum yang mampu berdialog terus menerus dengan masyarakat atau komunitasnya, seperti sebuah jembatan dari masa lalu, masa kini dan yang akan datang, sehingga membantu masyarakat atau komunitas penikmatnya memberi pegangan yang jelas atas kesejarahan dan identitas mereka sebagai bagian dari komunitas yang diwakili oleh museum. Aku jadi ingat bagaimana Queens Museum di Queens borough New York City, menyelenggarakan program kursus bahasa inggris bagi komunitas hispanik dengan pengantar bahasa Spanyol. Lokasi museum ini memang terletak di wilayah komunitas hispanik dan sebagian komunitas itu memang tidak bisa berbahasa Inggris. Itu sebabnya museum punya tugas untuk membuat program yang sesuai dengan kebutuhan komunitasnya.

Kadang ironis,  aku justru mendapatkan pemahaman baru tentang ke Indonesiaanku saat mengunjungi museum di luar negeri yang menempatkan artefak budaya Indonesia sebagai bagian dari kesejarahan mereka. Bagiku, penting untuk mengetahui bagaimana Indonesia sebagai bagian dari identitasku, dipandang dan ditempatkan dalam bagian sejarah orang lain. Dengan begitu, sebagai warga negara aku jadi belajar bagaimana seharusnya identitas kebangsaanku, aku bangun. Karena secara personal, setiap individu pasti membutuhkan orang lain untuk memvalidasi dirinya: apa arti aku dalam hidupmu, apakah kamu 'melihatku', apakah 'kamu mendengar suaraku? Dan dalam konteks yang lebih besar, setiap kebudayaan, bangsa  bahkan peradaban pun membutuhkan budaya, bangsa dan perabadan lain untuk memvalidasi dirinya, salah satunya museum memiliki peran untuk itu. Museum menurutku bukan hanya etalase artefak kebudayaan semata, tapi bagaimana cara budaya itu memandang dirinya sendiri dan orang lain yang sejatinya dapat direpresentasikan lewat museum.

***
Sampai titik ini, apa yang aku sampaikan mungkin masih terlalu abstrak. Pendekatan komunitas yang menurutku jawaban untuk menjawab pertanyaan museum itu punya siapa? membutuhkan strategi komunikasi yang mengakomodasi sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan komunitas (kalaupun tidak seluruh kepentingan dapat terakomodasi). Strategi ini pun perlu dijabarkan dalam program-program yang membangun dan memperkuat jembatan terhadap komunitasnya. Setidaknya program dari komunitas pendukung museum dapat menambal kekurangan-kekurangan yang ada seperti keterbatasan sumber daya seperti halnya ketumpang tindihan tugas seorang kepala museum.

Jadi sepertinya aku tidak boleh buru-buru skeptis dan kehilangan harapan tehadap museum di kotaku. Jika ide-ideku yang berpihak pada museum dengan pendekatan komunitas sulit diterima oleh museum yang bersangkutan, aku sebenarnya tetap bisa mengambil semangatnya dan merealisasikannya dalam bentuk program yang bisa aku jalankan di komunitas pendukung museum itu, di tobucil misalnya. Aku tinggal menyambungkannya dengan apa yang si museum upayakan. Jika saat ini baru seutas tali dan bukan jembatan kokoh yang dapat menyambungkannya, mestinya tidak jadi masalah yang penting ada yang menyambungkan. Lama-lama jika tali temali yang menyambung semakin banyak, jembatan yang terbangun bisa menjadi lebih kuat, karena lewat jembatan itulah harapan tentang permuseuman di negeri ini bisa tetap ada dan standar tinggi seperti museum-museum di Eropa sana, sedikit demi sedikit bisa di dekati. Semoga.


Gudang Selatan,
00.03

Comments

Ekbess said…
Lebih-lebih Museum di Makassar mbak, hehehe...
tidak menarik sama sekali :(

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa