Skip to main content

Rumah Senja

Ini adalah cita-citaku di hari tua nanti (semoga umurku cukup untuk mewujudkannya). Sebuah rumah jompo, tapi aku tidak mau menyebutnya begitu, tapi aku lebih suka menyebutnya Rumah Senja (pemandangan senja selalu indah bagiku). Sebuah rumah, dimana para manula (aku dan teman-temanku kelak), bisa menghabiskan sisa hidup di rumah itu. Aku membayangkannya, rumahnya terletak di daerah pedesaan, dengan tanah yang luas. Setiap orang bisa berkebun atau sekedar memelihara bunga matahari dalam sebuah pot, paviliun cozy untuk setiap penghuninya. Ruang bersama yang bisa jadi galeri kecil, ruang pertunjukkan, ya semacam ruang aktivitas bersama. Perpustakaan kecil dengan perapian yang hangat, klinik kesehatan yang memadai, tempat berolah raga, lapangan rumput yang luas, pokoknya rumah senjaku itu, rumah dimana semua penghuninya bisa menemukan bahagia tutup usia.

Ide membangun rumah senja ini, terlontar secara spontan olehku, ketika pertemuan madrasah falsafah berbicara soal hari tua (meski temanya soal: bos, mengapa berkuasa?.. ga nyambung). Gagasan itu, tiba-tiba saja tercetus dan membuatku terhenyak sendiri, 'mmm, mengapa tidak? sebuah rumah jompo untukku sendiri kelak dan akan sangat menyenangkan jika ternyata aku bisa menghabiskan masa tuaku, bersama teman-teman juga. Saling menjaga, saling mengingatkan. Betapa indahnya, bisa menjalani sebuah perjalanan pertemanan yang panjang.' Saat gagasan itu bergulir, beberapa teman langsung bereaksi. Tiga orang pertama selain aku, malah booking tempat dari sekarang: Heru Hikayat, Desiyanti Wirabrata dan Firdaus. Setidaknya bagi kami jadi ada gambaran akan dihabiskan dimana hari tua nanti. Temanku, Yusrilla si ahli robot, malah menawarkan diri menjadi salah satu pendirinya. Desy juga sempat mengatakan itu, 'kita patungan saja, bikin bareng-bareng.'

Kami begitu bersemangat membayangkan itu. Bagiku pribadi, cita-cita ini menjadi cita-cita yang indah dan menyenangkan untuk di bayangkan. Setidaknya aku jadi punya tujuan dengan hari tuaku. Setidaknya ada alternatif pilihan yang menyenangkan untuk dilakukan. Semangat tobucil dengan segala klabnya, akan kubawa di rumah senja nanti. Tentunya malah lebih menyenangkan, karena akan ada kebun sayuran dan tanaman obat, anggrek (jika kamu berminat bergabung), dan buah-buahan juga. Malahan kalau bisa, makanan yang nanti kami makan adalah hasil dari kebun sendiri. Organik dan non pestisida. Kegiatan-kegiatan pengisi waktu yang membuat ga cepet pikun, tentunya akan menjadi program di rumah senja. Aktualisasi diri yang terus menerus, hanya bisa dihentikan ketika yang bersangkutan mati.

Aku mencita-citakan, rumah senja, benar-benar bisa menjadi rumah bagi penghuninya, untuk melepaskan hal-hal yang membelenggu selama ini dan menjalani apa yang selama ini ingin di jalani tapi tak mungkin dijalani. Pada prinsipnya, "Jangan ada penyesalan dalam hidup dan mati dalam perasaan bahagia" (hal yang sama, yang aku mohon pada ibuku bahwa aku ga ingin dia meninggal dalam perasaan tidak bahagia, atau punya banyak penyesalan dalam hidup, jadi nikmatilah sisa hari di bonus usianya sekarang ini). Aku percaya, orang yang matinya dalam kondisi perasaan yang bahagia, ia akan meninggalkan inspirasi bagi orang-orang yang ditinggalkannya dengan begitu hidupnya menjadi tidak sia-sia. Ada manfaat yang dia tinggalkan yaitu inspirasi dan semangat yang justru tak pernah mati. Gimana caranya? aku sendiri belum kebayang, tapi setidaknya tujuannya sudah terumuskan.

Teman-temanku ini, memang ada yang berkeputusan tidak menikah, ada juga yang ga tau apakah akan menikah atau tidak. Ada juga yang sudah menikah, tapi ga mau punya anak. Namun ada juga yang biarpun punya anak, dia ingin bisa memilih akan menghabiskan hari tuannya dimana; apakah bersama anak-anaknya, atau bergabung di Rumah Senja. Karena itu, kelak para anak tak perlu merasa bersalah juga membiarkan orang tua mereka tinggal di Rumah Senja. Karena Rumah Senja adalah pilihan. Tentu anak dan cucu setiap saat bisa datang dan menjenguk. Rumah Senja juga bisa menjadi rumah bagi para pasangan yang saat tua nanti, salah satu memutuskan untuk tinggal terpisah ataupun bersama-sama di Rumah Senja. Dan bagi anak-anak, sadarilah, bahwa para manula ini, berhak menentukan kebahagiaannya sendiri di hari tuanya.

Aku ya membayangkan, Rumah Senja ini, bisa jadi seperti sebuah kompleks perumahan kecil berisi paviliun-paviliun dengan fasilitas bersama, dimana para penghuninya bisa saling menjaga satu sama lain dan juga saling menemani. Pengalamanku melihat para manula yang pergi ke museum bersama, menonton pertunjukkan, atau pergi naik bis atau subway bersama-sama, ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi ruang-ruang sosial mereka. Dan yang indah adalah mereka kemudian saling menjaga satu sama lain: jalan bergandengan, semua itu memberi kesan yang mendalam bagiku. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku ingin ketika aku tua nanti, aku bahagia dan menikmati hidupku seperti itu. Aku ga tau, apakah aku akan bertakdir hidup sampai tua bersama pasangan atau tidak, namun yang jelas aku tidak ingin merasa kesepian dan sendirian. Karenannya membayangkan ruang-ruang itu ada saat tua nanti, membuatku jadi lebih bersemangat.

Aku juga jadi ingat cerita Elida, tentang sebuah desa di Perancis yang hampir mati karena para penduduknya sebagian besar pindah ke kota. Lalu sekelompok manula yang adalah mantan aktivis Paris '68, pindah ke desa itu dan menghidupkan kembali desa itu dengan kegiatan kolektif yang mereka kelola bersama. Indah sekali dan bagiku sangat inspiratif.

Mungkin tugasku di dunia ini adalah membangun ruang-ruang bermain bersama itu. Menyampaikan pilihan pada orang lain untuk menemukan kebahagiaannya. Jika sekarang aku jalani tugas itu bersama tobucil, nanti di hari tua, aku bisa menjalaninya dengan Rumah Senja.

***
Sekarang yang mulai kulakukan adalah menabung untuk sebidang tanah yang cukup luas itu dan tentunya berdoa pada Tuhan, semoga aku punya cukup kekuatan untuk mewujudkannya. Terlepas dari pasangan hidupku kelak mengerti atau tidak dengan cita-cita hari tuaku ini, aku akan tetap memperjuangkannya, karena aku tau cita-cita ini membuatku bahagia dan tidak akan membuatku menyesal saat hidupku berakhir nanti.

Hari ini aku menuliskannya, untuk menanamnya dalam hatiku dan meretasnya dalam langkahku. Aku berdoa semoga dua puluh tahun mendatang, aku bisa kembali membaca kembali tulisan ini di beranda Rumah Senja, sambil berkumpul bersama teman-temanku dan orang yang kucintai sambil memandang langit senja yang indah dan membahagiakan. Amin. Semoga.

Gudang Selatan, 2 April 2009

Tambahan:
Ada pro dan kontra seputar: bagaimana kalau Rumah Senja di tambah kuburan sekaligus taman juga. Sebagian temanku merasa, kuburan bisa membuat kecil hati, tapi menurutku, kuburan akan jadi peristirahatan terakhir yang di rancang sebagai sebuah taman yang menyenangkan dan jadi bagian paling menarik di Rumah Senja.

Comments

vira said…
pesan satu paviliun.
Anonymous said…
wah pengen ikutan nabung :)

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah