Skip to main content

Tumbuh Bersama



Bagaimana tumbuh bersama-sama dalam sebuah ikatan pernikahan itu? Sebuah pembicaraan menarik muncul beberapa waktu lalu. Sambil menikmati coklat, kopi dan cheese cake bersama dua orang teman yang pernikahannya sedang dalam 'masalah'. Dua orang temanku ini, sama-sama menghadapi persoalan ketidak seimbangan ruang aktulasasi diri dari salah satu pasangan yang menyebabkan ketidak nyamanan salah satu pihak. "Don't join this club.. ," temanku si pembalap gadungan itu, memperingatkanku. Dia tidak ingin ketika aku menikah, mengalami masalah yang dialaminya sekarang.

Pertanyaan ini sebenarnya menjadi pertanyaanku sejak lama. Sepengamatanku, ruang tumbuh bersama dalam ikatan pernikahan itu seringkali menjadi medan pertempuran yang penuh persaingan dan ketegangan. Selalu ada pihak yang merasa di kalahkan dan dianggap menang sendiri. Akhirnya tumbuh bersama itu seperti situasi dua pohon besar yang tumbuh berdesak-desakan di dalam pot sempit. Tanaman itu pada akhirnya tumbuh seperti bonsai yang dikerdilkan. Atau seperti dua ladang yang terpisah jauh yang satu menggarap sawah yang satu menggarap ladang jagung.

Namun sebelum bertanya bagaimana tumbuh bersama dalam ikatan pernikahan, kurasa penting untuk bertanya, apakah pasangan kita sadar bahwa ketika komitmen pernikahan itu dinyatakan, masing-masing akan tumbuh dan berkembang bersama-sama. Menjadi dua batang pohon yang tumbuh berdampingan. Mungkin banyak yang tidak menyadari hal itu. Aku memperhatikan, banyak pasangan yang menuntut pasangannya melebur dalam hidup salah satu di antara mereka. Dunianya tidak boleh lebih besar dari dunia pasangannya. Pernikahan kemudian menjadi komitmen untuk berkompetisi dengan dunianya masing-masing, bukan lagi komitmen untuk memperluas ruang dengan mengapresiasi ruang masing-masing.

Ya tentu saja hal ini mudah dikatakan sebagai teori, tapi bukan hal yang mudah untuk di jalani. Apalagi jika yang mengatakannya belum menikah seperti aku. Dengan mudah aku akan dibilang sok tau "Kamu kan belum merasakan sendiri.." heheheh.. ya apa yang kutulis di sini adalah pandanganku dalam rangka "Don't join this club". Pemahamanku yang kuperoleh dari mengamati kehidupan pernikahan sahabat-sahabatku yang beraneka ragam dan beberapa diantaranya berada di ujung tanduk karena sulit menemukan ruang negosiasi itu.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, bisakah tumbuh sendiri itu seperti tanaman-tanaman di hutan. Sebagian saling menumpang,  sebagian tegak memayungi, tapi semua bisa leluasa dan menumbuhkan potensinya. Tiba-tiba aku jadi kepikiran: 'tapi tumbuhan di hutan itu kan banyak sekali jenisnya. Meski tumbuh bersama-sama, belum tentu semua bisa tumbuh jadi kanopi. Ada yang justru menempati posisi kasta terendah dalam dunia tumbuhan. Setiap tumbuhan kanopi justru menjadi tumpangan tumbuhan-tumbuhan lain. Setiap tumbuhan kanopi itu seperti keluarga yang menaungi banyak kehidupan di dalamnya untuk juga tumbuh bersama-sama.' Mmm.. kalo gitu, mungkin pertanyaan utama pada diri sendiri yang paling mendasar adalah: 'mau menjadi seperti pohon apa aku ini?' Namanya juga pasangan, pasti ada peran dan posisinya masing-masing yang menjadi bagian untuk membentuk fungsi dan peran yang lebih besar. Kurasa untuk bisa menjawab ini, pertanyaan paling mendasar setiap orang: 'mau menjadi manusia seperti apa aku ini?' setelah selesai dengan persoalan mengenali diri sendiri, barulah  bisa mengenali orang lain, mengenali jenis pohon seperti apa dia dan kemungkinan-kemungkinan untuk tumbuh bersama..

Mmmm...

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Perjumpaan Cara Pandang Berbeda Dalam 'Kultur Membuat'

Jika dirunut lebih jauh kultur membuat ini, sesungguhnya tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan   keseharian sejak dahulu kala. Semua pengetahuan tradisional (di barat dan di timur) dengan teknonologi sederhana, aplikatif dan kebijaksanaan terhadap lingkungan sekitarnya, menciptakan gaya hidup yang seimbang lahir, batin juga dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan cara untuk menemukan keadilan hidup yang selaras dengan lingkungan. ‘Membuat’ bukan semata-mata memenuhi tuntutan seseorang untuk menjadi ‘produktif’, namun lebih jauh dari itu, ‘membuat’ membangun ideologi dan pemenuhan diri secara spiritual dimana ‘membuat’ memberi perasaan berdaya kepada setiap individu yang melakukannya. Membuat juga menciptakan pemahaman akan proses yang membutuhkan waktu, tolerasi atas kegagalan, juga kesadaran bahwa sesuatu itu tidak bisa diperoleh dengan cara instan. Sikap seperti ini yang menumbukan kemampuan untuk menjaga diri dari keserakahan. Nam...