Skip to main content

Nu Year, Nu Me?

foto by tarlen "first km. simones"

Kebohongan terbesarku selalu dimulai di tahun baru. Sederet resolution buat diriku sendiri, menjadi daftar panjang yang kubuat diawal tahun, tapi ketika akhir tahun aku menengoknya kembali, sebanyak itu pula kebohongan yang kulakukan (yang terdaftar tentunya, yang tidak terdaftar pastinya lebih banyak lagi). Karena aku ga menepati apa yang kujanjikan pada diriku sendiri. Lantas di pergantian tahun seperti ini, aku akan membuat daftar yang tak terealisasi itu, menjadi resolution baruku di awal tahun, begitulah seterusnya. Yang artinya, aku ga pernah buat resolution baru sesungguhnya. Dan kalo aku bilang, tahun baru menandai kebaruan diriku, yeah omong kosong.

***

Aku berhenti beresolusi sejak beberapa tahun terakhir ini, saat aku sadar, aku hanya menambah daftar kebohonganku sendiri. Tahun baru datang, ya biarkan dia datang, karena demikian tugas waktu. Berputar dari hari kehari, dari tahun ke tahun, mengantar pertambahan usiaku. Seperti lingkaran tahun pada batang sebuah pohon.

Tahun ini, aku melewati pergantian waktu, di tempat yang dulu pernah membuatku nyaman, tapi kini aku ga merasa seperti itu lagi. Aku sadari aku bukan lagi bagian dari tempat ini lagi. Waktu telah mengantarku pada satu titik, dimana aku mesti mencari tempat pijakan baru untuk diriku sendiri. Aku seperti seorang anak yang tiba-tiba menyadari tumbuh besar, lalu rumah menjadi terlalu kecil untuk tempat mainku. Mungkin kesadaran ini muncul, karena 2007 ini aku genap berusia 30 tahun. Wow.. 30 tahun. Waktu berulang tahun yang ke 27, aku mengira, aku ga bakal hidup lebih dari 27 tahun. Ternyata, aku bisa masuk ke usia 30 tahun. Perjalanan yang panjang. Wajar kalo tiba-tiba aku ngerasa ruang bermainku selama ini jadi terlalu sempit.

Jadinya masuk tahun 2007, aku justru mikirin apa yang udah kulewati selama 29 tahun. Aku menandai beberapa waktu penting dalam hidupku. Sekarang setelah aku melihatnya kembali, ternyata ga semengerikan ketika aku menjalaninya.
  • 1977, lahir ke dunia. Menurut ibuku, aku satu-satunya anak yang ga sabar untuk lahir ke dunia. Hampir lahir di jalan. Selain itu, selama dalam kandungan, kakek dan bapakku mencurahkan perhatian khusus pada ibuku, karena ibuku masih sangat terpukul dengan kematian nenekku dua tahun sebelumnya. Bagiku, situasi ini kemudian menjelaskan kenapa aku lebih deket sama bapak daripada sama ibu.
  • 1977-1995, tumbuh dan berkembang. Merasa di dunia ini ga ada yang bisa mengerti aku kecuali bapak. Dia adalah sahabat setia dan sahabat terbaikku. Duniaku ada dalam dekapannya. Aman dan nyaman. Meski pada rentang waktu ini, diriku dibentuk oleh ibu dengan cara aku banyak menentang dia, dan dibentuk oleh bapak karena dukungan dan persahabatannya. Aku melihat kembali rentang waktu ini dan menyadari, betapa beruntungnya aku. Apapun yang ibuku berikan, adalah yang terbaik yang dia upayakan untuk aku dan anak-anaknya yang lain. Aku berterima kasih untuk itu.
  • 1995, tahun yang tak pernah aku lupakan dalam sejarah kehidupanku. Kehilangan sahabat terbaik, bapak yang memberi rasa nyaman dan penuh. Selain bangun jiwaku runtuh, ini adalah titik nadir dalam hidupku, ketika aku harus belajar menemukan jalan hidupku sendiri. Saat itu aku seperti anak kecil yang ditinggal di terminal sendirian. Ketakutan, kebingungan, karena ga tau tujuan hidupku mau kemana.
  • 1995-2001, belajar hidup dalam gelap. Mencari-cari tujuan yang bisa aku tempuh. Seringkali jatuh dan tersesat, tapi lama-lama sadar, bahwa ga pernah ada yang bener-bener gelap total dalam hidup ini. Dalam kegelapan pun masih banyak yang bisa dilihat. Justru mungkin lebih banyak.
  • 2001-2006, reshape of my soul. Kalo jiwaku itu luluh lantak karena kehilangan, fase ini, adalah fase membangun dan membentuk kembali jiwaku yang kehilangan bentuk. Ada tobucil, ada orang lain yang kemudian banyak berperan dalam menyusun kembali cetak biru diriku. Ini adalah fase dimana aku menguji rute perjalanan hidupku yang aku susun dari semua pengalaman yang telah kujalani. Banyak kegagalan, tapi banyak juga pencapaian. Trial and error. Fase ini memberiku kesadaran: jika aku berhenti di titik ini, aku tak akan pernah bisa menjalani titik yang lebih jauh dari ini. Terima kasih untuk orang-orang yang menjadi role model untuk mendefinisikan ulang, apa itu rasa nyaman, apa artinya merasa penuh, apa arti memiliki, apa arti kehilangan, apa arti mencintai sekaligus membebaskan. Terima kasih telah mengantarku sampai ke titik ini. Tugas kalian telah selesai. Terima kasih banyak.
  • 2007, selamat datang masa pembangunan (kaya orde baru aja..), tahun ini akan jadi tahun yang penting dalam fase baru kehidupanku. Sekaranglah saatnya untuk mulai membangun rumah jiwaku dengan versi baru. Jika Tuhan memang memberiku umur panjang, aku akan memasuki 30 tahun berikutnya dalam rumah jiwaku yang baru.
***

Mungkin memang tak ada yang benar-benar baru, yang lama berubah, jadinya terlihat baru. Aku ga mungkin membangun rumah jiwaku yang benar-benar baru, tanpa melihat yang jiwaku yang lama. Yang lama dan yang baru, seperti sebuah rentang warna dari hitam 100 % sampai putih. Setiap hari pengalaman, merubah komposisi warnanya.

Aku sendiri ga tau, akan seperti apa rumah jiwaku itu. Akan ada orang lain yang juga mempengaruhi seperti apa wujudnya. Dan itu bagian dari negosiasiku, ketika sadar aku ga bisa hidup sendirian dan memenuhi semua keinginanku sendiri. Aku bagian dari alam semesta, dan rumah jiwaku adalah bagian terkecil dari semesta itu sendiri. Ketika menyadari aku bagian dari yang lain, hidupku mulai saat ini adalah persoalan bagaimana aku membaginya pada yang lain. Apakah ini akan jadi kebohonganku yang berikutnya? Jika ternyata aku gagal menepatinya, yang jelas aku ga akan menyangkalnya.
"Everything change, but nothing really new and lost.." (morpheous, lord of dream)
(yk, 1 januari 2007, 11:30)

Comments

kuss indarto said…
Hmm, menarik banget blog-mu, Non. Salam. Kuss-indarto.blogspot.com

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah