Skip to main content

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga

Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?). Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing label dan clothing store 347/eat, pasti dia akan cengar-cengir ketika mendengarkan hal ini.

Sejak boom distro (clothing store) tahun 2003, gaya berpenampilan anak-anak muda Bandung_mulai anak SMP sampai kuliahan_ mengalami perubahan yang mencolok. Merek-merek lokal, seperti 347/eat, Oval, Airplane, Monik, Celtic, Nolabel, Invictus, God Inc dan masih banyak lagi, menghiasi penampilan mereka mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bukan hanya anak muda Bandung, setiap weekend dan menjelang hari raya, clothing store itu sibuk melayani serbuan konsumen mereka dari Jakarta dan kota-kota sekitar Bandung. “Gila orang Jakarta kalau belanja kayak orang kalap, kayak di Jakarta ga ada aja kaos kaya gitu” komentar Iit, seorang teman yang juga pemilik clothing label and store God Inc.

Tahun 2003-2004, pertumbuhan clothing store di Bandung memang gila-gilaan. Hampir 200 clothing store bermunculan di empat penjuru kota Bandung pada tahun itu. Belum lagi ratusan clothing label yang memproduksi produk fashion anak muda. Boom ini dipicu oleh pemberitaan yang cukup gencar di media massa nasional mengenai nilai ekonomi dari bisnis ini. Siapa yang tak tergiur ketika omset setiap bulannya bisa mencapai puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah menjelang hari raya. Namun, hal yang seringkali dilupakan oleh banyak orang mengenai bisnis ini adalah bagaimana para pelakunya membangun usaha ini dengan modal kultural pada awalnya.

Pada mulanya adalah hobi

Siapa sangka, dari sebuah skatepark kecil di salah satu sudut Taman Lalu Lintas Bandung (Taman Ade Irma Suyani), di awal tahun 1990-an, menjadi tempat bersejarah yang melatar belakangi perkembangan fashion anak muda Bandung dalam satu dekade terakhir ini. Skateboard kemudian menjadi benang merah yang menjadi ciri dan eksplorasi fashion dan lifestyle yang dielaborasi oleh para pelakunya dan membentuk gaya anak muda Bandung hingga saat ini.

Pertemuan di Taman Lalu Lintas membuat Didit atau dikenal dengan nama Dxxxt, Helvi dan Richard Mutter (mantan drumer Pas Band), kemudian bersepakat mengelola sebuah ruang bersama di Jalan Sukasenang Bandung. Ruang ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal yang munculnya bisnis clothing lokal untuk anak muda di Bandung. “Cari nama dit, si helvi bilang gitu..waktu itu lagi ngomong-ngomong soal Cihampelas,” Dxxxt mengawali ceritanya ketika saya bertanya darimana nama Reverse berasal. “Kenapa ya, si Cihampelas itu ngga bikin produk-produk dengan merek-merek sendiri, kenapa mereka bikin mereknya reply lah, armani lah.. kenapa ga bikin sendiri, reverse misalnya.. trus Helvi bilang nama itu bagus. Ya udah akhirnya dipakai buat nama toko.” Tahun 1994, mereka membangun studio musik dan toko yang menjual CD, kaset poster, T-shirt, majalah, poster dan asesoris band yang diimport langsung dari luar negeri. Pilihan yang spesifik, membuat barang yang dijual di Reverse, tak bisa didapatkan di toko-toko lain di Bandung pada saat itu.

Reverse pada saat itu menjadi tempat berkumpulnya komunitas-komunitas dari scene yang berbeda. Punk, hardcore, pop, surf, bmx, skateboard, rock, grunge, semua bisa bertemu di tempat itu. PAS dan Puppen adalah beberapa band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse. Richard sendiri sempat membentuk record label independen 40.1.2.4 yang rilisan pertamanya berupa album kompilasi “Masaindahbangetsekalipisan”, pada tahun 1997. Band-band yang ikut dalam rilisan itu diantaranya Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room sebagai band satu-satunya dari Jakarta yang masuk dalam kompilasi ini.

Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, bisnis yang dijalani Reverse, mengalami masa sulit sampai akhirnya tutup. Mereka tak mampu lagi membeli barang-barang dari luar negeri kerena nilai dolar terhadap rupiah melambung tinggi dan tak terjangkau. Namun kondisi sulit ini justru melahirkan fase baru dalam perkembangan industri clothing Bandung. Helvi vetaran Reverse, kemudian membangun clothing label bernama Airplane yang memulai usahanya pada tahun 1997. Bukan hanya itu, bersama Dxxxt dan Marin, Helvi membangun record label bernama Fast Foward pada tahun 1999.

Airplane yang didirikannya bersama dua rekannya yang lain: Fiki dan Colay, resmi berdiri pada tanggal 8 Februari 1998. “Awalnya sih kita udah ngga mampu lagi beli barang-barang impor karena mahal dan krisis moneter. Waktu itu kita mikir, kita bikin apa ya? Soalnya kalau beli, ngga ada yang cocok, pengen kaos yang kaya gini ngga ada.. yang gitu ngga ada.. awalnya dari situ, ya udah kita bikin sendiri deh yang pasti dengan background masing-masing. Semua dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari yang kita senangi aja.. biasanya dari skateboard, trus kita juga main musik, trus itu mempengaruhi ke grafis desain clothing itu sendiri. Jadi emang akhirnya macam-macam.” Jelas Helvi ketika saya temui di kantor Airplane di jalan Titiran Bandung.

Transformasi Reverse sebagai clothing company, dimotori oleh Dxxxt pada bulan Februari 2004. Didukung oleh Marin, Wendi Suherman dan Indra Gatot sebagai mitra usahanya. Reverse kemudian menjelma menjadi label yang memfokuskan dirinya pada fashion untuk pria. Urban culture yang menjadi keseharian tim kreatifnya, menjadi inspirasi dalam desain produk-produk Reverse.

Sementara kegemaran skateboard, bmx dan surfing yang ditekuni Dandhy dan teman-temannya, justru memotivasi mereka untuk membuat produk-produk yang mendukung hobi yang mereka cintai. Bukan hal yang mudah untuk menemukan fashion penunjang kegiatan surfing di Bandung pada saat itu. Maka tahun 1996, dari rumah di Jalan Dipatiukur 347 Bandung, mereka mulai memproduksi barang-barang yang menunjang hobi mereka untuk digunakan sendiri. Ternyata apa yang mereka pakai, menarik perhatian teman-teman mereka. Seperti halnya Airplane, dengan modal patungan seadanya mereka mulai memproduksi barang-barang yang mereka desain untuk kebutuhan hobi mereka itu, untuk dijual di kalangan teman-teman mereka sendiri dengan label ‘347 boardrider co.’ Toko pertamanya dibuka pada tahun 1999 dan diberi nama ‘347 Shophouse’ di Jalan Trunojoyo Bandung. Demikian pula Ouval yang muncul di tahun 1998. Awalnya juga dibentuk dengan semangat untuk mengelaborasi hobi skateboard para pendirinya.

Hobi dan semangat kolektivisme terasa sangat kuat mewarnai kemunculan clothing label dan clothing store pada masa itu. Masih di tahun 1996, Dadan Ketu bersama delapan orang temannya yang lain membentuk sebuah kolektif yang diberi nama Riotic. Kesamaan minat akan ideologi punk, menyatukan ia dan teman-temannya. Riotic menjadi label kolektif yang memproduksi sendiri rilisan musik-musik yang dimainkan oleh komunitas mereka, menerbitkan zines, dan membuka sebuah toko kecil yang menjadi distribusi outlet produk kolektif yang mereka hasilkan. Riotic juga dikenal konsisten dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan musik punk rock dan underground yang saat itu kerap diselenggarakan di Gelora Saparua Bandung.

Generasi Global

Saat saya menceritakan apa yang dilakukan anak-anak muda Bandung dengan industri clothingnya, pada teman saya, seorang penulis buku “Lubang Hitam Kebudayaan”_ sebuah buku yang mencermati perkembangan budaya massa di Indonesia sampai fase reformasi 1998_Hikmat Budiman, dia berkomentar “Anak Bandung itu jago menyerap desain 'arsitektur' global, dibanding dengan anak muda di kota lain. apa yang terjadi di tingkat global, bisa diterjemahkan dan disiasati oleh mereka dan dijadikan komoditas gaya hidup baru dan menjadi trend. Mereka mendefinisikan kembali coolness yang sesuai dengan konteks mereka. selain itu juga ada pasar yang menyerap komoditas baru itu.”

Jika dicermati lebih jauh, apa yang terjadi di bandung pada dekade 90an, memang tak bisa lepas dari kecenderungan global pada saat itu. Musik dan gaya hidup, sebagai dua hal yang tak terpisahkan, memberi pengaruh sangat besar dalam perkembangan fashion anak muda Bandung. Sejak generasi Aktuil di tahun 70’an, Bandung dikenal sangat adaptif pada perkembangan musik dunia. Ketika merunut aliran musik apa saja yang berkembang dalam dekade 90’an, kita bisa melihat bagaimana perkembangan musik itu mempengaruhi eksplorasi anak muda Bandung di bidang fashion. Grunge, yang dipengaruhi oleh punk, muncul di awal tahun 90’an. Sepatu Doc Martens, Converse high top sneaker dan kemeja flanel yang menjadi trend fashion sampai pertengahan tahun 90. Pada kenyataan flanel di gunakan para musisi beraliran grunge ini karena murah dan hangat. Saat grunge kemudian digantikan oleh musik alternatif di pertengahan 90’an dan Nu-Metal yang dimotori oleh Korn sampai menjelang akhir 1990, fashion ini masih terbawa. Hip hop yang banyak digemari para skateboarders dan mempengaruhi perkembangan musik R&B memberi warna lain pada dekade itu. Scene hardcore atau scenecore atau disebut juga emo dan gaya yang dibawa aliran musik pop punk yang dipengaruhi membawa trend fashion yang bersilangan diantara keduanya dan dipengaruhi oleh gelombang ketiga pop punk yang dipelopori oleh Green Day, Good Charlote, Simple Plan.

Extreme sport (diantaranya skateboarding dan surfing), mencapai popularitasnya di tahun 1995. ESPN sebagai saluran extreme sport dan hanya dapat ditonton melalui antena parabola, menjadi salah satu rujukan para skateboarder Bandung pada saat itu. Rujukan lain seperti majalah Thrasher, yang mencitrakan skateboarding sebagai olah raga yang didasari oleh semangat pemberontakan dan akrab dengan ideologi punk, sementara Transworld Skateboarding terasa lebih moderen, beragam dan menjaga citra para bintang skateboarding. Termasuk juga masuknya MTV ke Indonesia yang memperkenalkan lifestyle baru dengan jargon-jargonnya: ‘MTV beda’, ‘MTV Gue Banget’. Perbedaan menjadi komoditas yang dirayakan bersama-sama.

Ketika awal 90’an, fashion skateboarding dunia dipengaruhi oleh perkembangan street skateboarding yang sangat kental nuansa punk rocknya. Baggy dengan oversize denim dan t-shirt extra large menjadi trend pada saat itu. Sementara pertengahan sampai akhir tahun 1990an, trend fashion dalam dunia skateboarding berubah lebih ‘ramping’. Ukuran jeans dan T-shirt, menjadi lebih pas di badan. Bahkan beberapa skateboarder menggunakan jeans dan t-shirt ekstra ketat. Perubahan ini membuat gaya fashion dalam dunia skateboarding terbagi menjadi dua kategori: “punk” (ketat dan ngepas badan) dan “baggy” meski pada prakteknya pembagian itu menjadi sedikit lebih rumit. Celana shagging jeans atau baggy, sweater dari bahan katun atau poliester dengan pull over dan kantong kangguru di depannya atau disebut juga hoodie, baseball caps, dan sepatu vans. Gaya skate punk inilah yang kemudian banyak dieksplorasi dalam desain clothing anak-anak muda Bandung. Majalah katalog seperti Suave, yang terbit di Bandung dengan jelas memperlihatkan pengaruh itu. Pada akhir 90’an apa yang disebut “punk style clothing” menjadi tagline baru dalam perkembangan industri clothing global. Gaya punk kemudian menjadi sesuatu yang mainstream, mendunia dan menjadi mapan.

“Kita emang banyak dipengaruhi oleh musik yang kita sukai, dari label-label skateboard yang kita pakai dulunya, karena kita besarnya, growing upnya di situ. Karena musik ini kan sangat terkait dengan fashion,” Helvi yang juga creative director Airplane, mengakui hal itu.

Pendapat helvi diperkuat Arian tigabelas, mantan vokalis Puppen dan kini menjadi vokalis band Seringai “Ada fenomena yang menarik ceuk urang mah, dulu Bandung terkenal dengan band-band yang keren-keren tapi waktu berlalu dan rupanya band nggak terlalu menghasilkan/menghidupi, dan kini para pelaku band tersebut pindah ke clothing. Jadinya terus terang band Bandung yang punya nama 'gede' sekarang udah ngga signifikan. Tapi clothing jadi industri yang lebih jelas bisa menghidupi iya, karena main band ternyata tetap kere sementara realitanya musti punya modal hidup.”

Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam dekade 90’an, menjadi faktor penting dalam proses yang disebut Hikmat Budiman sebagai penyerapan desain arsitektur global. Ketika tahun 1995 bisnis Internet Service Provider (ISP) mulai berkembang di Jakarta, menurut catatan Kompas, Bandung menjadi salah satu dari tiga kota pengguna jasa internet terbesar. Jika saat itu tercatat di ada sekitar 14 ribu pemakai internet di Indonesia, Bandung menjadi kota pengguna internet terbesar ketiga (1.000 pengguna), setelah Jakarta (10.000 pengguna) dan Surabaya (3.000 pengguna). Bagaimana kemudian perkembangan teknologi informasi ini diserap dalam waktu yang hampir bersamaan di Bandung. Belanja online yang dilakukan Reverse untuk memperoleh produk-produk import yang mereka jual kembali di Bandung. Juga yang dilakukan Anonim yang muncul tahun 1999, mengikuti jejak pendahulunya dengan menjual t-shirt import merchandise band yang dipesannya melalui internet.

Dalam perkembangannya, eksplorasi desain clothing anak-anak muda Bandung, banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang terasa lebih eklektik dan eksperimental. Majalah Trolley (alm 2001-2003), sempat menerbitkan suplemen khusus mengenai gaya street fashion Jepang ini dalam salah satu edisinya.

Pergeseran kiblat kreatif global dari Amerika ke Inggris/Eropa dalam tiga tahun terakhir ini, juga terasa pengaruhnya. Perubahannya sangat jelas terasa dalam scene musik. Street culture Inggris dan Eropa kemudian menjadi sumber rujukan baru dalam mengelaborasi desain produk-produk clothing kemudian. Tahun 2006 ini, Fast Foward record, telah dua kali mendatangkan grup musik dari Eropa untuk pentas di Bandung_King of Convinience (Norwegia) dan Edson (Swedia).

Ketika masa kekuasaan Orde Baru berakhir, kehidupan sosial politik Indonesia mengalami banyak perubahan di era reformasi. Warga Bandung memperlihatkan pola relasi yang baru dengan ruang-ruang publik yang ada di kota Bandung. Beragam aktivitas dan perayaan dilakukan di jalan. Jalanan seperti Dago, menjadi catwalk publik yang mengundang siapa pun yang datang untuk menampilkan gaya dandanan mereka. Individu kemudian mendapat ruang untuk mengekspresikan diri. Saat itu, banyak pertunjukan-pertunjukan musik yang kemudian disponsori oleh clothing company yang mulai memiliki kemampuan ekonomi.

Selain karena minat pada musik yang mereka sponsori, acara-acara seperti itu kemudian menjadi salah satu strategi bersama untuk mempromosikan merek produk-produk clothing yang mereka buat. Monik, Celtic dan Popcycle management, dikenal secara berkala menyelenggarakan konser La Viola bekerjasama dengan pusat Kebudayaan perancis (CCF) bandung. Marin, selain menjadi salah satu pemilik Monik, Celtic, Fast Foward, Reverse clothing Company, juga memiliki TRL bar di Jalan Braga. dari bar kecil itu pula, eksplorasi musik elektronik yang banyak mewarnai perkembangan musik global beberapa tahun terakhir ini, banyak dilakukan. Salah satu pilihannya adalah sekolah Drum n Bass yang dimotori oleh DJ xonad, jenis electronic dance music ini berkembang di Inggris pada dekade 90’an dan semakin dikenal pada awal tahun 2000 serta berkembang di beberapa negara Eropa dalam dua tahun terakhir ini.

“Karena Bandung kotanya kecil, jadi mau ngapa-ngapain gampang... lagian orang-orangnya kekeluargaan, cair banget, babaturanlah, semua dianggap sama,” Ujar Dede anonim, seperti saya kutip dari tulisan Gustaff H. Iskandar, ‘Fuck You! We’re from Bandung. Kondisi inil, masih menurut Gustaff, membawa berkah istimewa bagi perkembangan musik dan juga street fashion di Bandung. Dan mendorong pertumbuhan clothing store (distro) di Bandung.

Sejumlah Persoalan

Di masa boom clothing store 2003 lalu, Kompas pernah menulis: “Adapun untuk membuka sebuah distro, hanya dibutuhkan modal “nekat”. cukup menyediakan sebuah ruangan kecil, misalnya mengambil salah satu sudut rumah seperti garasi. Lalu barang-barangnya bisa digunakan sistem jual titip, dengan menerima titipan barang dari berbagai clothing company. Bila barang-barang titipan itu laku terjual, barulah disisihkan keuntungan untuk si distro (clothing store).”

Namun pada prosesnya tidak sesederhana itu. Modal nekat saja tidak cukup. Bagaimanapun bisnis yang dilatari oleh hobi dan kesenangan pun mengandung bermacam resiko. Benturan kepentingan yang mempertentangkan antara bisnis dan idealisme, menyeruak sebagai sebuah konsekuensi yang harus dihadapi dan disiasati.

“Saya bukan orang bisnis tadinya, akhirnya saya harus belajar bisnis, kasihan guanya gitu..” Seloroh Dandhy dalam sebuah Gathering Komunitas Kreatif di Bandung, bulan April lalu. “Gua ngerasa banyak hambatan dalam kreativitas karena banyak kepentok,” meski ucapan Dandy itu bernada main-main, namun pada prakteknya, keseriusan dalam mengelola bisnis ini memang menjadi proses adaptasi yang berat. Beberapa Clothing yang sudah cukup kuat seperti Airplane dan 347/eat, sengaja menyewa konsultan manajemen dan bisnis untuk memberi masukan dalam pengembangkan usaha mereka. Fiki manajer bisnis sekaligus salah satu pendiri Airplane mengaku, saran-saran bisnis dari konsultan profesional tidak seluruhnya bisa di terapkan. “Tetap aja, kita harus nemuin cara yang paling sesuai dan enak buat kita jalani. Ngga bisa sepenuhnya berdasarkan teori manajemen.” Hal serupa juga dirasakan Dandhy. Konsultan bisnis yang mengawasi kinerja dirinya dan teman-temannya, malah membuat mereka bekerja dalam suasana yang tidak nyaman. Akhirnya Dandhy memilih mengembalikan suasana kerja yang nyaman, meskipun itu berarti tanpa konsultan bisnis.

Fiki, menjelaskan, untuk membesarkan bisnis yang semula dibangun berdasarkan hobi, butuh kedisiplinan tinggi dalam mengelolanya. “Gua ngejalanin Airplane ini bener-bener disiplin. Kita muterin duit yang ada dan disiplin untuk ngejalanin itu. Dan ngga pernah ada suntikan dana lagi sejak dana awal. Airplane bediri udah sejak tahun 1997, tapi bener-bener ngejalanin bisnisnya sejak buka toko, tahun 2001. Sejak September 2001, waktu itu kita mulai dengan uang kurang dari 10 juta untuk sewa tempat dan kita udah punya omset yang lumayan, tapi kalau ada lebihnya kita simpen dan dipake untuk produksi lagi, nambahin modal. Karena kita punya sedikit pengetahuan tentang administrasi juga, makanya bisa tertib administrasi dan itu kerasa banget gunanya.”

Namun tidak semua clothing company memiliki kemampuan untuk membayar konsultan bisnis atau melakukan pembagian kerja yang jelas. Bagi clothing company yang muncul belakangan, idealisme dan keterbatasan modal menjadi tantangan yang harus disiasati lebih keras lagi. Karena secara bisnis, mereka harus berhadapan dengan clothing teman-temannya yang muncul dan mapan lebih dulu.

Dari segi pengembangan desain, tidak banyak juga yang melakukan riset dan pengembangan desain secara serius. Akibat dari boom clothing di tahun 2003, follower yang muncul belakangan, banyak yang asal jiplak desain-desain yang sudah ada. Karena untuk membangun sebuah karakter desain yang kuat dibutuhkan waktu dan proses yang lama. Menanggapi kekawatiran desainnya dijiplak, baik Helvi maupun Dandhy, justru tidak merasa kawatir. Bagi Helvi, kondisi seperti itu, malah membuat ia lebih fokus lagi menemukan karakter desain Airplane. Begitu pula Dandhy, jika imagenya sudah kuat, tak perlu kawatir dengan para peniru. Keseriusan dalam soal desain dan visual inilah yang kemudian membedakan dan menjadi ciri antara clothing satu dengan yang lain.

United we stand

Waktu menunjukan hampir tengah hari. Cuaca begitu cerah. Ruang tengah Jalan Kyai Gede Utama 8 Bandung, terasa guyup, menggantikan kelengangan yang biasa terasa. Sekelompok anak muda duduk-duduk santai di bangku-bangku kayu, di taman terbuka. Wajah-wajah lama, generasi pertama clothing Bandung paska 1995, bercampur dengan wajah-wajah baru generasi pengikutnya. Bukan hal yang mudah, mengumpulkan mereka dalam satu waktu. Riuh suara canda dan tawa, bercampur kicauan burung-burung yang sejak lama menghuni pepohonan di sekitarnya. “Sekarang kita mau jadi seperti apa? Arahnya apakah asosiasi yang dijalankan dengan praktek mafia? Atau gimana? Apakah kita bikin asosiasi untuk bikin counter yang menjegal praktek kartel? Atau asosiasi ini hanya mengakomodasi kepentingan dan ideologi yang sama, dan menghancurkan lawan yang berbeda pandangan? Atau tujuannya sosial atau kemanusiaan.” Dandhy pemilik clothing 347/eat, melemparkan pertanyaan itu ke forum. Perdebatan panjang tiga puluh orang yang hadir disitu pun dimulai. Canda tawa, berubah serius. Masing-masing sibuk memikirkan jawaban dan saling beragumen sampai berjam-jam kemudian. Saya hadir disitu, mencatat waktu. Hari itu, Senin, 12 Juni 2006. Hari dimana asosiasi para pengusaha clothing yang dinamai ‘Forum Komunikasi Pengusaha Clothing Bandung’, di deklarasikan.

Bagi saya, ini memang sudah waktunya, ketika akhirnya para pengusaha muda clothing Bandung ini mau bersatu padu membuat Forum Komukasi. Hal ini bukannya tanpa sebab. Mereka yang selama ini tak terpetakan sebagai potensi ekonomi, tiba-tiba bukan hanya dilirik, tapi coba dirangkul pemerintah lewat program bantuan Industri Kecil dan Menengah, Disperindag. Mengutip apa yang diberitakan Harian Pikiran Rakyat tanggal 8 Juni 2006, Drs. H. Agus Gustiar, M.Si., selaku Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), “Bagaimanapun kekuatan kita ada pada IKM. Supaya lebih kuat, semua IKM harus bersatu untuk membuat terobosan baru yang bisa mengangkat Bandung khususnya.” ...Agus yakin, industri distro Bandung memiliki ciri khas tersendiri yang diilhami dari kreativitas anak muda Bandung.” Jangan sampai ini hilang seperti beberapa merek Bandung yang sekarang mulai memudar, bahkan tidak dikenal orang. Padahal ini merupakan potensi Bandung yang harus ditonjolkan.”

Dalam kegiatan Gathering Komunitas Kreatif dan Online conference yang diselenggarakan selama bulan April-Mei 2006, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Urban Desain dan Common Room Networks Foundation, mengidentifikasi persoalan-persoalan eksternal yang dihadapi selama ini. Masalah-masalah itu muncul, ketika selama ini pemerintah sama sekali tidak mendukung aktivitas yang mereka lakukan. Tidak adanya regulasi pemerintah yang jelas dalam pengembangan industri berbasis kreatifitas seperti yang dilakukan Clothing company selama ini, juga strategi pengembangan industri berbasis kreatifitas sebagai salah satu pengembangan ekonomi kota yang berkelanjutan. Belum lagi pengelolaan pajak yang tak jelas timbal baliknya. Persoalan ketiadaan infrastruktur dan ketidak jelasan pengaturan tata guna lahan di Bandung untuk kawasan komersial, menyebabkan nilai ekonomi lahan semakin mahal dan tak terjangkau dalam mengembangkan usaha yang selama ini mereka jalankan. Pada akhirnya, dukungan yang digembar-gemborkan pemerintah untuk mendukung Industri Kecil Menengah dan membangun kecintaan akan produk dalam negeri, hanya menjadi jargon belaka.

Disadari atau tidak, clothing industry yang muncul dan berkembang di Bandung ini, justru memicu perkembangan industri-industri kecil baru yang juga berbasis kreatifitas. Secara organik, infrastruktur pendukungnya, bermunculan satu persatu. “Waktu itu lagi booming-boomingnya clothing, trus gue pikir, ngapain juga ikut-ikutan bikin clothing, mendingan gue bikin usaha lain yang bisa mendukung usaha mereka. Ada kesadaran itu di gue dan tiga orang teman gue yang lain, gue ngeliatnya orang-orang ini udah harus profesional lah, kalo mereka berbisnis ya harus berpromosi, mereka punya produk yang bagus, buat apa kalo ngga berpromosi,” ungkap Uchunk, salah satu pendiri Suave, Free Catalogue Magazine, ketika saya temui disebuah tempat nongkrong di Bandung. Suave awalnya dicetak sebanyak 3000 eks dengan modal sebuah komputer pribadi. Kini tirasnya mencapai 8000 eks dengan 90 halaman full color. Selain didesain dengan tampilan yang menurut Uchunk, terlihat mainstream, jauh dari kesan indie dan underground, Uchunk juga memberi halaman galeri bagi siapapun yang ingin memamerkan karya grafisnya di satu halaman Suave.

Menurut uchunk, saat ini banyak clothing company yang kemudian menggunakan jasa desainer grafis, fotografer dan biro iklan untuk menggarap materi promosi produk yang bersangkutan. Baginya kondisi ini sangat menggembirakan, karena bidang industri kreatif lainnya kemudian bermunculan. Helvi menambahkan, “Waktu kita bikin ini, ngga kepikiran kalau di depan ternyata akan berhubungan dengan segala macam. Fotografer, advertising, itu kan seru jadinya. Jadi kaya punya dunia sendiri, infrastrukturnya jadi kebentuk dan ini adalah wilayahnya anak muda.”

Wajar saja, jika kemudian tawaran yang datang tiba-tiba ini, disikapi dengan membentuk Forum Komunikasi yang bertujuan untuk memperkuat dan saling mendukung satu sama lain. Banyak persoalan baik internal maupun eksternal yang selama ini harus disiasati dan dipecahkan sendiri oleh mereka. Karena itu, tawaran pemerintah, seperti sesuatu yang to good to be true. Mereka bukannya resistan terhadap niat baik pemerintah, namun yang mereka harapkan adalah kejelasan dalam proses negosiasi dimana posisi tawar kedua belah pihak bisa berjalan dengan seimbang. Dalam hal ini mereka memperlihatkan, apa yang disebut Gustaff H. Iskandar dalam tulisan yang sama, sebagai kemandirian politik dan ekonomi.

Perspektif kemandirian, kemudian menjadi prinsip yang selalu dimaknai kembali oleh mereka. Ketika kemandirian berarti memulai impian besar dengan langkah-langkah kecil. Dengan patungan modal seadanya. Juga ketika usaha ini berkemban dan mendapatkan perhatian, kemandirian berarti membangun posisi tawar mereka ketika bertarung dengan banyak kepentingan-kepentingan lain. Pemerintah salah satunya.

***

Dan disaat, banyak orang kemudian mengeluh, bahwa produk clothing menjadi seragam, waktu yang akan membuktikan mana yang kemudian konsisten menjalani proses eksplorasi terus menerus untuk menemukan kematangan produk atau malah inovasi-inovasi baru dan mana yang kemudian hilang seperti merek-merek Bandung yang memudar dan tak dikenal orang seperti yang dikawatirkan Agus Gustiar.

Setidaknya sampai hari ini, setelah satu dekade yang panjang mereka berproses terus menerus, kekawatiran itu tidak terbukti. “Yang paling keren menurut gua adalah, dimana sekarang anak-anak muda ngga gengsi dan malu lagi pake produk lokal. Dan kita juga seneng, karya kita dihargai orang dari mulai yang naik angkot sampai mobil mewah, pake kaos lokal.” Helvi mengatakan itu dengan mata-mata berbinar-binar lega. Kelegaan yang saya rasakan bukan hanya miliknya, tapi juga komunitasnya, teman-teman sepermainannya, ketika kerja keras mereka, membuktikan sesuatu, bukan sekedar jargon belaka.

Tulisan ini adalah versi pertama untuk PB Magz yang tidak di terbitkan
31 July 2006

Comments

Dony Alfan said…
Maksih buat postingnya. Selama ini saya selalu bertanya-tanya, kok Bandung bisa jadi pioneer untuk industri kloting lokal.
Admin said…
CMIWW 347 itu pertama kali nya di dago 347 bukan di dipati ukur, setelah pindah dari dago 347 baru ke dipati ukur yang deket simpang, lalu yang 347 nya di isi oleh flashy yang juga lumayan terkenal
vitarlenology said…
"CMIWW 347 itu pertama kali nya di dago 347 bukan di dipati ukur, setelah pindah dari dago 347 baru ke dipati ukur yang deket simpang, lalu yang 347 nya di isi oleh flashy yang juga lumayan terkenal"

makasih ya buat ralatnya....
Anonymous said…
hatur nuhun pisan yah...
penting nih buat pengetahuan sosial budaya. hehehe.

terus terang gue adalah salah satu anak Jakarte yg salut ama kreativitas barudak Bandung dan selalu beli produk2 distro tiap kali ke Bdg.

salah satu sumber terpercaya saya cerita kalo Amerika tanpa pilar wirausaha pasti udah kolaps dari beberapa tahun yang lalu. moga2 temen2 di Bandung ini bisa ngomporin anak2 muda di kota2 lain buat jd usahawan kreatip jg. ;)
Akhmad Aldi said…
Quote from icall : CMIWW 347 itu pertama kali nya di dago 347 bukan di dipati ukur, setelah pindah dari dago 347 baru ke dipati ukur yang deket simpang, lalu yang 347 nya di isi oleh flashy yang juga lumayan terkenal

itu taun 97-99 an yah?
jadi inget jaman2 347 masi bisa mesen2 modelnya walo cuman 1 biji .. masi pake sistem customer get customer, saya jadi inget dapet 1 jaket parasut setelah bawa temen saya belanja kesitu hehehehehe..
jaketnya masi ada lagi.. padahal udah 8 taun yang lalu :)

sekarang juga masi seneng belanja distro2an, karena murah dan kualitas ga mengecewakan .. tapi klo sekarang saya lebih seneng yg di Plaza Parahyangan, jauh lebih murah lagi =P

sayang.. distro2 Bandung belum ada yg berani masuk ke Bali ya? selama bbrp bulan di sini, saya cuman liat Green Light dan 347 aja .. padahal saya yakin dengan harga yg sama kaya di Bandung, distro Bandung bakal merajalela ^^
Anonymous said…
Halah...
Jadi kangen distro euy, ngarah jadi budak gaul :-D
Anonymous said…
hai mbak tarlen, gak sengaja nih nemu blognya. saya yang dari formagz. tulisannya keren2 nih...
Anonymous said…
Rasanya bangga juga ya,
Di luar kekalahan yang di derita Timnas sepakbola yang kalah oleh Korea,
Di luar nama negara kita yang semakin lama semakin sinonim dengan kata terorisme, pengangguran, negara dunia ketiga, etc.
Ternyata masih banyak yang bisa dibanggakan, nampaknya....
Hidup Clothing Bandung !
Anonymous said…
Komen saya cuman berbentuk sanjungan, bahwa ini tulisan yang menarik, saya pertama kali datang ke Bandung tahun 1998, dan tinggal disana sampai 2005. Sejak saat itu saya yakin, bahwa kreatifitas itu lahir di Bandun.
yk said…
Hwaaa..tulisannya pas sekali dengan topik thesis saya. Hehehee. Ntar sharing bareng ya Mba. Tampak Mba Tarlen sudah banyak berkecimpung di dunia ini ni.

-yk-
Anonymous said…
wah..informasi menarik. apa distro2 ini masih ada di bandung ga? pengen ngeborong niy...
Anonymous said…
distro bandung sptnya udah jadi barometer fashion di indonesia...

fyi, beberapa bulan lalu saya sempat berkunjung ke sebuah kota kecil di aceh, yaitu meulaboh. sebagai gambaran meulaboh itu sekitar 15 jam dari medan, 8 jam dari banda aceh melalui perjalanan darat. kebayang yah jauhnya hehe

ternyata, di sana saya menemukan ada sebuah toko baju yang khusus menjual produk2 distro bandung... dan sangat laris!

yang saya salut adalah cara mereka membawa barang distro dari bandung ke meulaboh. menurut pemilik toko, belum ada jasa pengantaran barang ke sana.

kerena itu, mereka titip kirim barang kepada kerabat di medan. baru kemudian diambil untuk di bawa ke meulaboh.

bener2 underground :)
Anonymous said…
artikelnya bagus mas, salam kenal ya

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah