Skip to main content

It Might Get Loud (2008)



*****

Dokumenter / Sutradara: Davis Gugennheim

Aku baru saja mendapatkan dvd ini tadi siang dan langsung menontonnya. Dokumenter tentang proses kreatif seniman-seniman hebat selalu menarik untuk kuketahui. Apalagi salah satu yang menjadi tokoh pencerita di dokumenter ini adalah Jack White, musisi asal Detroit sebaya denganku (FYI: White lahir 9 Juli 1975, lebih tua dua tahun dariku), tapi sejak pertama kali menyimak musik dan permainannya dengan White Stripes, aku langsung jatuh hati pada intensitas dan keseriusannya bereksplorasi. Bagiku, White adalah sedikit dari musisi jenius dan serius di usianya. Dokumenter ini kemudian mengajakku mengetahui lebih jauh proses kreatif White sebagai musisi dan latar belakang artistiknya. Aku seperti menemukan kembali perasaan jatuh cinta pada intensitas seseorang dalam berkarya, seperti yang pernah aku temukan pada Eddie Vedder, Pearl Jam, ketika pertama kali mendengar dia menyanyikan Jeremy di tahun 1992. Intensitas seseorang dalam berkarya selalu memberiku inspirasi dan energi kreatif yang ga ada matinya. Karya-karyanya selalu membuka kemungkinan baru ketika menikmatinya.

Dan film ini juga bukan hanya tentang Jack White. Sosok lain yang tak kalah inspiratif adalah The Edge (U2) dan Jimmy Page (Led Zeppelin). Guggenheim sengaja mempertemukan mereka bertiga dan saling berbagi pengalaman kreatif, artistik dan filosofis dari kekaryaan mereka. Jimmy Page dari generasi yang lebih tua, The Edge dan kemudian Jack White dari generasi yang paling muda. Mereka bebagi passion yang sama dan perspektif mereka tentang menjadi seorang gitaris dan apa yang mereka pikirkan sebagai seorang gitaris. Dan ketiganya adalah jenius dengan caranya masing-masing.

Bagi Page, bermain gitar adalah menemukan harmoni, sementara bagi The Edge bermain gitar adalah menemukan kembali kemurnian dan White bermain gitar adalah proses menaklukan. Page dan Edge dengan usia mereka, telah menemukan pematangan dalam proses berkarya sementara White dalam usia membuka segala macam kemungkinan dengan intensitas emosi yang tentunya, Page dan Edge sudah melewati masa-masa itu.

Menurutku bukan hal yang mudah menyatukan tiga sosok yang begitu kuat dalam karakter untuk saling berbagi dan diakhir mereka bermain musik bersama-sama. Sebagai sutradara, Guggenheim berhasil menampilkan keunikan dan kekuatan masing-masing karakter dan merangkaikannya dalam sebuah kisah. Bagaimana London (Inggris)  mempengaruhi Page, Dublin (Irlandia) mempengarui The Edge dan Detroit (USA) mempengaruhi karakter Jack White. Semua muncul dalam gambar memberi nuansa yang bebeda dan menjelaskan latar belakang masing-masing.

Aku sutuju dengan salah satu review yang aku baca tentang film ini bahwa yang terpenting dari film ini bukan sekedar membuka rahasia dapur teknik bermain masing-masing, tapi yang lebih penting adalah membedah dan memberi pemahaman mengapa teknik itu lahir dan semangat apa yang melatar belakanginya. Ku kira, film seperti ini wajib hukumnya di tonton oleh para kreator untuk memahami bahwa sekedar meniru teknik saja tidaklah cukup, tapi mengerti dan memahami passion di balik teknik itu menjadi jauh lebih penting karena pada akhirnya seorang kreator akan menemukan karakternya sendiri dan itulah yang diinspirasikan oleh Jimmy Page, The Edge dan Jack White lewat film ini.

Bagiku ini menjadi film yang cukup penting dan memberikan inspirasi di awal 2010.

Tentang It Might Get Loud bisa dilihat disini: http://www.imdb.com/title/tt1229360/fullcredits#cast

Comments

I. Widiastuti said…
saya setuju banget dengan kutipan ini "sekedar meniru teknik saja tidaklah cukup, tapi mengerti dan memahami passion di balik teknik itu menjadi jauh lebih penting karena pada akhirnya seorang kreator akan menemukan karakternya sendiri"
I. Widiastuti said…
iyaaaaa bener nih yang ini dvdnya malah aku naro comment juga di sini hahahaha.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa