Skip to main content

The Dark Side of The Moon



Berita poligami Aa Gym dan skandal sex Yahya Zaini, belum selesai terungkap, kehebohan berita berganti dengan ditemukannya Alda Risma, di hotel Grand Menteng, dalam keadaan tewas karena over dosis. Pemburu infotainment, sibuk mengorek keterangan dari keluarga penyanyi berusia 24 tahun itu. Yang menggelitik pikiranku kemudian adalah pernyataan dari kakeknya Alda, "Wah rasanya tidak mungkin Alda terlibat narkoba."

Aku jadi teringat, salah satu episode Oprah yang membahas rahasia hidup seseorang. Saat itu Oprah menampilkan tamu beberapa perempuan yang ternyata menjalani kehidupan ganda. Selain ibu juga bapak rumah tangga dan panutan keluarga, mereka ternyata menjalani kehidupan rahasia sebagai penjudi, pengutil dan perampok bank, selama bertahun-tahun. Rahasia terbongkar saat mereka tak dapat lagi mengontrol kehidupan rahasianya dan akhirnya terlibat masalah yang menyebabkan rahasianya terungkap.

Ketika ditanya mengapa mereka mampu menyembunyikan rahasianya selama bertahun-tahun, jawaban mereka ternyata hampir sama. Mereka tak mampu memperlihatkan sisi diri mereka yang itu. Karena itu bisa menghancurkan penilaian keluarga dan orang-orang terdekat mereka selama ini. Mereka tak sanggup jika rahasia itu dibuka. Karena resiko yang mereka takutkan adalah kehilangan keluarga dan 'semua kemapanan' yang telah mereka miliki selama bertahun-tahun.

Tapi ternyata ketakutan itu tak sepenuhnya benar. Justru saat mereka mengaku, dan memasrahkan rahasia itu pada orang-orang terdekat, keluarga bahkan anak-anak mereka, bisa menerima itu. Salah satu anak dari perempuan yang menyimpan rahasia itu, kurang lebih berkata: "Saya malah bisa mengenal ibu saya dari sisi yang lain. Seburuk apapun yang dialakukan, dia tetap ibu terbaik yang saya miliki. Dia selalu menemani dan ada disaat saya kesusahan, dan sekarang waktunya saya ada untuk ibu. Karena ibu lebih membutuhkan saya sekarang daripada sebelumnya."

Namun penolakan juga terjadi ayah yang selama ini dikenal sebagai figur teladan. Bukan hanya di keluarga, namun juga di masyakat. Selama tujuh tahun dia menjalani kehidupan ganda sebagai perampok bank dan berselingkuh dengan perempuan lain. Sampai salah satu putranya menemukan kenyataan itu di internet. Dengan perasaan terpukul, dia dan sodara-sodaranya yang lain, melaporkan ayah mereka ke polisi. Dari penjara si ayah mengaku bahwa ia tak bermaksud menyakiti hati anak-anaknya. Dia menerima resiko bahwa anak-anaknya tak mau menerima dirinya lagi sebagai ayah. Pengakuan yang cukup mengusikku adalah saat si ayah bilang " Ternyata diri saya tidak sekuat yang saya kira."

***

Aku berpikir tentang hal ini. Tentang rahasia-rahasia yang seringkali tersembunyi dari diriku maupun yang secara jelas aku sembunyikan. Rahasia yang mungkin tidak semua orang bisa menerimanya. Dan seringkali yang tidak bisa menerima dan menyangkal keras kenyataan itu adalah justru orang-orang terdekat. Keluarga, istri, suami, anak, orang tua, ketika rahasia itu terungkap, merekalah yang seringkali paling keras menyangkal dan membantah kenyataan itu.

"Tidak mungkin anak saya melakukan itu," "Suami saya orang bersih, tidak mungkin dia melakukan skandal memalukan itu, saya rela berjihad untuknya.." (yuuuuukkkk atuhh).. bla..bla..bla.. Ya, drama-drama penyangkalan itulah yang kemudian muncul disekelilingku. Dan menimbulkan tanda tanya dalam diriku, Bagaimana mungkin, dia sebagai istri, dia sebagai suami, sebagai orang tua, tak bisa mengetahui hal itu. Sejauh mana mereka saling mengenal? Bagaimana mereka mengenali orang-orang terdekatnya?

Seringkali apa yang aku kenali dari orang lain adalah frame yang aku bentuk tentang orang itu dan aku menyusun kepingan-kepingan informasi tentangnya, sesuai dengan kemauan dan keinginanku. Aku menolak informasi dan kenyataan yang tak sesuai dan tak bisa aku terima. Hasilnya, aku mengenali orang lain, sesuai dengan keinginanku bukan sebagaimana orang itu ingin aku kenal. Aku yang kemudian menentukan bingkai untuk orang lain, bukan mencoba mengenali siapa ibuku, siapa bapakku, siapa sodara-sodaraku. Rahasia apa yang mereka sembunyikan selama ini? Apa yang tak kuketahui dari diri mereka? Siapkah aku jika tiba-tiba ada rahasia mereka yang aku harus terima?

Saat meninggalkanku, bapakku menyimpan rahasia masa lalunya. Siapa dirinya, hanya kudengar samar dan dari interpretasi ibuku sebagai pihak kedua yang menceritakan siapa bapakku dari bingkainya. Lalu kukenali bapak, seperti melihat bulan di langit malam. Sisi terangnya yang terlihat, sisi gelapnya? aku hanya bisa meraba-raba. Begitu pula, ketika aku mengenali orang lain. Seperti melihat sisi bulan yang terang. Aku tak mungkin melihat bulan keseluruhan bundarnya dalam waktu yang bersamaan. Ada saatnya sisi gelapnya berubah terang dan terlihat, dan ada saatnya sisi terangnya berubah gelap. Jika aku bisa mengenali bulan dari gelap dan terangnya, mengapa tidak demikian halnya dengan orang-orang di dekatku?

Karena tak mungkin pula aku mengetahui semua rahasia. Apa gunanya juga buatku. Aku menjalani kehidupan paralel yang seringkali terlihat tak berhubungan satu sama lain. Tapi itulah aku. Aku bisa bilang pada orang lain, silahkan pilih, sisi kehidupanku yang mana yang mau kamu lihat. Tapi jika kau melihatku dengan bingkai yang telah kau punya, kau hanya bisa melihat diriku yang flat, dua demensi saja. Karena bingkai kemudian menyederhanakan seluruh detail dan bagian gelap terang kehidupanku.

Kukira yang tak kalah penting untuk kupahami adalah bagaimana melihat sesuatu dalam terang. Seringkali ketika semuanya tampak terang, aku malah silau, ga bisa liat apa-apa. Dalam gelap, justru aku bisa melihat sekelilingku bukan hanya panca inderaku yang melihatnya, tapi perasaanku juga turut merasakannya. Rahasia kehidupan seseorang kemudian bagiku seperti sisi bulan yang gelap. Suatu saat kegelapan itu akan nampak. Tinggal, siapkah aku melihatnya?

"There is no dark side of the moon really. Matter of fact it's all dark." -Pink Flyod

Kyai Gede Utama 8

Comments

Anonymous said…
bahkan penjahat paling kejam pun sayang anak :)

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah