Skip to main content

Menjadi Kecil Itu Pilihan


Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja
Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.'

Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah usaha sudah berlangsung sepuluh tahun dan tetap memilih jadi kecil, hal ini tidak lagi jadi pilihan yang mudah.

Dalam menjalankan usaha, waktu akan membawa kita pada masa pertumbuhan dan tempaan. Tahun-tahun pertama (tobucil dua tahun pertama) adalah masa bulan madu, dimana semangat masih menggebu-gebu, energi masih melimpah ruah, kesulitan dan masalah belum menjadi hantaman berarti, kerjasama masih terasa manis dan romantis. Ketika masa bulan madu berakhir, masa tempaanpun dimulai. Usaha yang kita bangun seperti dipaksa masuk ke dalam kawah candradimuka. Kongsi yang bubarlah, modal habis keuntungan belum juga nampak, mulai bosan karena usaha seperti jalan di tempat, tuntutan kebutuhan pragmatis (apalagi bagi yang sudah berkeluarga), jika tak tahan dengan tempaannya, ya kelaut aja. Usaha bubar jalan dan mungkin malah bikin kapok seumur-umur. Sementara jika berhasil menjalani semua tempaan itu, usaha kita akan naik tingkat. Kita akan menemukan formula untuk bertahan hidup dan bukan hanya itu saja, pintu-pintu menuju kesempatan yang lebih besar tiba-tiba terbuka lebar. Tiba-tiba segalanya jadi mudah, segalanya jadi mungkin dan kita merasa mampu menjalankan segalanya (padahal baru lulus tingkat satu doang). Seperti anak yang baru duduk di bangku kuliah dan merasa tahu banyak hal. Cobaannya bukan lagi hal-hal yang sulit, tapi cobaan datang dalam bentuk tawaran-tawaran yang menggiurkan.

Dari pengalaman menjalankan tobucil ini adalah fase yang justru sangat berbahaya. kalau tidak hati-hati dalam memilih dan mengambil kesempatan, resikonya adalah kehilangan fokus. Semangat yang muncul biasanya adalah semangat aji mumpung: 'mumpung ada kesempatan bla bla bla..' Kesalahan yang seringkali dilakukan pada fase ini adalah kita seringkali lupa mengukur diri. Seperti orang yang puasa hanya menahan lapar dan haus. Ketika waktu berbuka puasa tiba, segala makanan dan minuman yang ada masuk mulut. Akibatnya kekenyangan dan malah sakit perut. Kita yang baru menapaki anak tangga kedua, seringkali ingin buru-buru loncat lima anak tangga sekaligus, tanpa menyadari bahwa langkah yang paling lebar yang bisa kita lakukan hanya untuk melewati dua anak tangga sekaligus, bukan lima.

Dalam hal ini, aku termasuk yang percaya apa yang diperoleh dengan cara cepat, akan mudah lepas atau hilang, tapi apa yang diperoleh dengan susah payah, akan tahan lebih lama. Pada titik ini, sebenarnya kita akan dihadapkan pada pilihan menjadi besar dengan segera (besar secara revolusioner) atau menjadi besar sesuai dengan kecepatan alami  (evolutif)? Dua-duanya mengandung resiko. Ketika memilih menjadi cepat dengan segera, banyak hal dalam diri kita harus mengalami revolusi, termasuk orang-orang yang mendukung usaha kita. Pertanyaannya: sanggupkah kita? sanggupkah mereka? apa dampaknya jika revolusi itu harus terjadi? Dalam menjalankan usaha, tidak semua hal bisa dijawab dengan hitung-hitungan matematis. Intuisi dan kata hati tidak dapat diabaikan begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan tadi bisa mendapat jawaban yang akurat, jika kita mau jujur mendengarkan intuisi yang didukung oleh perhitungan matematis. Bahkan kamu  yang terlahir dengan bakat petaruh handal sekalipun, pasti akan mengikuti intuisi dan perhitungan untuk menggandakan taruhan terbesar yang kamu mampu. Ini yang disebut dengan mengukur resiko. Kalau kamu dengan jujur dan yakin, sanggup menanggung resiko yang paling besar, maka jangan ragu memilih jalan menjadi besar secara revolusioner.

Menjadi besar secara revolusioner ini, bukan hanya persoalan resiko saja yang perlu kamu hitung, tapi juga persoalan percepatan sesudahnya. Maksudku, jika kamu yang biasanya mengerjakan pekerjaan dengan skala 1sampai dengan 10, lalu kamu secara revolusioner meningkatkan kapasitasmu menjadi 10.000 sampai 100.000 itu artinya kamu akan sulit untuk kembali lagi pada skala 1 sampai 10. Pada level berikutnya, kamu harus bertahan pada skala 10.000 sampai 100.000 atau menaikkannya menjadi 1.000.000. Semakin besar skalanya, semakin besar pula bebannya. Jika usahamu berdasarkan passion, biasanya pilihan ini membuatmu kewalahan menjaga passion. Target kuantitas menjadi lebih penting daripada persoalan passion dalam kualitas. Sejauhmana kamu sanggup memikulnya? Ini bukan persoalan takut atau tidaknya mengambil resiko, tapi kemampuan kamu untuk menghitung resiko mejadi penting. Aku inget omongannya Bucek Depp, sebagai orang yang menggemari olah raga ekstrem, Bucek pernah bilang bahwa seorang petualang itu harus mengenal rasa takut, biar dia bisa mengenali batas kemampuan maksimalnya. Seorang petualang yang tak mengenal rasa takut itu justru berbahaya, buat dirinya sendiri maupun orang lain, karena ga punya kendali.

Bagaimana halnya dengan menjadi besar dengan kecepatan alami (evolutif)? Biasanya ini berlaku bagi orang yang menjalankan usaha dengan mempertahankan kecepatan yang konstan karena takut passionnya tak terjaga, seperti menapaki anak tangga satu demi satu untuk sampai di atas. Sabar adalah kuncinya. Di satu sisi, akan memakan waktu yang lebih lama untuk sampai di tingkat berikutnya, dibandingkan dengan yang menjadi besar dengan cara cepat, tapi ketahanan kita ketika menjalaninya akan lebih terjaga. Di saat orang lain yang berlari atau loncat beberapa anak tangga sekaligus kelelahan, kita masih bisa melaju dengan energi yang tetap terjaga. Kita dapat menaikkan skala sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemampuan kita.

Jika usaha yang kita lakukan berdasarkan pada passion, pilihan ini akan menjaga passion yang kita miliki karena beban yang harus kita jalani, masih diambang batas wajar. Disebut wajar karena kita tau batas maksimal yang bisa kita lakukan pada saat ini. Perlu diingat, batas maksimal itu bukanlah harga mati yang tidak dapat berubah. Dia bisa meningkat atau juga menurun tergantung dari upaya yang kita lakukan. Ketika kita terus belajar meningkatkan kemampuan  dan memberi tantangan pada diri sendiri untuk menguji kemampuan yang kita miliki, otomatis yang disebut batas maksimal itu akan semakin jauh. Maksimal itu seperti garis cakrawala, ketika kita terus berjalan mendekatinya, dia akan terus menjauh. Untuk mencapai yang terjauh itu, perlu waktu dan kesabaran.

***

Lalu dimanakah letak kesulitannya memilih untuk tetap menjadi kecil? Aku bisa menjelaskannya dengan analogi orang yang berdiet untuk menjaga kesehatan. Dia tau dia bisa memakan apapun yang ada di hadapannya, tapi dia memilih untuk menseleksi dan membantasi porsinya. Seminggu pertama masih terasa mudah, namun memasuki minggu kedua pilihan makanan yang beragam itu menjadi godaan yang berat untuk hindari. Dan yang paling bisa mendisiplinkan adalah dirinya sendiri.


Seperti nasehat bijaknya Seth Godin,

" Don't be small because you can't figure out how to get big. Consider being small because it might be better."

Dan tobucil memilih untuk tidak menjadi tobusar, bukan karena tidak mampu menjadi besar, tapi tobucil meyakini, passionnya ada pada yang kecil itu. Mengutip tulisan salah satu peserta klab menulis feature tentang tobucil: Menjadi kecil itu indah, menjadi kecil itu tidak mudah. Begitulah tobucil.


Comments

dini kurnianing said…
Waaah... tulisan yg bagus mba... bisa buat wacana kami yg membangun usaha berdasarkan passion.

setuju dengan naik bertahap dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya.

Kalo tobusar jadi ga seru lagi namanya mba..hehehe
Desa Boneka said…
Good article, mbak Tarlen! setuju 100%! :)
novyalfee said…
iyaa..ini tulisan yg bikin semangat & jadi belajar banyak hal :)
masukannya ngena banget mbak.
jadi ada konsep tentang "diet" fokus agar lebih :sehat usahanya.
Dian said…
kecil dengan semangat yang besar. you are :)
Miss U said…
konsisten dengan passion nya ya mbak :D
karena kadang sesuatu yang besar menghalangi kita melihat apa yang dulu ingin kita raih :D
rika daniel said…
setuju dengan Dini, bagus banget tulisn ini mba. Bagi aku pribadi ini sebuah renungan krn aku sedang berencana memulai usaha yg didasari dg passion :). sptnya Tobucil yg tetap kecil punya keindahan tersendiri :)
Salam kenal mba...

wah tulisn mba sudah banyak memberikan pencerahan kepada kami....

tetap lah menjadi tobucil yang punya semangat besar....
Anonymous said…
tulisannya bagus mba. menjadi renungan n pelajaran buat kita. makasih, salam kenal ^^
nun said…
Sekali lagi saya sepakat dengan Mbak Tarlen... Bermanfaat bagi orang lain tidak harus menjadi sesuatu yang besar. Banyak orang ingin membusungkan dada dalam aura kebesaran, tapi hanya santa suci yang mau menjadi kecil dan sederhana dalam kebesarannya.
Usheu said…
Mba Tarlen...makasih udah share tulisannya, bener-bener ngasih pencerahan banget. Memilih menjadi kecil kan bukan berarti nilai dan keberadaannya jadi kecil juga. Buktinya Tobucil bisa jadi "besar" dengan caranya sendiri, terutama di hati temen-temen dan pengagum karya-karya/kegiatannya Tobucil ^^

sukses teruss yaa... b^^d

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa