Skip to main content

Carut Marut Perempuan di Layar Kaca

foto by tarlen

Rasanya bukan saya saja yang mengalami perasaan schizophrenic, jika menyimak pemberitaan di layar kaca dalam sebulan terakhir ini. Sebagai pemirsa, saya menyaksikan betapa cepat drama kehidupan berganti lakon. Pemirsa televisi seolah digiring dalam satu fragmen ke fragmen lain yang semua peran utamanya adalah perempuan. Sebut saja Maria Eva dalam berita skandal seksnya dengan anggota dewan dari partai Golkar_Yahya Zaini. Belum selesai kehebohan berita itu, pemirsa digiring pada fragmen berikutnya yang tak kalah heboh. Kali ini bintang utamanya adalah teh Ninih, istri ulama kondang Abdulah Gymnastiar yang memutuskan menikah lagi dengan perempuan bernama Rini. Pemberitaan ini mengundang reaksi keras dari banyak kalangan. Sebagian sangat menyesalkan sikap Teh Ninih sebagai istri yang menerima begitu saja keputusan suaminya menikah lagi. Sebagian besar lainnya sibuk memperdebatkan boleh tidaknya poligami. Bahkan Presiden SBY pun ikut bersuara mengenai hal ini. Perdebatan poligami yang semakin panas itu, tiba-tiba di potong oleh pemberitaan, penyanyi muda Alda Risma yang ditemukan mati di sebuah hotel di Jakarta. Diduga Alda mati over dosis, belakangan muncul spekulasi, bahwa kematian Alda juga disebabkan oleh suntik diet dan kencantikan yang selama ini dia jalani.

Rasanya memang seperti itulah wajah televisi yang saya tonton sehari-hari. Sinetron, tayangan mistik dan kekerasan, seolah masih kurang dan perlu diperburuk lagi dengan infotainment dan tayangan ‘bernuansa islami’ yang tidak sensitif gender. Simak saja sepenggal adegan tayangan Hidayah dilayar kaca kita yang mengambarkan bagaiman sesama perempuan menyebarkan kebencian diantara mereka sendiri. “Dasar perempuan miskin! Jangan pernah kamu injakkan kaki lagi di rumah ini. Anakku tak pantas untukmu. Pergiii!!" teriak Ny Rossi. Dengan senyum sinis, jari tangannya menunjuk jalan ke luar rumahnya. Nurul, perempuan yang dia usir itu, dengan wajah pucat, berlari, pergi. Ny Rossi tersenyum puas.

Pemberitaan televisi, yang kian hari kian membuat saya merasa ngeri. Dunia ini seolah tak pernah mengabarkan kabar baik. Seolah kenyataan hidup hanya berisi kesedihan dan kekerasan yang memaksa saya untuk terbiasa dengan semua itu. Sebagai sesama perempuan, saya merasa ngeri ketika perempuan selalu diposisikan sebagai korban, pihak yang teraniaya, tak berdaya dan seolah-olah menjadi penyebab dari semua patologi sosial yang ada dimasyarakat.

Belum lagi tayangan infotaiment yang kian hari mengaburkan batas antara ruang private dan ruang publik. Selebritis yang kebanyakan adalah perempuan, dituntut untuk selalu memenuhi tuntutan publik atas citra diri yang sempurna. Tak ada ruang bagi sosok yang lebih manusiawi bagi seseorang berlabel selebritis. Infotaiment sebagai medium yang bisa mengangkat karir seorang artis, berperan pula sebagai hakim yang menjatuhkan hukuman ketika si selebritis keluar dari tuntutan citra yang selama ini telah terbentuk.

Simak saja jawaban-jawaban yang seringkali seragam, manakala selebriti perempuan ditanya, apa yang akan dia lakukan setelah menikah, apakah ia akan terus berkarir sebagai artis? Dengan klise mereka menjawab: “ Yang jelas saya akan mengutamakan keluarga, jika suami saya mengijinkan saya akan tetap berkarir sebagai artis.” Seorang aktor muda pendatang baru ketika ditanya apa yang dia bayangkan tetang hubungan dia dengan kekasihnya yang juga seorang artis, jika memasuki jenjang perkawinan, si aktor menjawab: “Saya ingin, istri saya nanti menjadi ibu rumah tangga, di rumah mengurus suami dan anak-anak.”

Dengan dalih hak publik untuk mendapatkan informasi, infotaiment dengan leluasa menelanjangi kehidupan pribadi selebritis. Misalnya dalam kasus perceraian. Pihak ketiga (baca: perempuan lain) selalu menjadi cara pandang si pewarta infotainment dalam mengupas masalah perceraian. Seolah harus ada perempuan lain yang menjadi kambing hitam dalam perceraian itu.

Hampir disetiap talkshow mengenai perempuan, pembicaraan mengupas persoalan kecantikan, bagaimana tips disayang suami dan keluarga, bagaimana mengurus rumah dan anak. Dan jika mengupas persoalan karir, lebih pada persoalan bagaimana kemudian karir tersebut tidak bertentangan dengan kehendak sosial.

Bagaimana perempuan dilumpuhkan dan dibuat tak berdaya dalam layar kaca kita? Siapa yang sesungguhnya berkepentingan dengan ‘ketidak berdayaan’ perempuan di layar kaca? Adakah siasat untuk melawan ketidak berdayaan itu? Bagaimana membangun daya tawar perempuan dilayar kaca?

***

Kontroversi dan sensasi, seolah jadi sajian utama tayangan televisi dalam kurun waktu terakhir ini. Perebutan kue iklan oleh sembilan televisi swasta, membuat pengelola televisi lebih mengutamakan tayangan-tayangan yang memperoleh rating tinggi menurut survey.

Sebuah hasil survey yang penting dicermati, sinetron "Rahasia Ilahi" dan "Takdir Ilahi" yang ditayangakan TPI mampu menempatkan TPI dari tujuh besar ke posisi tertinggi. Sinetron Rahasia Ilahi sempat meraih rating tertinggi share 15,8% berada di urutan pertama, berdasarkan survei AC Nielsen. Terlepas apakah hasil survey tersebut cukup valid atau tidak, namun sinetron religius ini ternyata mampu menggeser sinetron gemerlap yang selama ini mendominasi dan menuai banyak kritikan. Keberhasilan tayangan tersebut secara survey, membuat televisi swasta lain, beramai-ramai membuat program sejenis demi mendongkrak rating mereka.Itu sebabnya, televisi kemudian sangat mendewakan rating.

Secara statistik jumlah perempuan yang jauh lebih banyak dari laki-laki, membuat perempuan menjadi potensi pasar sekaligus komoditas yang luar biasa bagi industri televisi. Perilaku pertelevisian kita yang seperti ini, kemudian membuat perempuan menjadi komoditas yang strategis untuk di eksploitasi. Hampir semua tayangan di televisi kita melibatkan perempuan. Bahkan untuk acara-acara yang selama ini terkesan maskulin, seperti olah raga, petualangan, disajikan oleh pembawa acara yang juga perempuan. Namun sejauh ini, perempuan tetap saja menjadi objek dari segala persoalan yang disajikan.

Perempuan dalam sinetron selalu digambarkan sebagai tokoh/karakter yang akan menggunakan berbagai macam cara_ tubuh dan keperempuanannya serta kelemahan-kelemahannya untuk mendapatkan/mencapai tujuannya (harta atau pasangan). Dan mereka digambarkan dengan sadar menggunakan itu semua sebagai alat tipu daya. Demikian pula dalam iklan. Lewat iklan , pembentukan karakter dan nilai tawar perempuan seringkali ditentukan oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kebendaan. Perempuan yang memiliki fisik dan materi yang lebih baik akan mendapat lebih banyak akses dan kemudahan-kemudahan sosial. Dalam stereotipe yang seperti itu, perempuan yang bekerja keras dengan mengembangkan potensi dan meraih prestasi, namun tidak memiliki kelebihan fisik dan materi yang lebih baik, menjadi perempuan yang berada di luar hitungan dan tak mendapatkan ruang sosialnya.

Hal ini tergambar jelas dalam program-program tayangan ficer berita, dimana nilai human interest dimaknai secara sempit. Human interest seringkali dimaknai sebagai penderitaan yang dapat menimbulkan belas kasihan dan air mata pemirsanya. Perempuan dengan penderitaan dan kemiskinannya kemudian menjadi objek berita yang tiada habisnya. Penderitaan dan kemiskinan digambarkan sebagai suratan nasib yang diterima begitu saja dengan kepasrahan dan sikap tanpa daya. Jarang sekali ficer berita memberi sudut pandang yang inspiratif, lewat perjuangan perempuan-perempuan itu, ketika mereka merubah nasibnya dan berjuang mendapatkan akses sosial yang lebih baik. Perempuan yang selama ini termarjinalkan dalam sistem sosial, dilumpuhkan pula karakter dan identitasnya oleh stereotipe yang dibentuk oleh televisi.

***
Eksploitasi perempuan di layar kaca pun, bukannya tanpa kepentingan. Propaganda politik selama ini tak akan berhasil tanpa dukungan dari media. Para agitator dengan sangat cerdas mengemas pesan-pesan politiknya sedemikian rupa, secara halus menyusup, sampai pemirsa tidak menyadari dirinya sedang dalam pengaruh agitasi politik. Bukan rahasia umum lagi, jika politik dan ekonomi adalah keterkaitan yang sangat erat dan mutualisme. Politik melegitimasi kepentingan ekonomi, dan ekonomi menjamin keberlangsungan politik. Perempuan selama ini harus berjuang untuk mendapatkan hak suara dan hak politiknya. Untuk mendapatkan quota jumlah wakil politik di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Perwakilan Rakyat pun bukan hal yang mudah, apalagi hak suara yang memadai dalam proses pengambilan keputusan politik.

Dalam dunia iklan, kita bisa membandingkan jumlah produk yang dibuat untuk perempuan. Bukan hanya produk yang secara langsung memang dibutuhkan perempuan, namun iklan juga mengarahkan proses pengambilan keputusan ada pada perempuan. Lewat pesan-pesan sublim yang secara halus mempermainkan aspek kesadaran kita, kebutuhan dasar lantas dipermainkan untuk kepentingan penjualan produk. Kita dapat mencermati itu, bagaimana riset market sekarang ini ditujukan pada aspek psikografis konsumen. Pertanyaan bukan lagi sebatas berapa pengeluaran setiap bulan, barang apa saja yang dikonsumsi setiap bulannya. Namun riset market kini masuk ke wilayah yang lebih sublim. ‘Apa yang membuat anda bahagia’, ‘apa yang menurut anda keren’,’saat seperti apa anda merasa cantik?’. Kian hari kita bisa merasakan, bagaimana iklan mendefinisikan kebahagiaan, harmonisasi keluarga, apa yang keren dan tidak, apa yang membuat anda merasa cantik atau jelek. Mau tidak mau, iklan bukan hanya mengatur pola konsumsi kita, tapi lebih jauh daripada itu. Iklan mampu mendeskripsikan identitas individu sampai ke tataran yang esensial. Dan televisi menjadi media yang meligitimasi semua itu. Ketika yang muncul di televisi diyakini sebagai realita dan situasi yang ‘sewajarnya’ diterima dalam keseharian, perempuan berada dalam posisi kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan tersembunyi itu.

Secara alami, televisi memiliki kekuatan sebagai media yang bisa menghegemoni. Ideologi dan kepentingan tertentu yang diwakilinya, memakai media sebagai alat untuk menyebarluaskan itu kepada permirsanya. Tentu, sebagai sebuah perangkat yang dibangun oleh kekuatan modal yang tidak dimiliki oleh setiap orang, televisi mewakili kepentingan segelintir orang yang sedemikian rupa tersembunyi, dibalik sifat jangkauannya yang luas dan fokus pada segmentasi pasar tertentu (secara terang-terangan Trans TV dan RCTI mengakui bahwa segmen penonton utama mereka adalah perempuan). Karena itu, pemirsa seringkali tak menyadari bagaimana kepentingan-kepentingan tertentu itu bermain.

Posisi perempuan yang selama ini termarjinalisasi secara politik, kemudian retan disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang masuk ke wilayah domestik. Kepentingan-kepentingan itulah yang mengendalikan perempuan dalam pola pembagian peran, waktu, ruang, tempat domestik, pembentukan citra, kesadaran, ideologi, terbentuk lewat tayangan yang disajikan televisi setiap harinya. Karena fakta menunjukan, perempuan menonton televisi lebih banyak daripada laki-laki dan anak-anak. Stereotipe dan pencitraan yang melumpuhkan perempuan, membuat perempuan lupa bahwa sebagai pemirsa, perempuan memiliki kemampuan untuk menyadari bahwa dirinya selama ini dijadikan alat dan komoditas untuk mencapai tujuan tertentu.

Tayangan-tayangan bernuasa Islam di televisi, oleh banyak kalangan justru dianggap menyempitkan pemahaman islam dan semakin merendahkan peranan perempuan dalam kehidupan beragama. Penafsiran tentang kepasrahan yang selama ini lebih banyak dibebankan kepada perempuan daripada laki-laki juga bagaimana Tuhan dicitrakan sebagai pihak yang lebih mudah mengazab perempuan daripada laki-laki. Akibatnya, perempuan secara sosial menjadi subordinasi laki-laki dalam setiap pengambilan keputusan, karena pencitraannya yang membentuk konstruksi sosial disekelilingnya. Tayangan bernuansa islami lantas, memiliki kekuatan untuk melegitimasi kondisi itu dari perspektif agama. Perempuan selalu diposisikan sebagai pihak yang harus patuh pada laki-laki, seburuk apapun kondisi laki-laki itu.

Akibat dari pencitraan tersebut, kita dapat melihat contohnya secara jelas, bagaimana istri anggota Dewan yang terlibat dalam skandal seks, membela suaminya habis-habisan bahkan menyatakan diri siap berjihad untuk membela kepentingan suami. Padahal pemirsa mengetahui skandal itu dengan jelas, ketika video adegan sex mereka beredar secara luas. Pemirsa digiring oleh media, untuk menerima peristiwa itu dengan cara berpikir dan stereotipe yang telah dikukuhkan oleh media sebelumnya: istri harus patuh dan taat pada suaminya. Suami boleh berbuat salah, namun istri harus selalu siap membela kehormatan suami, bahkan dengan cara-cara yang tidak masuk akal sekalipun.

Contoh lain yang menjadi bukti bahwa stereotipe yang dibangun oleh televisi telah melekat begitu kuat, adalah pada kasus poligami Aa Gym. Teh Ninih, sebagai istri pertama, kemudian memainkan peran sebagai sosok istri ideal. Dengan kesolehannya ia menampakkan kebesaran hati (setidaknya itu yang diperlihatkan oleh televisi), menerima perkawinan kedua suaminya dengan perempuan lain. Meski menimbulkan kecaman dari banyak pihak, namun sikap Teh Ninih yang ‘nampak menerima’ istri kedua suaminya, mampu meredam protes ibu-ibu yang selama ini menjadi mayoritas jamaah suaminya. Peran yang dimainkan Teh Ninih lewat televisi, seperti menegaskan pencitraan perempuan soleh yang berbakti pada suaminya.

Penafsiran agama yang dimaknai secara sempit melalui tayangan-tayangan televisi, semakin mempersulit pemahaman akan keberagaman dan pluralisme, yang sesungguhnya ada dan terjadi dalam masyarakat kita. Dalam pemberitaan, kita dapat mencermati bagaimana main frame berita televisi, cenderung membesar-besarkan konflik yang disebabkan oleh perbedaan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan gambar-gambar yang bombastis, mengerikan dan berulang-ulang, perbedaan kemudian dicitrakan sebagai sesuatu yang mengerikan dan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Televisi sepertinya memandang perbedaan sebagai sesuatu yang lebih baik dihindari. Tidak ada ruang untuk pilihan-pilihan hidup yang lain dan berbeda. Keberagaman cenderung menjadi jargon yang kemudian tidak ditawarkan sebagai sebuah kesempatan untuk menentukan pilihan. Keberagaman seringkali menjadi sajian yang telah siap untuk dikonsumsi oleh pemirsanya, yang mau tidak mau pemirsa harus menerimanya. Pemirsa tidak mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri keterlibatan mereka dalam menyikapi perbedaan dan keragaman yang ada.

Sebagai kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, televisi menjalankan kemampuannya yang tidak tertandingi media lain. Televisi seperti yang disebutkan James Lull, dalam Media Komunikasi dan Kebudayaan, menjadi mata uang ideologis yang mampu memperlihatkan, mendramatisasikan dan mempopulerkan, fragmen-fragmen informasi dan budaya lalu membingkainya dalam konstruksi sosial yang melanggengkan kekuasaan politik maupun ekonomi yang ada di belakangnya.

****

Perkembangan pertelevisian Indonesia yang secara dinamis baru dimulai di awal 1990-an, membawa dampak bahwa pertelevisian kita masih mencari bentuk. Budaya visual televisi yang secara massive membombardir masyarakat kita, menciptakan kegagapan bukan hanya ditataran pemirsa namun juga pada pelaku pertelevisian sendiri. Kegagapan ini jelas terlihat, manakala setiap stasiun televisi seperti tidak memiliki keberanian untuk membangun identitasnya secara mandiri, melalui keragaman program tayangannya dan bagaimana kaidah jurnalistik dipraktekan. Ketika satu stasiun televisi menayangkan program yang memperoleh rating tinggi, dengan cepat stasiun televisi lain menduplikasi program tersebut dengan minim adaptasi dan olahan kreatif. Selain itu pemberitaan di televisi kita dinilai belum mampu mengangkat persoalan secara menyeluruh. Pemberitaan seringkali sepotong-sepotong dan sangat bergantung pada apa yang sedang marak terjadi. Berita ditelevisi belum mampu mengawal isu dari awal sampai mengantar isu tersebut menjadi satu tekanan untuk merubah kebijakan atau situasi tertentu.

Kondisi tersebut mengakibatkan, isu dan persoalan perempuan menjadi tema pelengkap. Karena untuk isu-isu high light pun, televisi masih kewalahan untuk menyajikannya secara komprehensif. Isu perempuan karena dijadikan sebagai pelengkap, akhirnya hanya dibahas hanya sebatas permukaan belaka. Meski mengaku perempuan adalah target pemirsa yang utama, namun beberpa stasiun televisi swasta, belum mampu menyajikan suguhan yang mencerdaskan pemirsanya. Pembahasan tentang gaya hidup lebih menonjolkan faktor sensasinya. Perempuan tidak diberi ruang gerak untuk membangun daya tawarnya.

Sebagai mahluk yang diciptakan dengan kemapuan multi tasking, siasat adalah kemampuan perempuan yang kekuatannya seringkali tak disadari banyak orang. Selama ini siasat perempuan, tampil di televisi sebagai stereotipe negatif. Perempuan selalu digambarkan sebagai sosok iri dengki dan tidak suka pada keberhasilan orang lain. Dan televisi selama ini menggunakan karakter negatif itu untuk mengadu domba sesama perempuan. Seolah strategi melumpuhkan perempuan oleh televisi dilakukan dengan meminjam tangan perempuan lain. Coba saja cermati, bagaimana strategi ini dijalankan lewat penciptaan karakter protagonis dan antagonis yang kelewat kontras lewat sinetron-sinetron yang ada. Seolah tak ada sisi manusiawi dalam diri perempuan. JIka dia bukan sosok yang sangat jahat, dia adalah tokoh yang sangat baik tak bercacat. Pengelola Televisi seringkali berdalih dengan legitimasi rating, mereka mengatakan bahwa tayangan seperti itu lah yang banyak diminati oleh pemirsa. Padahal di waktu-waktu prime time, pemirsa tidak disuguhi pilihan lain selain sinetron.


Oprah Winfrey, seringkali disebut sebagai contoh sukses bagaimana, perempuan minoritas di dunia hiburan, mampu membangun daya tawar melalui kreativitas dan kepekaannya membaca situasi. Oprah mampu menggunakan peluang eksploitasi untuk mengubahnya jadi kesempatan membangun daya tawar perempuan. Bagaimana daya tawar itu berhasil Oprah bangun? Selama ini Oprah membangunnya dengan menggali potensi perempuan itu sendiri. Oprah membuat penontonnya sadar atas apa yang menjadi kelebihan dan potensinya. Lewat kesadaran itu, kemudian perempuan yang menjadi target utama pemirsanya, bisa menentukan sikap terhadap banyak hal. Mainframe Oprah ketika membahas penderitaan yang dialami perempuan, Oprah memposisi perempuan tersebut sebagai survivor bukan sebagai korban. Dengan kreativitas dan kemampuan membaca peta persoalan, Oprah pada akhirnya mampu bernegosiasi dengan kepentingan ekonomi dan politik dalam posisi yang setara.

Saya kira, ditengah situasi dunia pertelevisian yang sedang mencari bentuk, dan upaya-upaya lebih fokus pada segmen pemirsa perempuan, perancang bisa mencoba melihat persoalan perempuan ini dari perspektif yang berbeda. Perspektif perempuan sebagai survivor dengan perempuan sebagai korban, saya kira menjadi penting, karena bisa jadi pijakan dan memberi perempuan ruang gerak untuk membangun posisi tawarnya. Sebagai korban, perempuan diposisiskan sebagai pihak yang tidak berdaya, powerless. Sedangkan sebagai survivor, perempuan yang semula ada pada posisi korban, mampu mengangkat dirinya untuk mendapatkan daya dan powernya kembali, ketika dia dihadapkan pada situasi sulit. Perspektif survivor inilah yang belum nampak di layar kaca kita, saat membicarakan persoalan perempuan.

Bertambahnya jumlah perempuan praktisi televisi, membuka kesempatan dan peluang untuk membangun daya tawar menjadi semakin besar. Persoalan meningkatkan posisi tawar perempuan di layar kaca, saya kira juga berkaitan dengan bagaimana kemudian sharing kekuasaan itu bisa dilakukan di tataran penentu kebijakan program tayangan televisi dengan target pemirsanya. Pembagian kekuasaan dari pengelola televisi dengan pemirsanya, memiliki implikasi besar. Pemirsa tidak lagi dijadikan target pasif yang secara masive bisa dibombardir oleh pilihan-pilihan sepihak dari pengelola televisi, namun pemirsa juga bisa berkontribusi dalam menentukan pilihan-pilihan mereka sendiri. Di sini kemudian program-program tayangan tidak lagi didasarkan pada asumsi-asumsi, namun lebih jauh lagi, program tersebut mewakili kebutuhan perempuan untuk membangun daya tawarnya. ***

(tulisan ini ga jadi buat jurnal srintil )

Comments

Anonymous said…
Hai, mbak. very good article, smart... dan ber-nas, sangat berisi

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah