Skip to main content

Hidup di Bandung Dasawarsa 80an - 90an

'Burako alm. jegger bonpis' foto by bapakku

Tiba-tiba saja, Bebeng bertanya: "Hey Len, maneh teh lainna budak SMP 20? Atuh gudang beas?" (hey len, bukankah kamu anak SMP 20? Gudang beras ya?). Aku yang ditanya begitu langsung balik menuding Bebeng " Hah? maneh teh budak 20 oge?" tawaku dan tawa Bebeng meledak. Tiba-tiba saja, aku dan Bebeng (yang setiap hari nongkrong di kantor AJI Bandung alias tetangga kamar tobucil) punya kesamaan sejarah, karena bersekolah di SMP yang sama. SMP yang sama sekali bukan SMP favorit (biasanya SMPN 4 tetangga kami, meledek anak-anak SMPN 20 dengan sebuatan sekolah gudang beras. SMPN 20 ini terletak persis di stasiun Cikudapateh).

Kenangan kami, ternyata ga jauh beda. Tentang: betapa 'beling'nya daerah kami di jaman remaja dulu. Anak-anak SMPN 20 Bandung (Jl. Centeh, Bandung) pasti ga asing dengan daerah-daerah di sekitarnya: Cinta Asih, Samoja, Gang Warta, Cicadas, Cibangkong, Karees, Cibunut, Alani, Kosambi, Babakan Garut), kosambi, Cikaso, daerah-daerah 'bronx' yang sarat dengan urban legend yang kami bawa setiap hari ke sekolah. Membanding-bandingkan kehebatan preman di daerah masing-masing adalah pembicaraan sehari-hari, termasuk juga bagaimana modus operasi preman-preman itu dan gaya mabuknya yang seringkali mengundang tawa saat menjadi bahan cerita. Perkelahian antar kampung yang seringkali lebih heboh saat diceritakan daripada kejadian sebenarnya. Dongeng-dongeng hantu setempat yang bergentayangan di kampung kami masing-masing

Hidup di gang kampung kota seperti yang aku dan Bebeng alami, selalu menyisakan banyak cerita. Ada memori kolektif yang ternyata mewarnai kehidupan komunal di daerah kami masing-masing dan itu tak lepas dipengaruhi semangat zamannya. "Jangan-jangan Persib kalah terus karena sekarang udah ga ada lagi yang namanya Domba Cup. Padahal ceuk urang mah, Domba Cup aya hubungan nana jeung pembinaan sepak bola sejak dini," Bebeng menganalisis. Mungkin saja. Aku ingat, bagaimana antusiasme warga di tiap RW, setiap musim Domba Cup tiba. Karena RW yang menang nanti, bisa mewakili lomba sepak bola di tingkat yang lebih besar lagi dengan trophy walikota dan Domba yang lebih montok. Saat musim Domba Cup tiba, yang bertanding secara fair bukan hanya tim kesebelasan yang bertanding, namun juga warga sebagai supporternya juga belajar fair untuk merima kekalahan tim mereka. Meskipun perkelahian antar kampung seringkali tak bisa di hindari juga. Apalagi jika kedua belah pihak tak sepakat dengan hasilnya.

Pada saat itu, cerita kekerasan yang menjadi bagian dari kehidupan di kampung kota seperti tempat tinggal kami, justru bukan sesuatu yang dianggap mengakhawatirkan, namun lebih menjadi bagian dari dinamika kehidupan sehari-hari. Bumbu yang membuat hidup di kampung kota seperti kebon pisang atau babakan garut menjadi sedap dan meninggalkan kesan rasa di lidah. Ada sistem sosial dalam masyarakat yang mengotrol sampai sejauh mana kekerasan itu dapat di tolerir. Dan pada masa-masa itu peran militer (daerahku sangat dekat dengan KODIM III Siliwangi dan daerah Bebeng dekat dengan SESKOAD) terasa kuat dalam mengontrol stabilitas keamanan warga. Saat itu, nasib maling jemuran di kampungku, berakhir di tangan tentara piket di KODIM III Siliwangi. Sesekali juga warga asrama Polisi (di sebelah kebon pisang yang sekarang jadi ITC Kosambi) tawur dengan warga asrama ARHANUDRI (jalan Menado), namun semua itu masih dalam kendali dan tidak menimbulkan riot.

Ada toleransi dan ada kesadaran untuk saling menjaga pada dasawarsa itu. Entahlah, apa ini bisa dibilang sisi positif rezim Orde Baru? atau karena masyarakatnya lebih dewasa pada saat itu. Dan semakin kesini (tahun 2000-an) masyarakat semakin paranoid dan mudah panik. Aneh juga. Rasanya iklim kebebasan paska reformasi malah berbanding terbalik dengan kemapuan warga untuk bertoleransi pada dinamika kehidupan keseharian.

Lomba kebersihan antar kampung atau jumat bersih dimana warga bersama-sama kerja bakti membersihkan lingkungannya, kukira sekarang jadi hal yang sangat langka terjadi di Bandung. Kemampuan hidup berkomunitas dalam lingkungan rukun tetangga atau rukun warga, semakin lama, terasa semakin tumpul. Selain semangat zaman yang melunturkan semangat kebersamaan warga, krisis kepemimpinan di tingkat lokal, itu juga jadi persoalan serius. Tumbangnya Orde Baru ternyata juga ga membuat para pemimpin lokal tanggap menyikapi perubahan ini.

Rasanya hanya beberapa hari lagi 2009 menjelang dan waktunya untuk memilih para pemimpin baru kan tiba. Kehidupan seperti apa yang akan mereka tawarkan lima tahun mendatang? kita tak pernah tau, karena semua slogan yang menjadi sampah visual kota Bandung itu, kebanyakan juga hanya menipu. Percuma saja MUI akan mengharamkan golput, karena apa yang bisa di harapkan dari para pemimpin yang tidak tau siapa yang dipimpin dan kehilangan kemampuan untuk bertoleransi pada perbedaan dan dinamika warganya. Maka obrolan mengenang masa lalu (20 tahun lalu itu) menjadi obrolan menghibur yang setidaknya (semoga) bisa mencegah skeptisisme warga Bandung terhadap para pemimpinnya.

Gudang Selatan, 20:44

Comments

Anonymous said…
mba..maaf,saya mau tanya...
yang disebelah burako siapa??yang pake clana blue jeans biru ma baju putih-biru....who's that???i thin..i recognize him...his appearance..like my dad whwn he's young-age...hahahaha..

gitz
artha_onta78@yahoo.com
Anonymous said…
sedikit sih tapi klo direvisi lagi tulisan yang kata2 nya miss kayaknya jadi makin baik
vitarlenology said…
yang miss ejaan atau apanya?
Unknown said…
Photo itu saya kenal..itu teman-teman saya...yang paling kAnan berjejer itu kami kenal namanya NONOT puteranya pak Marso, kalo tak salaah adiknya PIPIT dan PUJI.
saya tinggal di Asrama Polri...mbak marlen masih tinggal isana..di RT berapa?
vitarlenology said…
waaaaa... ternyata dunia ini sempit ya.. iya ini foto nonot putra almarhum pak marso yang motret bapak saya almarhum juga namanya pak dharno atau lebih dikenal dengan sebutan pak kumis.. saya tinggal di RT 8, persis di depan rel kereta api seberang gudang selatan.. temen2 SD banyak juga yang tinggal di tinggal di aspol.. wahh senang bisa terhubung dengan warga aspol yang sekarang udah ga ada lagi.. salam kenal.. :)
Dian said…
baru baca postingan yang ini, jeng. meni waas. jadi inget jaman dulu suka diajak main ke daerah situ.

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah