Skip to main content

Langitnya, Masih Langit yang Sama

Foto by tarlen

Suatu hari, teman baikku menenangkanku saat aku panik berat karena akan menempuh perjalanan penting dalam hidupku. "Tenang saja, langitnya masih langit yang sama, Tuhannya juga masih Tuhan yang sama, bilang saja pada langit, pada angin kalo kamu butuh ditemani, maka saya akan datang padamu lewat langit, lewat angin, lewat dedaunan..."

Seketika saja, semua kepanikan menguap entah kemana. Dan benar saja, di tempat asing itu, saat aku merasa sendirian, aku memandangi langit. "Hey langit, apakabarmu? Aku rindu rumah, aku rindu teman-temanku, sampaikan salamku pada mereka ya.." Begitu pula pada angin "Angin, kirimkan bau bunga sakura di musim semi ini pada ibuku, pada orang-orang yang kucintai, aku ingin mereka merasakan keindahannya dan harumnya.."

Sejak itu, aku meyakini, semesta selalu hadir dan ada. Dia terhubung dengan hidup dan kehidupan yang kujalani. Dia ada menaungi perjalananku. Meski manusia seringkali mencoba memutuskan keterhubungan itu, tapi semesta selalu setia menemani.

Pada langit malam gudang selatan, dan bulan yang termaram terbalut awan, aku menitipkan pesanku "sampaikan pada resah tidurnya.. aku berdoa untuk kebahagiaanmu selalu..pada semesta kuminta, nyenyakkan tidurmu, selimuti dengan mimpi yang indah.. langitmu, masih langit yang sama denganku.. saat kita berpisah dan saat kita bertemu lagi, nanti..."

gudang selatan, 23:25

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa