Skip to main content

Creative Treatment of Actuality

Foto by tarlen

Kira-kira itulah persepsi John Gierson, pada tahun 1930-an tetang dokumenter. Sejarah panjangnya dimulai sebelum tahun 1900, tepatnya ketika teknologi sederhana gambar bergerak ditemukan. Dari mulai definisi sederhana untuk apapun yang bersifat nonfiksi, sampai perdebatan tentang objektivitas.

Jika berbicara tentang film dokumenter, orang seringkali berdebat panjang tentang untuk apa membuat dokumenter. Karena jika tujuannya merekam realitas seobjektif mungkin, sekarang ini pandangan positivistik tentang obejektivitas digugat banyak orang. Ketika seseorang melakukan kegiatan dokumentasi, sesungguhnya realitas yang direkam adalah realitas yang disusun berdasarkan world of view dan background orang yang melakukan aktifitas dokumentasi tersebut.

Saya teringat perdabatan panjang antara saya dan beberapa orang dalam tim penulis film dokumenter Anak Naga Beranak Naga *). Kami sepakat bahwa upaya-upaya pendokumentasian itu perlu dilakukan. Apa lagi ketika dokumentasi itu menyangkut hal yang menurut banyak orang telah terpinggirkan dan bisa saja dia punah sewaktu-waktu tanpa kita sadari. Perdebatan yang sangat fundamental waktu itu adalah menyangkut persoalan sudut pandang mana yang akan kita pakai untuk melihat kepentingan kita dalam membuat dokumentasi. Apakah kami waktu itu akan memakai kacamata seorang konservatoris yang sarat dengan muatan konservasi atau kah kami hanya melakukan pencatatan semata. Jika suatu obeject yang kami catat hiland musnah, kami tidak terlalu merasa bersalah karena setidaknya kami telah melakukan pencatatan itu. Tapi apakah memang seperti itu dilema yang muncul bagi dokumentator?

Memang bukan hal yang mudah untuk menentukan bingkai apa yang cocok untuk sebuah proses kehidupan yang telah berjalan dalam rentang waktu tertentu dan kemudian waktunya hampir habis lalu semuanya akan hilang atau berganti. Dokumentator seperti dikejar waktu, jika tidak sekarang kapan lagi. Tapi untuk menentukan titik pijak pada saat ini untuk kemudian ditarik kebelakang, lalu menempatkan objek dokumenter kita dalam konteks yang lebih luas, juga bukan persoalan mudah. Jika dokumenter kemudian adalah persoalan bagaimana kekinian itu diperlakukan, tentunya seorang dokumentator adalah orang yang selayaknya memahami konteks persoalan dalam skala mikro sampai skala makro.

Seorang teman pernah mengatakan pada saya suatu hari pendapatnya tentang sesuatu yang berada di ambang kepunahan. Dia bilang: “Jika sudah waktunya punah ya punah saja, mungkin dia memang memiliki keterbatasan sumber daya untuk bertahan hidup.” Jika demikian adanya, saya kira pertanyaan yang harus dijawab oleh dokumentator ketika melakukan kegiatan dokumenter adalah bagaimana menempatkan saat ini ketika apa yang kita catat dalam aktivitas dokumenter adalah rentang proses yang begitu panjang yang sebagian besar telah terjadi di masa lalu. Menghadirkan kembali sesuatu yang telah lalu dan menyingkatnya dalam babakan waktu yang kita tentukan dalam durasi film dokumenter yang akan kita buat, seperti halnya membuat sebuah simulasi sejarah. Dan sejauh mana kita bisa memperlakukan kekinian dalam simulasi sejarah itu, saya kira pertanyaan itulah yang harus dijawab terlebih dahulu, sebelum sibuk berdebat dengan tehnik dan cara apa kita akan mencatat.

Tulisan ini dibikin untuk buletinnya Kinoki Yogja

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...