Skip to main content

Last Time I Commited Suicide

Foto by tarlen

Secara ga sengaja, pam, cerita tentang enam orang temannya yang dalam 4 bulant terakhir ini mencoba bunuh diri tapi gagal. Cerita ini kemudian mendorongku, cici, pam, dan dame membahas tentang hal ini dalam perjalanan menuju pertemuan spirituality anonymous siang tadi di Selasar Sunaryo. Meski belum pernah mencobanya, namun kami berempat ternyata pernah terpikir untuk bunuh diri, di masa-masa kegelapan kami masing-masing.

Pertanyaan paling mendasar muncul, 'apa sih yang mendorong masing-masing dari kami sempat terbersit pikiran untuk bunuh diri?' jawabannya ternyata hampir sama. Pada satu titik, kami ternyata pernah mengalami kondisi, dimana kami tak tau lagi bagaimana kesedihan, tekanan, persoalan, kekosongan, kesepian bla..bla..bla.. itu harus diatasi. Itu puncak keputus asaan manakala, kami tak tau lagi bagaimana harus menyikapi kehidupan ini.

***

Aku sempat terpikir untuk bunuh diri, saat aku mengalami kerinduan yang teramat sangat pada bapakku beberapa tahun yang lalu. Saat itu, aku merasa ada kekosongan yang amat sangat dalam diriku, karena perasaan kehilangan itu. Dan kian hari, kekosongan itu bertambah besar dan menelan diriku. Aku merasa, dunia begitu sepi, karena tak ada lagi orang yang paling bisa mengerti aku seperti bapak. Aku menutup diri dari kemungkinan untuk menemukan orang lain yang bisa mengisi kekosongan itu. Akibatnya, aku ditelan oleh kekosongan yang kubuat sendiri.

Aku memang belum pernah mencoba secara serius untuk bunuh diri pada saat itu. Tapi bangun jiwaku, saat itu memang runtuh perlahan-lahan. Hampir dua tahun, aku tak bisa melepaskan diri dari segala macam obat tidur, penenang sampai relaksan otot, karena psikosomatis yang kian hari kian akut. Dokter langgananku terpaksa menambah dosisnya. Dari dua macam racikan sampai enam macam obat racikan dosis tinggi. Namun tetap saja, aku tak menemukan ketenangan ketika aku mengalami kekosongan itu. Yang ada, fisikku malah semakin kacau dan kondisi psikologisku semakin buruk. Alih-alih membuatku lebih baik, kondisi ini malah membuatku semakin buruk dan putus asa. Pada titik ini, beberapa kali aku terpikir untuk bunuh diri. Pertimbangannya sangat-sangat konyol, karena aku pikir kalo aku mati, aku bisa bertemu bapakku dan selesailah semua kekosongan yang menggelisahkan ini.

Beruntung, karena disaat klimaks kegelisahan itu aku menemukan kesadaran untuk 'menyerah'. Menyerahkan seluruh kekosongan ini pada si EmpuNya hidup. Meski berat, namun kesadaran, bahwa hidup tidak hanya berputar di sekeliling kesedihanku saja, lambat laun, membantuku melalui klimaks itu. Aku seperti dipaksa untuk melihat hidup yang lain. Melihat kekosongan-kekosongan lain yang juga dirasakan orang lain. Yeah, ternyata aku bukan satu-satunya orang yang termalang di dunia. Aku punya teman. Punya banyak teman yang mengalami kemalangan yang jauh lebih dasyat dariku. Penyerahanku kemudian menjadi kekuatanku untuk melawan kekalahan dan keputus asaanku. Seperti taichi, keputus asaan dan kekosongan itu menguras energiku begitu besar. Titik klimaks keputus asaan itu, sebenernya disisi yang lebih positif, jadi turning point, ketika energi negatif yang menguras fisik dan jiwaku itu, bisa berubah jadi energi positif yang juga sama besarnya. Mungkin seperti kekuatan dendam yang bisa berubah jadi kekuatan cinta.

Yang kemudian menjadi luar biasa, adalah ketika energi negatif itu bisa kuubah menjadi energi positif, dia menjadi magnet yang sedemikian dasyat, dan bisa menarik energi positif lain untuk mengisi kekosongan yang pernah aku rasakan. Toh hukum energi pun mengatakan, bahwa energi itu tak bisa dimusnakan, tapi dia bisa berubah bentuk. Manusia dan kemanusiaannya dalam keseharian menjalani hidup adalah persoalan bagiamana manusia itu mampu mengubah energi itu.

Saat memasuki usia 27 tahun, aku terserang vertigo akut. Dunia berputar begitu dasyat dan tubuhku ga bisa menerima itu, sampai aku muntah-muntah terus selama 3 hari. Serangan itu terjadi empat hari sebelum hari ulang tahunku. Saat itu aku berpikir, kematianku sudah sedemikian dekat. Aku sampai mengirimkan personal message untuk beberapa orang yang begitu penting dalam proses transformasi energiku (dari negatif ke positif), bilang pada mereka, seandainya aku mati dalam 30 menit kedepan, aku sangat beruntung dan berterima kasih, karena aku pernah mengenal orang-orang yang begitu berarti, seperti mereka. Personal messageku ini sempat membuat panik beberapa orang. Disangkanya itu adalah pesan terakhirku sebelum aku memutuskan bunuh diri. Padahal saat vertigo menyerangku itu, yang ada saat itu adalah kepasrahan pada skenario hidupku yang hanya bisa kujalani, tapi tak pernah bisa kuketahui. Aku hanya menduga-duga saja, bahwa aku akan mati dalam waktu dekat dan ga mungkin hidup lebih dari 27 tahun. Namun lagi-lagi, itu adalah titik nadirku yang lain, saat penyerahan diri pada kehendak yang lebih besar itu, justru memberiku titik pencerahan baru.

***

Sekarang, kalo aku takut menjalani hidupku.. menjalani kesedihanku, menjalani kekosonganku, menjalani kegelisahanku dan yang lain-lain, aku berusaha mencari teman.. karena aku yakin, di dunia ini sesungguhnya banyak orang yang sama takutnya seperti aku..

Beruntung sekali aku, karena bertemu dengan teman-teman yang mau berbagi pengalaman 'zero point' mereka masing-masing. Jujur saja, aku akui, pada titik terendah kami masing-masing, sesungguhnya kami begitu ketakutan. Ketakutan yang sedemikian rupa yang membuat kami putus asa untuk bisa menghadapinya. Namun setelah, kami bisa cukup terbuka untuk membagi pengalaman itu, aku pribadi merasa seperti sekumpulan penakut yang sedang belajar jadi pemberani. Berani menghadapi hidup.

Comments

Anonymous said…
My life is muuuuuch more harder than urs
Anonymous said…
Well written article.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa