Skip to main content

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tulisan ini ditulis ulang dari tulisan lama dengan judul yang sama, untuk dipublikasikan di halaman Teropong Pikiran Rakyat, 7 April 2014. Tulisan yang dipublikasikan di blog ini adalah versi sebelum di edit oleh redaksi. 

 Saya sering sekali mendapat pertanyaan, apakah suatu hari nanti Tobucil (Toko Buku Kecil) akan menjadi besar? dan seringkali pula saya menjawab Tobucil akan tetap menjadi kecil dan memilih untuk tetap menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawaban saya berhasil dibuat terheran-heran dengan jawaban itu, bagaimana mungkin sebuah usaha berbasis komunitas yang dibangun selama 13 tahun tidak punya cita-cita menjadi besar, bukankah kesuksesan sebuah usaha seringkali dinilai ketika usaha tersebut membesar_ baik dari segi tempat, omset, aset, karyawan dan lain-lainnya yang bertambah banyak dan besar nilainya. Namun jika dijalani, memilih tetap kecil itu, bukanlah pilihan yang mudah.


Dalam menjalankan usaha, waktu akan membawa pada masa pertumbuhan dan tempaan. Tahun-tahun pertama (tobucil dua tahun pertama) adalah masa bulan madu, dimana semangat masih menggebu-gebu, energi masih melimpah ruah, kesulitan dan masalah belum menjadi hantaman berarti, kerjasama masih terasa manis dan romantis. Ketika masa bulan madu berakhir, masa tempaanpun dimulai. Usaha yang dibangun seperti dipaksa masuk ke dalam kawah candradimuka. Kongsi yang bubar, modal habis keuntungan belum juga nampak, mulai bosan karena usaha seperti jalan di tempat, tuntutan kebutuhan pragmatis (apalagi bagi yang sudah berkeluarga), jika tak tahan dengan tempaannya, apa yang sedang dirintis bubar di tengah jalan dan mungkin malah bikin kapok seumur-umur.

Sementara jika berhasil menjalani semua tempaan itu, apa yang sedang dirintis, akan memasuki tahap berikutnya, karena formula untuk 'lulus dalam ujian tingkat pertama telah ditemukan, pintu-pintu menuju kesempatan yang lebih besar tiba-tiba terbuka lebar. Dan jalan yang membentang di depan terlihat lebih mudah dan menggiurkan.

Dari pengalaman menjalankan Tobucil ini adalah fase yang justru sangat berbahaya. kalau tidak hati-hati dalam memilih dan mengambil kesempatan, resikonya adalah kehilangan fokus. Semangat yang muncul biasanya adalah semangat aji mumpung: 'mumpung ada kesempatan, mumpung ada tawaran, mumpung, mumpung dan mumpung..' Kesalahan yang seringkali adalah lupa mengukur diri. Seperti orang yang puasa hanya menahan lapar dan haus. Ketika waktu berbuka puasa tiba, segala makanan dan minuman yang ada di meja masuk mulut. Akibatnya kekenyangan dan malah sakit perut. Ketika kaki baru menapaki anak tangga kedua, tiba-tiba saja ingin buru-buru loncati lima anak tangga sekaligus, tanpa menyadari bahwa langkah yang paling lebar yang bisa dilakukan hanya untuk melewati dua anak tangga sekaligus, bukan lima.

Dalam hal ini, saya termasuk yang percaya apa yang diperoleh dengan cara cepat, akan mudah lepas atau hilang, tapi apa yang diperoleh dengan susah payah, akan bertahan lebih lama. Pada titik ini, sebenarnya komunitas atau sebuah usaha akan dihadapkan pada pilihan menjadi besar dengan segera atau menjadi besar sesuai dengan kecepatan alami? Dua-duanya mengandung resiko.

Ketika memilih menjadi cepat dengan segera, banyak hal mengalami percepatan pertumbuhan. Menjadi besar secara revolusioner ini, bukan hanya persoalan resiko saja yang perlu dihitung, tapi juga persoalan percepatan sesudahnya. Jika biasanya mengerjakan pekerjaan dengan skala 1 sampai dengan 10, lalu secara revolusioner meningkatkan kapasitas menjadi 10.000 sampai 100.000 itu artinya akan sulit untuk kembali lagi pada skala 1 sampai 10. Pada level berikutnya, harus bertahan pada skala 10.000 sampai 100.000 atau menaikkannya menjadi 1.000.000. Semakin besar skalanya, semakin besar pula bebannya.

Biasanya pilihan percepatan seperti ini akan membuat kewalahan menjaga passion karena target kuantitas menjadi lebih penting daripada persoalan passion dalam kualitas. Pada titik ini persoalannya bukan takut atau tidaknya mengambil resiko, tapi kemampuan untuk menghitung resiko mejadi lebih penting.

Dalam menjalankan usaha, tidak semua hal bisa dijawab dengan hitung-hitungan matematis. Intuisi dan kata hati tidak dapat diabaikan begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan tadi bisa mendapat jawaban yang akurat, jika mau jujur mendengarkan intuisi yang didukung oleh kemampuan menghitung resiko itu tadi. Jika memang sanggup menanggung lompatan resiko yang paling besar, maka jangan ragu memilih jalan menjadi besar secara revolusioner.


Jika tidak, biarkan semuanya tumbuh secara gradual dan organik 'Padi tidak tumbuh tergesa-gesa'. Kesabaran adalah kuncinya. Memang akan memakan waktu yang lebih lama untuk sampai di tingkat berikutnya di bandingkan dengan yang menjadi besar dengan cara cepat, tapi ketahanan ketika menjalaninya akan lebih terjaga.

***

Lalu dimanakah letak kesulitannya memilih untuk tetap menjadi kecil? saya bisa menjelaskannya dengan analogi orang yang berdiet untuk menjaga kesehatan. Dia tau dia bisa memakan apapun yang ada di hadapannya, tapi dia memilih untuk menseleksi dan membantasi porsinya. Apa yang akhirnya dipilih untuk dimakan, semata-mata demi kesehatan dan hidup yang lebih baik.

Bagi Tobucil yang 13 tahun memilih untuk tetap menjadi kecil, tantangannya adalah bagaimana untuk tidak menjadi silau atas tawaran-tawaran menggiurkan. Memilih tetap kecil bukan karena anti kemajuan, karena kemajuan tidak harus selalu menjadi besar. Memilih menjadi kecil seperti hidup dan membuktikan keyakinan bahwa segala yang besar ada, ketika yang kecil hadir untuk memulainya.



Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah