Skip to main content

Perjalanan Menuju Rumah Senja

Aceh 56 Bandung
"Hal yang membuatku tidak terlalu memikirkan soal Rumah Senja adalah karena aku ga yakin ada teman yang mau berkomitmen membangun impian itu."
"Loh kamu kan masih punya saya.. kamu bisa membangunnya bersama saya."

Pembalap gadungan datang beberapa siang yang lalu, mengatakan bahwa ia akan mengambil cuti mengajar (semacam sabatical program) selama 1 tahun.  Dia sendiri belum punya tujuan dengan sabatical programnya itu. Tapi tiba-tiba dia mengingatkan kembali mimpi yang pernah aku tulis beberapa tahun lalu (2 April 2009), tentang rumah masa depan bernama Rumah Senja, rumah tempat aku dan orang-orang yang setuju dengan gagasan itu, bisa menghabiskan hari tua bersama-sama.

Tiba-tiba saja aku seperti diingatkan kembali dan menjadi kebetulan yang saling berkait, ketika beberapa waktu terakhir ini aku telah membulatkan tekad akan menghabiskan hari tuaku di Yogja, bukan di Bandung. Pulang kampung dan mengamini kejawaanku. Lalu si Pembalap Gadungan datang membawa ingatan dan komitmen tentang cita-cita masa depan itu. Sepanjang sore, hatiku dipenuhi bahagia, seperti bahagia yang kurasakan ketika cita-cita ini pertama kali muncul. "Rumah Senja bikin saya, jadi punya tujuan dengan hari tua saya nanti.." kata-kata si Pembalap Gadungan itu membuatku bener-bener terharu. Membayangkan persahabatan kami sampai kakek nenek.. Ya Tuhan, semoga ada umur untuk mengalami itu semua..

Sahabatku ini menikah, namun memutuskan untuk tidak punya anak. Kekawatiran terbesar dia adalah siapa yang akan mengurusnya  di hari tua nanti? Apalagi dengan semua pergulatan pemikiran-pemikirannya itu, siapa yang tahan kecuali istri dan sahabatnya yang sama-sama menjadi tua. Mengapa tidak saling menjaga dan menemani, seperti yang  kami jalani saat ini?

Membangun sebuah rumah hari tua bersama, kurasa bukan perjalanan yang bisa dengan cepat dan mudah untuk di capai. Sepertinya baik aku maupun si Pembalap Gadungan, perlu mempersiapkannya sejak sekarang dan mencari teman lain yang mau sama-sama berkomitmen untuk mewujudkannya. Karena cita-cita ini tidak mungkin jika hanya kami saja yang mewujudkannya.

Soal Jawa Tengah itu, kami sepakat. Sebenarnya kami itu manusia yang tercerabut dari akar identitas kultural. Sahabatku itu orang tuanya berasal dari Jawa Timur, lahir di Yogja, namun tumbuh berkembang di Bandung. Sementara akupun demikian. Orang tua ku asal Yogja - Magelang - Semarang. Namun karena aku lahir dan berkembang di Bandung, Jawa adalah persoalan identitas yang pelik buatku (soal ini akan kubahas dalam tulisan yang terpisah).

Ketika membayangkan Rumah Senja, aku memang langsung membayangkan sebuah kota di Jawa Tengah, tapi belum tau apa. Lalu, historiografinya Peter Carey, Kuasa Ramalan,  mengubah keputusanku untuk menjawab kepelikan identitas yang kurasakan sejak aku kecil dulu . Dan si Pembalap Gadungan menyambungkannya dengan cita-cita yang sempat tersisih dari ingatanku.

Membeli sebidang tanah bersama untuk rumah senja kami nanti. Memulainya dengan sebuah klinik dimana bukan hanya kami yang bisa menikmati layanan kesehatan itu kelak, tapi juga masyarakat sekitar dimana klinik itu berada. Lalu paviliun-paviliun kecil, ruang-ruang bersama yang bisa  menampung kesibukan kami dan penduduk sekitar di hari tua nanti (dalam hal ini, aku membayangkan, Yu Sing, arsitek yang aku hormati itu, bisa membantu mendesainkan rumah senja ini). 

Apakah ini sebuah perjalanan utopia? kurasa tidak. Ini sesuatu yang nyata yang semua orang pasti akan sampai kesana: hari tua itu. Aku dan si pembalap gadungan meyakini bahwa ketika kita ingin bahagia di hari tua, itu tidak akan serta merta datang begitu saja, tanpa dipersiapkan dari sekarang. Kebahagiaan hari tua itu, seperti bangunan yang perlu di susun dari bata demi bata. Karena menjadi bahagia itu pilihan dan membangun rumah senja itu adalah jalan yang  dipilih untuk menuju pilihan itu.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah