Skip to main content

Mari Mulai Mengatur Ide

foto by vitarlenology
Ketika memulai Tobucil, tahun 2001 lalu, aku memulainya dengan semangat, antusiasme dan ide-ide yang membludak. Belum selesai satu ide di jalankan, sudah muncul banyak ide yang lain. Rasanya ingin menjalankan semua ide-ide itu dalam satu waktu sekaligus.

Awalnya mengikuti perjalanan ide di saat memulai usaha, sangatlah menyenangkan dan menggairahkan.  Namun ketika guliran ide menjadi seperti bola salju yang kian membesar, aku menjadi kewalahan dan akhirnya terlibas olehnya. Aku tidak lagi bisa mengendalikan ide-ide itu, tapi ide-ide itulah yang mengendalikan aku.

Aku merasakan tanda-tanda  ketika aku  dikuasai oleh ide adalah ketika aku merasa kewalahan dengan ide-ide  itu sendiri. Terlalu banyak ide yang menggelinding, sampai-sampai aku ga tau ide mana dulu yang perlu di realisasikan.  Aku jadi kehilangan kemampuan untuk membuat skala prioritas, karena semua ide sangat menggoda dan menarik perhatian. Semua ide seperti minta di realisasikan dalam waktu yang bersamaan. Ide-ide itu seperti antrian orang-orang yang berebut  mendapatkan karcis masuk. Padahal ide sebenarnya bisa 'antri' dengan lebih tertib dan satu persatu mendapat tiket masuk. Akulah yang seharusnya mengatur antrian ide-ide itu melalui skala prioritas. Percayalah, ternyata ide itu bisa menunggu dengan sabar dan justru membutuhkan waktu untuk menjadi lebih matang.

***

Mengapa mengendalikan ide yang membludak itu menjadi penting dalam memulai sebuah usaha?  Mengacu pada pengalamanku sendiri, aku memulai tobucil dengan sumber daya yang sangat terbatas. Modalnya hanya semangat dan idealisme. keduanya sama abstraknya dengan ide. Waktu itu aku ga punya pengetahuan tata kelola atau pun ilmu bisnis sama sekali apalagi modal finansial yang mencukupi. Aku hanya mengandalkan intuisi dan sumber daya finansial yang sangat terbatas.

Di satu sisi, keterbatasan sumber daya ini bisa menjadi hambatan, jika aku tidak berhasil menjembatani antara keterbatasan  itu dengan ide yang mengalir sedemikian deras. Di sisi lain, keterbatasan justru yang membantuku untuk lebih bisa mengendalikan ide-ide itu. Mana ide yang paling realistis untuk di jalankan terlebih dahulu sesuai dengan kemampuan? sehingga bisa membuatku fokus, mengerjakan ide-ide itu satu persatu.  Percayalah, ketika satu ide selesai dikerjakan sesuai kapasitas , sumber daya akan berkembang dan bertambah mengikuti antrian ide.

Antrian ide itu seperti tangga yang menyambungkan lantai satu dengan lantai yang lain. Ketika kita ingin sampai di lantai dua, kita mesti memulainya dari anak tangga pertama. Pada anak tangga pertama, kita akan menemukan keyakinan dan kepercayaan diri bahwa ternyata  kita bisa memulai merealisasikan ide yang berdesak-desakan di kepala. Setiap hal besar di dunia ini selalu di mulai dari langkah pertama.

 Pada anak tangga kedua, keyakinan kita akan menjadi lebih kuat. Perasaan optimis bisa sampai lantai dua  menjadi semakin besar. Dan jangan kaget, ketika sampai tengah-tengah, akan muncul keraguan yang dapat menggoyahkan semua semangat, optimisme dan keyakinan diri itu tadi. Saat menoleh ke belakang, kita melihat sudah banyak anak tangga yang berhasil dilalui. Namun saat menatap ke depan, ternyata masih banyak anak tangga yang mesti di tapaki untuk bisa sampai ke lantai dua. Sementara kelelahan  mulai menghinggapi  dan sumber daya terasa menipis, sedangkan perjalanan masih panjang.

Tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak. Nikmati segala kelelahan itu, tarik pembelajaran dengan melihat kekurangan dan kelebihan cara kita menapakinya dari setiap anak tangga yang telah berhasil dilalui.  Sambil menyusun koreksi dan revisi dari setiap kekurangan untuk menapaki sisa anak tangga di depan dengan cara yang lebih baik dan lebih efisien.

Menantang diri sendiri dengan pertanyaan: 'lanjut atau cukup sampai di sini? juga sangat diperlukan. Pertanyaan itu akan membantu kita untuk  belajar menghitung resiko dari pilihan lanjut atau berhenti itu tadi. Tidak ada pilihan yang tidak mengandung resiko. Bahkan memilih bahagia pun ada resikonya. Belajar menakar kemampuan diri untuk menghadapi resiko, itu akan membantu  melatih daya tahan kita untuk memperjuangkan ide-ide yang ingin di realisasikan ke depannya. Jangan jadikan resiko menjadi halangan atau ketakutan untuk melangkah. Jadikan resiko sebagai teman yang memandu mengenali batas  dan kapasitas maksimal diri kita. Petualang yang tangguh itu bukan petualang tanpa rasa takut. Tanpa rasa takut, seorang petualang justru bisa membahayakan dirinya bahkan orang lain. Sesungguhnya, ketika menapaki anak tangga itu, kita sekaligus belajar mengenali ketakutan kita sendiri.

Jadi jangan pernah takut dengan ide-ide yang membludak penuh semangat, karena yang perlu dilakukan adalah membuat ide-ide itu antri dengan tertib dan terealisir satu per satu seperti tongkat estafet yang berpindah dari pelari satu ke pelari lain dengan jarak yang makin lama makin mendekati tujuan. Sehingga  diri ini terus tumbuh dan mengantarkan  pada cita-cita. @vitarlenology


Tulisan ini di bagikan pula melalui blog design by vitarlenology, tobucil handmade 

Comments

vitalia said…
mbaa.... so inspiring,
the problem untuk pemula macam aku, banyak sekali ide muncul tapi bingung mau mulai dari mana, atau ide mana dulu niih yg harus diwujudkan..
hehe.. mau ga mau harus dibuat antrian ide ya.. :)
Thanks for Sharing ya Mba Tarlen
novyalfee said…
pagi-pagi baca postingan ini, bikin aku makin semangat :) makasih mba tarlen, udah mau berbagi & menginspirasi ;)
^_^ said…
Mba Tarlen, trimakasih udah sharing soal topik ini. Manajemen ide, ah pas banget, topik ini lagi hangat-hangatnya di kepala saya. Mudah-mudahan saya makin pintar me-manage ide-ide yang sering datang, supaya ga terbuang percuma, terkalahkan oleh sebuah perasaan 'kewalahan'.

Oya Mba, postingan ini boleh aku re-post di blog aku (miss-moody-pokerface.blogspot.com) ga? Ntar judulnya GUEST POST - Tarlen Handayani dan aku link ke sini. Thx before!
vitarlenology said…
miss moody, silahkan dengan senang hati kalo mau di reblog :)
sayamaya said…
love it!
so so inspiring :)
Ratih Sari said…
bagus,mbak tarlen,, bikin semangat,,
cuman skarang aku lagi bingung,, milih kerja kantoran dulu, bwt modal ato langsung serius d jualan,, hahaha,,,
^_^ said…
Wah, trimakasih ya Mba. Sudah saya re-post di sini --> http://miss-moody-pokerface.blogspot.com/2011/09/guest-post-tarlen-handayani.html
HelloMalicka said…
waaahh.. ini adalah salah satu masalah yang dialami kita, ide satu belum selesai muncul ide lain..otomatis ide2 yang setengah jadi menggunung di keranjang..hehe..trima kasi atas inpirasinya mba tarlen :)
ide yang dibiarkan tumbuh itu, apa boleh tidak dalam satu benang merah?
atau malah kita harus menyortir ide dulu ? agar tidak melenceng dari rintisan awal yang sudah berjalan..

bagaimana menurut mbak Tarlen dan teman2 ??
vitarlenology said…
kalau menurutku ide apapun biarkan saja tumbuh, tapi yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan menyortirnya dan menempatkannya dalam skala prioritas. Bisa jadi idenya ga nyambung tapi ternyata dia bisa jadi alterntif plan B ketika plan A tidak memungkinkan untuk dilakukan...
siouxfairy said…
Postingan Mbak Tarlen ini buat aku jadi pengen nyalurin ide2 yg banyak bertengger dikepala..hihihi..tapi bener banget mbak, mesti tau mana ide yg bisa direalisasiin dalam waktu dekat dan mana yg bs direalisasiin dalam waktu lama. jadi bikin semangat. Mudah2an aku ga cuma semangat n ga nyelesaiin ide2 itu..hihihi..thanks..
Greenpress said…
wao tulisan menarik dan inspiring.........thanks.

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah