Skip to main content

Balada Bapak dan Anak Perempuannya


Pic from The Ballad Jack and Rose, Daniel Day Lewis and Camila Belle

“Buat saya bapak udah mati.” Pernyataan itu terlontar dari narasumberku, sebut saja noni, korban perkosaan oleh bapak kandungnya sendiri, yang kuwawancarai siang tadi di tanjung priok Jakarta. Saat rekanku memberitahu dia bahwa bapaknya itu kini harus mendekam 10 tahun di penjara Cianjur sana dan membayar denda 60 juta, wajah gadis manis yang baru 17 tahun itu tiba-tiba bersinar puas.

Dalam kasus noni, sejak umur 8 bulan, dia berganti-ganti ikut bapak dan ibunya yang telah bercerai. Ibunya seorang TKW di Arab Saudi dan bapaknya, bekerja sebagai buruh tani di salah satu daerah di Cipanas, Cianjur. Entah apa yang mendorong bapaknya, untuk memperkosa noni sampai tiga kali. Saat kutemui di penjara Cianjurpun, bapaknya noni tak mau mengaku dan malah menyalahkan anaknya yang menurutnya memang nakal. Masyarakat malah sempat mengira kalau noni menggoda ayahnya sendiri. Untungnya hakim merasa, bukti dan rangkaian kejadian cukup kuat untuk mengirim bapaknya noni ke penjara. Bagiku, apa yang menimpa noni, adalah satu dari sekian banyak cerita kelam dari hubungan anak perempuan dengan bapaknya yang sangat jauh dengan apa yang kualami.

Dua hari sebelum bertemu noni, aku bertemu dengan ‘bapak spiritualku’ dengan anak-anak perempuannya. Kami punya banyak cerita dan lika-liku dalam beberapa tahun terakhir ini, sampai akhirnya aku mengerti, bapakku itu lebih terasa sebagai bapak spiritual daripada hubungan antara perempuan dewasa dan laki-laki dewasa. Saat bersamanya, rasa nyamannya terasa seperti bapak pada anak-anak perempuannya, seperti apa yang kurasakan pada bapakku dulu. Bapak selalu membawa rasa nyaman yang penuh bagiku.

Setelah bertemu ‘bapakku’, aku juga ketemu sama sundea, temanku si anak bapak. Kami membicarakan rencana kompilasi tulisan kami yang akan di terbitkan beberapa bulan kedepan, mengenai hubungan anak perempuan dan bapaknya. Aku cukup surprise ketika sundea bilang, di ilmu psikologi pun, hubungan bapak dan anak perempuannya tidak di bahas secara mendalam. Tidak seperti hubungan anak laki-laki dengan ibunya. Ketika aku menbicarakan hal ini lebih jauh dengan dame, temanku yang lain, dame bilang “mungkin karena hubungan itu lebih dilihat sebagai hubungan laki-laki dan perempuan.”

Aku jadi ingat salah satu adegan di film Balad Jack and Rose, film kesukaanku yang diperankan oleh Daniel Day Lewis (Jack) dan Camila Belle (Rose), tentang ayah dan anak perempuannya. Saat itu, Jack mengusap lembut bibir Rose dan menatapnya lekat-lekat. Pada saat itu Jack melihat dan merasakan Rose secara berbeda. Ada kesadaran kontrakdiktif yang menyeruak sekaligus membingungkan dalam diri Jack. Disatu sisi Rose telah tumbuh sebagai perempuan dewasa yang mengisi kekosongan hatinya selama ini setelah istrinya meninggalkannya bertahun-tahun lalu. Di sisi lain, Rose tetap gadis kecilnya yang membutuhkan sebuah pelukan ayah, dikala gundah.

Aku teringat, suatu saat ayah kandungku menatapku lekat-lekat waktu aku hendak brangkat kuliah. Kemudian dia bilang, “ kamu cantik sekali.” Entah kenapa saat itu aku merasa senang sekaligus GR. Ke Ge-eRan yang aneh menurutku. Mungkin karena itu pujian yang paling tulus yang pernah kuterima dari laki-laki dewasa yang adalah ayah kandungku sendiri. Beberapa tahun kemudian setelah kejadian itu, bapak spiritualku, menatapku lekat. Tatapannya, terasa seperti laki-laki dewasa jatuh hati pada seorang perempuan. Dia bilang padaku, “aku tuh kagum banget sama kamu.” Dan entah kenapa, saat itu yang aku rasakan bukan perasaan senang yang GR. Aku justru menerima perkataan bapak spiritualku itu seperti pujian bapak pada anaknya. Aku ingat, saat itu aku menjawab omongan bapakku itu “aku bisa begini karena dukungan kamu juga, pak.” Karena bapakku yang membentuk kembali diriku, setelah kehilangan ayah kandungku. Hanya saja, pujian itu kemudian terasa aneh. Karena bapakku itu tidak memujiku sebagai bapak pada anaknya, tapi sebuah pujian laki-laki dewasa pada perempuan dewasa.

Dan hubunganku dengan bapakku itu jadi fase yang cukup membingungkanku. Aku bilang pada salah satu sahabatku bahwa ini adalah fase elektra kompleks yang cukup membingungkan. Bisakah, seseorang yang terasa seperti bapak, benar-benar menjadi bapak tanpa ada getaran-getaran lain seperti halnya laki-laki dewasa dan perempuan dewasa?. Kukira, kerinduan abadi anak perempuan yang kehilangan ayahnya, sampai perempuan itu dewasa bahkan berkeluarga sekalipun, dia selalu merindukan bapaknya.

Ku kira kerinduan ini bukan sekedar ketertarikan perempuan dewasa pada sosok yang lebih matang dan dewasa, atau ketertarikan perempuan muda pada ‘om-om’ belaka. Kerinduan ini lebih pada kerinduan emosional dan spiritual. Hubungan bapak dan anak perempuan selain hubungan yang fungsional juga sangat emosional. Secara konstruksi sosial, bapak memang selalu dituntut untuk bertanggung jawab penuh pada keluarganya, menafkahi dan menjamin kesejahteraan keluarganya. Tapi secara emosional, bapak adalah tiang yang menjadi pegangan seluruh anggota keluarga. Ketika tiang itu tidak tertancap dengan kuat, sulit bagi anak perempuan, untuk merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri. Bukan hanya itu, namun juga ttitik pusat, ketika garis dilingkarkan dan menjadi sebuah lingkaran yang utuh. Bapak adalah rasa nyaman yang bisa membuat anak perempuannya merasa penuh dan utuh.

Menurut psikolog temenku, tanpa kehadiran bapak seorang anak perempuan akan mengalami cacat psikologis yang menyebabkan dirinya tak merasa utuh. Dan cacat itulah yang biasanya akan jadi kegelisahan abadi dalam diri seorang anak perempuan. Dia akan terus dan terus mencari sosok ‘bapak’ yang hilang itu dalam berbagai macam cara dan pendekatan.

Bagiku, bapak spiritualku itu adalah role model yang membantuku mendefinisikan kembali siapa ayahku dan apa artinya dalam hidupku. Bapakku itu tanpa ia sadari, mengajarkanku banyak hal dalam beberapa tahun terakhir ini. Mungkin dia tak menyadari betul betapa penting artinya dalam hidupku. Tanpa bapakku, aku tak bisa ‘mengenali’ ayahku yang hidup bersamaku hanya sampai 18 tahun usia kehidupanku. Ya, mungkin itulah maksud keberadaannya untukku. Yang hilang itu (ayahku) ternyata ga benar-benar hilang, tapi dia kembali dalam sosok yang berbeda (bapakku).

kgu, 17 Jan 07

Comments

Anonymous said…
Tarlen, I love your writing of relationship between father and daughter. The part where your dad complimented you is quite sweet; that was how I reacted too towards my dad's compliment. I guess it was because, in my case, I knew his compliment was the most sincere one compared to other compliments uttered by other males around me.
Don't we love fathers? =D
Anonymous said…
hola tarlent, long time no see. pa khabar? ternyata kamu lagi ngomongin bapak sama anak perempuannya. Jadi inget sama bapakku yang selalu nangis kalo ada moment2 penting kakak2 perempuanku. wisuda, lulus, pergi, pindahan, lebaran, punya cucu baru. Dia selalu menangis terharu. Btw skarang dia lagi nyalon jadi lurah. tahu ga yang paling menentang? ibu.
see u around :)

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah