Skip to main content

Perjalanan Rasa Ingin Tahu



Langit di jendela kamarku

'Apa yang membuat menakutkan ketika mengikuti rasa ingin tahu? bukannya setiap orang akan mengikuti rasa ingin tahunya?'

Beberapa waktu lalu, sahabatku mengajukan pertanyaan itu di saat kami mendiskusikan tentang bagaimana anak-anak jaman sekarang (terutama mahasiswa-mahasiswa sahabatku itu) rendah sekali rasa ingin tahunya. Saat itu, aku bilang bahwa mengikuti keingin tahuan itu, bukan sesuatu yang mudah dan gampang, karena perlu keberanian. Ketika rasa ingin tahu itu terus menerus kita ikuti, bisa membawa kita pada lorong yang panjang dan sunyi. Bisa jadi tinggal kita sendirian yang ada di lorong itu. Kita ga tau juga, ujungnya sampai di mana. Mungkin pada satu ceruk, kita akan bertemu dengan para pertapa yang sedang asyik menghikmati keingin tahuannya. Dia memutuskan untuk berhenti di titik itu dan merenungkan substansi semua penelusuran keingin tahuan yang dia jalani itu.

Kurasa setiap orang pasti menjalani apa yang kusebut dengan perjalanan keingintahuan itu. Namun, jarak tempuhnya tentu berbeda-beda. Karena perjalanan ini ga ada garis finalnya. Setiap orang bisa berhenti kapan saja dan dimana saja dengan resiko-resikonya. Bagi yang memutuskan untuk melakukan perjalanan sejauh mungkin, resiko terbesarnya adalah tidak punya banyak teman di perjalanan. Tidak banyak orang yang sanggup dengan perjalanan yang jauh itu, karena semakin jauh, semakin sulit medannya, padahal bisa jadi substansi yang ditemukan kemudian adalah sesuatu yang sesungguhnya sederhana saja. Perjalanan sejauh-jauhnya ini, yang di sebut oleh romo Anton sebagai perjalanan menggali ke kedalamanan atau menurut sahabatku yang lain, Bambang Q-Anees sebagai 'proses lima lapis bertanya kenapa'.

Yang seringkali melelahkan dari perjalanan menelusuri keingintahuan bukan semata-mata kelelahan fisik belaka, karena ini bukan semata-mata perjalanan fisik namun lebih ke perjalanan pemikiran. Menelusuri kedalaman pemikiran kita sendiri, dari sebuah pertanyaan yang sederhana saja, sampai terus dan terus.. kenapa begini, kenapa bisa begitu.. terus dan terus. Resiko terberat lainnya yang ku maksud dengan sesuatu yang menakutkan adalah: tersesat dalam pemikiran sendiri. Jika hal itu terjadi, bukan hal mudah juga untuk mencari jalan kembali, bahkan di satu titik memang tidak ada jalan untuk kembali, karena waktu yang kita habiskan untuk mejalaninya, tidak akan pernah kembali dan berulang.

Dalam perjalanannya, aku merasakan bahwa penelusuran rasa ingin tahu ini, bukan hanya berlaku untuk  membuat kita mengerti sesuatu, namun bagiku penting juga untuk menelusuri mengapa aku tidak mengerti akan sesuatu. Seperti kata orang bijak 'semakin mengetahui banyak hal, semakin kamu tidak mengerti apa-apa.' Mungkin itu pula sebabnya menjalani penelusuran keingintahuan tidak mengenal garis final karena setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan garis finalnya sendiri.

Itu sebabnya Tuhan menyukai orang-orang yang berpikir dan mencari termasuk mencari dan menemukan garis final kita masing-masing. Kebebasan manusia kurasa ada pada keleluasaannya menentukan pilihan pada titik mana garis final itu akan kita tentukan. Pada titik ini, kita memiliki keleluasaan menentukan kualitas diri dari sejauh mana perjalan rasa ingin tahu itu kita tempuh. Tuhan hanya memberikan sesuai dengan kepantasan yang kita upayakan sendiri..

Comments

pikircerdas said…
mengagumkan seperti biasa... :)

jadi menurutmu hanya mereka yang "terkutuk" saja yang akan berjalan jauh sendiri di lorong gelap nan sepi itu?....*yah! saya telah menjalani jawaban dari pertanyaan saya sendiri*
vitarlenology said…
bukan mereka yang terkutuk.. tapi mereka yang memilih.. disadari atau tidak, kita yang memilih berjalan menyusuri lorong itu.. kita bisa berhenti kalo kita mau.. tapi aku, kamu.. memilih untuk terus menyusurinya bukan.. meski harus berjalan dalam lorong gelap itu sendirian..
blueismycolour said…
Wow...
penemuan yang keren mbak!
tulisan yg buat sy berpikir,sy ada di sisi yg mn skrg...
hihihi..

nice... ^^

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa