Skip to main content

Kawan Sepermimpian

 foto by vitarlenology

Beberapa hari lalu aku terhubung dengan adik seorang teman yang dulu pernah membangun cita-cita bersama. Lalu temanku itu meninggalkanku begitu saja untuk cita-cita yang lain. Si adik, tiba-tiba muncul dan memberi dukungan terhadap cita-cita yang pernah kubangun bersama kakaknya. Diam-diam ternyata si adik menyimak dan mengikuti sepak terjangku selama sepuluh tahun terakhir ini.

Aku jadi teringat, masa-masa ketika si kakak meneleponku setiap malam dan bermimpi bersama tentang apa yang kukerjakan selama sepuluh tahun ini, bahwa ini akan menjadi begini dan begitu di masa datang. Benar-benar hampir setiap malam. Setiap ada ide baru, sekecil apapun, si kakak akan menelepon dan membahas panjang lebar denganku. Saat si kakak memutuskan untuk meninggalkan Bandung dan pindah ke kota lain untuk menjalani pekerjaan lain, aku sempat terpukul dan bertanya: "bagaimana dengan semua rencana-rencana dan impian yang kita bangun bersama?" Dengan enteng, si kakak menjawab: "Kan ada kamu yang akan menjalankannya." Oke. Saat itu, aku mengobati kekecewaanku dengan bilang pada diriku sendiri: "dia (si kakak) toh akan sering pulang ke Bandung dan kita masih bisa menjalaninya bersama-sama." Dan memang, ketika si kakak pulang, kami berusaha menjalani impian-impian via telpon itu bersama, meski si kakak menjalaninya tidak utuh, hanya bagian yang dia sanggup saja di sela-sela waktu pulangnya ke Bandung. Seperti sebuah hubungan percintaan jarak jauh, tapi tidak terasa senyata percintaan yang rasa cintanya bisa tergenggam dan terasa kehangatannya.

Membangun impian bersama jarak jauh, rasanya seperti membiarkan diri terbuai mimpi yang terpaksa disudahi karena harus bangun. Aku yang bangun dan kembali ke dunia nyata dan menjalaninya, sementara si kakak, temanku itu, adalah orang yang ada dalam mimpi, lalu menghilang ketika harus menjalaninya di dunia nyata.

Begitulah. Hampir tiga tahun berjalan, sampai suatu hari, aku meminta menjelasannya. Mengapa harus aku yang bangun dan menjalaninya di dunia nyata terus menerus? mengapa bukan kamu, wahai temanku, yang ada di posisiku dan berhadapan dengan realitasnya?  Jawaban yang kuterima saat itu ternyata sangat menamparku. Rasa sakitnya aku rasakan bertahun-tahun kemudian. Dengan tegas si kakak, temanku itu, bilang bahwa impian yang dia bangun denganku adalah salah satu dari sekian banyak impian-impian dia yang lain. Tentunya dia bisa bebas berpindah dari satu impian ke impian yang lain, dan maaf saja jika ternyata bukan realitas impian bersamaku yang ingin dia jalani.

Saat itu, rasanya seperti aku seperti dihempaskan dari mimpi bersamanya. Aku terhempas dan memikul tanggung jawab atas realitas yang berjalan paralel bersama impian-impian yang selama ini dibangung bersama-sama. Di tengah keterpukulanku, sahabatku bilang bahwa tidak ada yang memaksaku menjalani realitas dari impian-impian itu, jika aku memang tidak sanggup menjalaninya. Siapa yang mengharuskan? berhari-hari aku memikirkannya, sampai diriku menjawab, 'aku sendiri yang mengaharuskan, karena jika aku tidak menjalani impian dan  realitasnya sekaligus, aku tidak akan pernah bisa memimpikan dan menjalani yang lebih besar dari ini.' Pada saat itu, aku seperti menandatangani perjanjian baru pada diriku sendiri untuk memilih impian dan realitas ini yang ditinggalkan oleh temanku, si kakak itu. Perjanjiaan ini yang memberiku kesadaran awal, sebuah impian bisa saja dimimpikan oleh banyak sekali orang, puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang, namun yang menentukan realitas yang harus dijalaninya adalah diriku sendiri. Aku tidak bisa memaksa orang lain atas nama 'kesamaan impian' untuk menjalaninya bersama-sama juga.

***

Sepuluh tahun kemudian, si adik justru muncul dan memberi dukungannya, sementara si kakak ketika bertemu denganku beberapa kali, seperti orang asing yang tidak pernah terhubung sama sekali apalagi membangun impian bersamaku. Aku dan temanku itu, seperti tidak pernah saling mengenal. Keterhubungan kembali dengan si adik, seperti membuatku memeriksa kembali semua kesakitan akibat rasa ditinggalkan itu. Dan ternyata tidak ada lagi. Mungkin aku seharusnya yang berterima kasih. Jika si kakak tidak menghempaskanku pada realitas ini sendirian, aku mungkin tidak akan pernah bisa menemukan impian dan realitas yang lebih besar yang bisa aku impikan dan menemukan kekuatan untuk menjalaninya selama sepuluh tahun ini. Aku justru menemukan keberaniaanku untuk bermimpi dan menghadapi realitasnya, daripada sekedar membangun impian lewat telpon, lewat kata-kata yang akhirnya terlupa oleh realita lainnya dan ketakutan-ketakutan untuk keluar dari zona aman.

Saat baru dihempaskan rasanya tidak adil, mimpinya bareng-bareng, realitasnya juga harus bareng-bareng. Rasa keadilan semata-mata, seperti timbangan yang harus sama beratnya. Tapi, sepuluh tahun kemudian, baru kusadari rasa keadilan justru bisa berjalan sebaliknya; seperti berat sebelah pada awalnya dan mendapat lebih banyak pada akhirnya. Keadilan yang berlaku disini adalah keadilan seperti keseimbangan yang benar-benar seimbang hanya seper sekian detik saja, setelah itu, kembali bergerak, seperti berat sebelah, padahal waktu sedang merumuskan nilai keadilannya. Mungkin seperti rasa keadilan para penyintas/survivor. Awalnya seperti korban ketidak adilan, tapi setelah bisa bertahan dan melewatinya dan menjadi seorang penyintas, dia mendapatkan jauh lebih banyak melebihi apa yang diharapkannya daripada ketika dia hanya berkubang dalam posisi korban.

Ya, pada mulanya, aku seperti korban yang dihempaskan dari mimpi bersama yang seperti terpaksa memikul beban impian ini sendirian. Seperti tidak punya pilihan, padahal seperti kata sahabatku, aku bisa melepaskannya jika tak sanggup, tapi ternyata aku memilih memikulnya dan itu berarti sebenarnya aku punya pilihan itu. Aku sama-sama punya pilihan seperti temanku, si kakak itu yang punya pilihan untuk pergi meninggalkan impian bersama dan memilih realitasnya sendiri. Aku selalu punya pilihan itu dalam setiap hal yang terasa tidak adil, aku sesungguhnya selalu punya pilihan: berkubang sebagai korban terus menerus atau melaluinya dan menjadi penyintas. Rasanya sepuluh tahun ini aku sudah membuktikan pilihanku yang terakhir: aku memilih sebagai penyintas dari impian bersama dan ternyata aku mendapatkan jauh lebih banyak dari yang aku impikan dan yang kujalani.

Temanku, sampai kapanpun aku tak akan pernah menyangkal bahwa pernah ada masanya, kita membangun impian bersama-sama. Ketika kau hempaskan aku dalam realita impian itu sendirian, tak akan pernah bisa mengubah bahwa kau, pernah menjadi kawan sepermimpianku. Terima kasih untuk pernah bermimpi bersama-sama..

Comments

Tri Damayantho said…
setiap orang mempunyai mimpinya masing-masing, beberapa orang membiarkan mimpinya mengalir seperti air, dan sangat sedikit yang membangun mimpinya seperti kamu Len..mungkin mimpi itulah yang membuat seseorang menjadi "hidup"

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah