Skip to main content

Pilihan Antara Hobi Dan (Atau) Serius Berbisnis

foto diambil dari sini 

Kelly Rand di buku Handmade to Sell membuat dikotomi (pemisahan) yang menarik antara penggiat hobi dan pembisnis. Dikotomi yang dibuat Kelly ini untuk menjawab pertanyaan mendasar yang seringkali muncul: mengapa kita membuat barang buatan tangan/handmade.

Menurut Kelly, penggiat hobi bisa di cirikan sebagai berikut:
  • Membuat barang buatan tangan di waktu luang
  • Membuat barang buatan tangan itu untuk dipakai sendiri atau untuk teman dan kerabat.
  • Biasanya memberikan cuma-cuma barang buatan tangan sebagai hadiah.
  • Membuat barang buatan tangan sebagai pelepas ketegangan atau stres.
  • Membuat barang buatan tangan sebagai sarana penyaluran kreativitas.
  • Menjual barang buatan tangan biasanya hanya sekedar untuk mencari kesenangan dan tambahan uang saku.
  • Dalam konteks negara maju, membuat barang buatan tangan sebagai hobi, bahan-bahan yang dibeli, pelatihan yang diikuti serta biaya yang dikeluarkan untuk proses produksinya, tidak mungkin dimasukan ke dalam variabel yang dapat mengurangi pajak yang harus dibayar oleh individu yang bersangkutan.

Sementara orang yang memang serius berbisnis dengan barang buatan tangannya, diindetifikasikan Kelly sebagai:
  • Orang yang membuat barang buatan tangan sebagai pekerjaan sehari hari.
  • Barang buatan tangan yang dihasilkan biasanya dijual pada konsumen yang tidak dikenal sebelumnya. 
  • Orang yang membuat barang buatan tangan tidak cukup mampu untuk memberikan karyanya secara cuma-cuma. 
  • Proses membuat barang buatan tangan ini, alih-alih sebagai pengusir stres justru malah menjadi sumber stres. 
  • Kreativitas justru jadi terbatas karena dituntut membuat sesuai dengan keinginan konsumen.
  • Jualan adalah tujuan utama dari kegiatan membuat barang buatan tangan. Ada target pendapatan yang dikejar.
  • Dalam konteks negara maju, membuat barang buatan tangan, bahan-bahan yang dibeli, pelatihan yang diikuti serta biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi dapat dimaksukan ke dalam variabel yang dapat mengurangi pajak dari pendapatan. 

Pada kenyataannya, dikotomi ini tidak sekaku yang dipaparkan Kelly. Kadang keduanya bisa jadi motif yang bercampur jadi satu dari hobi mejadi serius berbisnis. Di satu sisi, bisnis yang dibangun dari hobi biasanya punya semangat yang lebih dari sekedar mencari uang. Namun di sisi lain, uang kerap kali justru menjadi godaan untuk menjadikannya sebagai motif utama dalam pergeseran itu_ hobi menjadi bisnis. 

***

Hal yang pertama kali mesti disadari dari berbisnis berdasarkan hobi yang kita tekuni adalah ini bisnis yang komoditas utamanya adalah sentuhan tangan kita. Identitas yang 'kita banget' menjadi penting. Karena itu yang kemudian akan membedakan antara barang buatan kita dengan orang lain. Dan tentunya identitas itu dibangun dari keahlian kita dalam membuatnya. Keahlian yang bukan sekedar persoalan penguasaan teknis, tapi juga bagaimana si pembuatnya memberi rasa pada benda yang dia buat (miriplah kaya seniman, kalau seniman sudah menyerahkan karyanya pada artisan rasa seninya pasti hilang dari karyanya). 

Aku pribadi lebih senang mendefinisikan crafter atau si pembuat handmade ini sebagai 'empu' alias seseorang yang sangat ahli dalam membuat sesuatu. Bisa saja ada seribu orang membuat benda yang sama, namun jika dikerjakan oleh seorang empu, apa yang dia buat akan jauh lebih 'outstanding' dan beda dibandingkan 999 lainnya. Dan biasanya seseorang yang mendalami hobi tertentu biasanya akan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang mendalam dari apa yang ia tekuni.  Dari sini kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa bisnis yang dibangun dari hobinya tentunya menjadi usaha yang komoditasnya adalah sesuatu yang dihasilkan dari kecintaan, keahlian dan pengetahuan yang mendalam yang kemudian membuat komoditas itu berbeda dengan komoditas sejenis lainnya. 

Berdasarkan pengalaman pribadi yang kujalani, ketika makin banyak orang tertarik dengan barang-barang buatan tangan yang aku buat, makin sibuklah aku melayani pesanan-pesanan orang-orang ini. Waktu kemudian menjadi hal penting dipertaruhkan. Jika sebagai penggiat hobi, waktu adalah keleluasaan untuk mendalami dan menggali. Lantas membuat tidak sama dengan tuntutan orang lain yang harus dipatuhi sebagai komitmen produsen kepada konsumen. Sementara sebagai pembisnis, waktu adalah target, persoalan komitmen produsen kepada konsumen. Membuat sama dengan memenuhi sejumlah tuntutan orang lain. 

Ketika waktu adalah keleluasaan, kreativitas dan inovasi-inovasi jadi memiliki ruang gerak yang cukup. Sementara ketika waktu menjadi persoalan komitmen produsen dan konsumen, persoalan kreativitas dan inovasi menjadi persoalan negosiasi. Kepuasan hasil karya tidak lagi aku yang menentukan, tapi ada orang lain atau konsumen yang menjadi ukuran lain dalam menentukan kepuasan (OOT: kok aku tiba-tiba jadi inget jargon seni untuk seni dan seni untuk masyarakat :D). Jika persoalan negosiasi ini tidak bisa berjalan seimbang, kita sebagai pembuat justru hanya menjadi sekedar tukang eksekusi dari keinginan orang lain. Ketika beralih dari hobi menjadi bisnis, hal yang paling fundamental yang menurutku harus dikuatkan adalah posisi tawar dari soal negosiasi ini. Seberapa jauh aku bisa membangun kepercayaan terhadap konsumen, bahwa ide yang aku tawarkan dan aku realisasikan itu memang istimewa. Itu sebabnya, empu itu lebih dari sekedar desainer, karena dia juga mampu mengerjakannya. Kok keliatannya jadi rumit dan sulit ya? 

Sebenarnya ga serumit dan sesulit itu juga. Ini persoalan prinsip mendasar dalam menjalankan kegiatan hobi yang kemudian menjadi bisnis. Seolah rumit dan sulit karena berhubungan dengan bagaimana aku membangun 'harga' bagi diriku sendiri dengan keahlian dan gagasanku. Apakah aku rela hanya menjadi sekedar tukang, atau aku seperti empu yang setiap karya buatanku adalah istimewa. Hal ini jadi pilihan yang menurutku harus ditentukan di awal. Pilihan ini yang menurutku akan menentukan motif dan semangat yang menjaga bisnis ini punya misi dan tidak sekedar melulu persoalan mencari uang. 

Tapi bukan berarti juga harus merasa bersalah, ketika lebih memilih pencapaian materi dari usaha berdasarkan hobi ini. Tidak ada pilihan yang salah selama resikonya disadari dan diterima dengan tanggung jawab.  Sebuah pilihan menurutku menjadi salah ketika kita tidak mau menanggung resikonya atau hanya mau mengambil keuntungannya saja tapi tidak mau menanggung resiko dari pilihan tersebut. Kita tinggal menghitung resiko saja, resiko mana yang paling sanggup kita tanggung, itu yang kemudian bisa menjawab pilihan mana yang bisa kita ambil. 


Comments

paulus phoek said…
iya,
menurutku memang tidak seharusnya sesulit dan serumit itu.

Akhir-akhir ini, topik di atas sedang menjadi renunganku; tadinya ada sedikit rasa "bersalah" sudah membuat/mengerjakan sesuatu dengan kompromi pada keinginan konsumen.

Tapi kemudian aku berpikir:

1. kita bisa menjadi 'crafter' (sisi idealis) sekaligus juga jadi 'tukang' (sisi praktis).
Aku berpikir hidup memiliki banyak aspek; antara lain juga kebutuhan ekonomi. jadi mengapa tidak kita menjadi 'tukang' untuk menghasilkan nafkah. Rasanya itu juga tidak akan mengurangi harkat kita sebagai 'crafter' yang tetap dapat membuat/menghasilkan karya-karya lain yang lebih sesuai dengan idealisme/karakter kita.
Ini bukan kutub "orang jahat - orang baik"

2. Setuju banget dengan konsep: meyakinkan konsumen dengan kemampuan kita sehingga mereka percaya pada hasil karya kita: adalah tantangan bagi setiap crafter, arsitek, atau profesi kratif manapun untuk menghasilkan karya yang bisa diapriasiasi secara obyektif.

ehm... apalagi ya...
ehehehe...ini topik yang menarik. Tapi sudah ngantuk. Lanjut besok saja lagi :D
Unknown said…
menarik :)
sayamaya said…
aku juga sering mengalaminya mba, utk layout terutama dan drawing (belakangan ini). ada konsumen yg begitu saja mempercayakan, tapi ada juga yg cerewet, hihihi...

kalau sudah begitu (ketemu yg cerewet), biasanya aku kasih masukan supaya dia yakin.

dan soal resiko, aku setuju bgt mba. kita memang hrs siap dgn resiko dan memilih mana yg sanggup kt hadapi.

thanks for sharing mba, nice post :)
Evi Sri Rezeki said…
Saya juga sempat mengalami dilema itu (atau mungkin belum keluar dari dilema itu).

Persoalannya bukan membuat handmade sih, tapi ya persoalan kreatif. Awalnya saya ngeblog untuk hobi, lama-lama ada beberapa pesanan tulisan. Pada saat menerima pesanan tulisan itulah terjadi dilema.

Tapi yah, kesadaran mengambil resiko itulah yang harus dipikirkan.

Terima kasih tulisannya, mencerahkan ^_^
Otodiecast said…
hobi yang dibisniskan memang bukan hal yg gampang. :(

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa