Skip to main content

Dua Puluh Tahun Tumbuh Bersama Pearl Jam



Tulisan yang aku posting di sini adalah versi sebelum di edit redaksi majalah Tempo, versi majalah bisa di baca dengan mengklik gambar di atas

Saat Eric Clapton sibuk menyanyikan Tears in Heaven di panggung MTV Video Music Award 1992, Eddie Vedder  (vokalis Pearl Jam) dan Kurt Cobain (vokalis Nirvana), malah sibuk berdansa dengan mesra di belakang panggung. Orang-orang di sekelilingnya tampak tidak mempedulikan mereka. Usai berdansa, mereka berdua berpelukan layaknya dua orang sahabat. Gambaran ini jauh dari gembar-gembor media yang saat itu justru sibuk memposisikan Pearl Jam dan Nirvana sebagai rival  yang saling bermusuhan.

Cameron Crowe, jurnalis dan sutradara yang dikenal lewat film Singles (1992), Jerry McGuire (1996), Almost Famous (2000)  menyusun kembali footage sepanjang 1200 jam menjadi film dokumenter berdurasi 109 menit dengan judul PJ20.  Film ini diputar sekali saja secara serentak di seluruh dunia pada tanggal 20 September, termasuk Indonesia. Upaya Pearl Jam Indonesia (fans club PJ di Indonesia), bersama Bioskop Merdeka dan Heaven Records sebagai penyelenggara, berhasil mengundang antusiasme lima ratus penggemar yang  memadati studio XXI, Epicentrum Jakarta, meski pemutaran terlambat satu jam dari yang sudah ditentukan.

Pada dasawarsa 90-an, Seattle Sound adalah kiblat musik sulit dihindari. Grunge yang dipopulerkan media sebagai aliran musik dari Seattle, menempatkan Soundgarden, Pearl Jam, Nirvana, Alice in Chains, sebagai idola baru yang mendunia. Perkembangan dan dinamika sosial Seattle Sound ini di jelaskan dengan sangat baik dalam film dokumenter berbeda garapan Doug Pray, Hype! di tahun 1996.

Adalah Stone Gossard (gitar) dan Jeff Ament (bas) pada tahun 1988, bersama Andrew Wood sang vokalis, membentuk band yang mereka namai Mother Love Bone (MLB). Karisma Andrew Wood melejitkan MLB dan menjadikannya band paling menjanjikan di Seattle pada saat itu. Kematian Andrew Wood yang tiba-tiba pada tanggal 19 Maret 1990 akibat overdosis heroin, memporak porandakan band yang tengah sibuk mempersiapkan debut album mereka. Setelah kematian Wood, Gossard dan Ament mencoba membentuk format band baru. Lewat tangan Jack Irons (mantan drummer Red Hot Chili Peppers), single demo yang digarap Gossard dan Ament sampai ke tangan Eddie Vedder dan menerbangkan pemuda  pemalu yang bekerja sebagai penjaga malam asal San Diego ini ke Seattle untuk bergabung bersama Stone Gossard, Jeff Ament, Mike McCready  dan membentuk band yang kemudian mereka beri nama Pearl Jam.

Crowe tidak hanya berusaha meluruskan kesimpang siuran ‘mitos perselisihan’ PJ dengan Nirvana, namun memperjelas kekuatan PJ sebagai sebuah band yang bisa menyuarakan kegelisahan individu generasinya. Eddie Vedder sebagai vokalis dengan karismanya menjadi juru bicara tanpa rasa takut dan tidak mengenal kompromi, ketika berhadapan dengan kekuatan yang berusaha mendikte proses PJ dalam berkarya dan mengganggu kedekatan mereka dengan para penggemarnya seperti yang mereka lalukan terhadap Ticket Master. Keterlibatan PJ pada aktivisme sosial: keberpihakan mereka pada Pro Choice, dukungan terhadap pembebasan Tibet, West Memphis Three dan mantan kandidat presiden Ralp Nader, juga sikap anti perang dan kebijakan Bush. Sikap seperti ini yang menjadikan PJ sebagai band yang konsisten terhadap keberpihakannya namun sekaligus menjadi band paling sulit dimengerti.

Matt Cameron (mantan drummer Sundgarden) yang semula berada di luar PJ, namun akhirnya ditarik masuk sebagai drumer, lewat PJ20 mengakui bahwa PJ bukan band yang mengambil pengaruh dari luar mereka, namun justru kekuatan karakter para anggotanya sendiri  yang saling mempengaruhi dan membentuk mereka. Pergulatan untuk terus menjadi diri mereka sendiri tanpa kehilangan harmoni untuk bertahan dan berkembang hidup bersama selama dua puluh tahun menjadikan Pearl Jam termasuk satu dari sedikit band besar yang dengan kerendahan hati mengkritisi diri sendiri serta eksistensi mereka  secara terbuka kepada penggemarnya.

Bagi penggemar berat PJ yang sudah khatam membaca biografi mereka, retrospektif sejarah yang ditampilkan lewat PJ20, seperti cerita yang diulang-ulang untuk menguak yang tersembunyi, memperjelas yang samar dan menemukan makna baru dari peristiwa yang sama. Sebelumnya, Crowe pernah memproduseri video dokumenter Pearl Jam: Single Video Theory ketika menjalani proses rekaman album Yield pada tahun 1998. Sebagian footage di  film ini kembali di tampilkan pada PJ20. Meskipun demikian Crowe berhasil membawa penggemar beratnya pada perspektif baru dan  pemahaman yang lebih dalam tentang PJ sebagai sebuah band. Namun bagi penggemar yang lebih akrab dengan musiknya dari pada sepak terjangnya, Crowe berhasil memberikan rangkuman yang komprehensif tentang sepak terjang PJ selama 20 tahun tanpa melebih-lebihkannya. Terasa sekali bahwa film ini dibuat oleh seseorang yang sangat mengenal PJ bukan hanya sebagai sebuah band, namun juga PJ secara personal.

Sebagai penggemar yang seluruh masa remajanya dipengaruhi oleh mereka, film ini menjadi momen untuk merenungkan kembali  apa yang membuat saya bersedia menunggu  17 tahun untuk bisa menyaksikan konser di Madison Square Garden , NYC, 2008 lalu dan melakakukan perjalanan spiritual ke Seattle hanya untuk merasakan udara yang menghidupi kreativitas mereka. Apa arti     bertahan sampai 20 tahun, saya kira bukan hanya personil PJ saja yang merenungkan itu,  namun penggemar setianya pun pulang menonton sambil mencoba menemukan jawaban dalam diri mereka masing-masing.


Tarlen Handayani, Penggemar berat Pearl Jam sehari-hari bekerja untuk Tobucil & Klabs.

Comments

I. Widiastuti said…
when an avid Pearl Jam fan talks :)
palsayfara said…
Mantap Len...moga2 gw bisa nonton konsernya live suatu saat nanti :D
Meliana said…
baru sempet baca... mantaf, mbak! rencana mo posting juga di blog tapi euuuh ga sempet trus hehehe
Ayu Welirang said…
mbak tarlen ternyata grungers juga ya :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa