Skip to main content

HIdup Dengan Sedikit Pilihan

Foto oleh tarlen

Bagiku menerima sedikit pilihan itu, ternyata bukanlah hal yang mudah di bandingkan menerima banyak pilihan lantas bingung memilihnya. Tiga minggu ini, aku tinggal di sebuah rumah kayu, di tengah hutan. Listrik hanya menyala setiap pukul 6 sore sampai pukul 6 pagi. Jika hujan turun seperti sekarang, jalan penghubung antara kecamatan Sembakung- kecamatan Sebuku dan Trans kalimantan, tidak bisa di lalui karena jalan berubah jadi kubangan lumpur yang tidak bisa dilalui kendaraan apapun. Atau berjalan kaki di tengah terik matahari Kalimantan berkilo-kilo meter, karena motor yang ditumpangi bocor bannya. Terpaksa merelakan kulit pedih terbakar matahari demi menggapai bengkel terdekat.

Perjalanan pergi ke sawah yang penuh perjuangan mengarungi danau lumpur itu, ditempuh sebagai bagian dari keseharian. Tak ada yang bisa dilakukan, selain berusaha berteman dengan lumpur untuk menjamin persediaan beras selama setahun bagi kebutuhan pangan keluarga.

Apa yang datang menginterupsi rutinitas, bisa jadi anugrah. Karena itu menjadi hal yang istimewa yang datang. Banjir misalnya. Dia datang sesekali tanpa bisa di tolak. Membuat seluruh warga sibuk, menjalankan kembali apa yang disebut semangat kekeluargaan. Tamu yang datang dari tempat jauh, juga selingan bagi mereka, namun seminggu kemudian, mereka sudah menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Juga kecelakaan seperti tetangga yang digigit ular hitam, atau bayi tersiram air panas akibat kecerobohan ibunya, yang bisa membuat rutinitas terinterupsi oleh solidaritas bahu-membahu menyelamatkan korban.

Hidup ya apa yang diberikan kehidupan setiap harinya. Sawah, banjir, hasil hutan, barang konsumsi yang didatangkan dari pulau tetangga, pedagang sayur keliling dari trans kalimantan yang selalu ditunggu-tunggu, perantau sragen, bugis yang membawa baju-baju model baru, tower telkomsel yang baru empat tahun saja, bukan hanya menyambung komunikasi tapi juga membawa istri atau suami lewat sms dan telepon-telepon nyasar. Begitulah..

Jangan bertanya, dimana warnet terdekat? juga tak perlu sibuk membayangkan fastfood atau kopi mana yang paling enak: starbuck, exelso atau warung purnama. Hidup adalah ladang yang hanya ditanami seperlunya dan sawah yang cukup menjamin kebutuhan makan keluarga selama setahun. Cukup lah itu. Sekolah adalah wajib belajar 9 tahun yang gratis berkat bantuan BOS. Tak perlu repot membayangkan kampus mana yang akan dipilih selepas SMA. Pilihannya mudah: tetap tinggal di desa jadi petani, atau sekolah tinggi ke Tarakan, lalu kembali sebagai honorer di kantor kecamatan, perawat rumah sakit atau guru honorer. Syukur-syukur beberapa tahun kemudian bisa mencalonkan diri jadi caleg asli putra daerah. Begitulah..

***

Bagiku, hidup dengan sedikit pilihan adalah ujian berat. Dunia begitu luas dan mengeksplorasi keluasaannya adalah kemungkinan yang pintunya tinggal di buka. Namun bagi mereka, hidup dengan banyak pilihan mungkin adalah ujian, pilihan-pilihan yang datang di hadapan mereka kini: hanya membuat mereka tercerabut dari dunianya. Aku terbiasa hidup dengan kota yang begitu masing-masing, dan mereka terbiasa hidup dalam satu keluarga besar benama desa. Tinggal di desa membuatku merasa bukan disini tempatku. Begitu pula sebaliknya, memaksa mereka mengalami kehidupan kota, hanya membuat mereka menderita. Setiap orang punyat tempatnya masing-masing. Tempatku di kota dengan segala keruwetannya dan tempat mereka adalah disini dengan segala kesederhanaannya.

Mengalami hidup ditempat seperti ini, meski hanya sebulan saja, membuatku menyadari bahwa ada saatnya, hidup ini adalah soal bagaimana berterima. Ada kalanya, pilihan menjadi kelimpahan, namun ada saatnya pula, pilihan adalah kelangkaan. Dimana tempatku sesungguhnya dan apa tugas yang harus ku jalankan dalam hidup ini. Setiap perjalanan seperti ini, selalu menambah perspektif baru yang membuat hidup tidak lagi dua demensi, tapi tiga demensi interaktif, bisa di zoom out dan zoom in, di geser sudut pandangnya, untuk memberi gambaran yang lebih baik. Semua kesempatan dan kebaikan hidup yang datang dan kualami, seperti berjuta pintu yang bisa kumasuki dan kupilih dengan leluasa. Namun tanpa belajar berterima dengan pilihan yang berlimpah dan yang langka, serta menemukan keyakinan dan kesadaran dimana tempatku sesungguhnya dan apa tugasku, hanya akan membuatku tersesat diantara banyak pintu yang bisa kupilih.

Pada bintang yang paling terang, pada langit sore sungai Sembakung yang begitu jembar dan indah, pada terik matahari di antara hutan Kalimantan yang gundul yang membakar legam kulitku, pada setiap senyum tulus warga desa Atap Sembakung, pada suara burung dan serangga malam , pada pelangi, pada purnama, pada kabut gunung temblunu, pada hangat lumpur sawah sembakung, aku titipkan terima kasihku atas kelimpahan hidupku ini pada Mu..

Terima kasih Tuhan...

- Ada warung kopi..? :) + Ada.. tapi dimanapun kopinya, tak pernah senikmat warung kopi purnama di setiap sarapan pagi bersama... :)

Sembakung, 3,9 Februari 2009

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...