Skip to main content

Apa Kabar Drawing Hari Ini?


gambar atas kebaikan R.E. Hartanto


G. Sidharta Soegijo (alm), pematung yang semasa hidupnya mengajar di FSRD ITB, pernah mengatakan “Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan proses berpikir, yang berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang konkret, adalah melalui gambar.” Itu sebabnya jika membicarakan seni gambar tentu saja terkait dengan bagaimana seniman mengkerangkakan  gagasan-gagasan sebelum menjadi karya yang lebih utuh.

Sebagai sebuah kerangka karya, gambar atau drawing seringkali tenggelam di bawah medium atau seni yang di dukung olehnya. Timbul tenggelamnya gambar dalam perkembangan seni rupa, sangat dipengaruhi oleh pendekatan pemikiran yang membentuk fase-fase perkembangan seni rupa. Misalnya saja, pada masa Renesans dimana seni lukis menjadi kategori seni tinggi. Otomatis menggambar menjadi bagian yang penting yang harus dikuasai. Sementara dalam perkembangan seni moderen, gambar tidak lagi menjadi sebuah kemampuan yang harus dikuasai secara teknis. Karena seniman tidak lagi dituntut untuk menguasai kemampuan gambar secara anatomis. Sketsa untuk memvisualisasikan konsep saja sudah cukup. Kecenderungan ini berlangsung dari masa seni rupa moderen sampai masa memasuki seni rupa kontemporer. 

Sementara dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang membuka beragam kemungkinan dalam ekspresi artistic, pada prakteknya gambar lebih banyak digunakan sebagai salah satu pilihan cara untuk menampilkan gagasan visual ketimbang pendekatan yang dipilih seniman untuk menemukan esensi dan sublimasi ekspresi visual yang dilakoni nya.

Itu sebabnya menurut R.E. Hartanto, seniman yang senang sekali membuat 'doodling' di buku kerjanya mengatakan: “Perkembangan drawing itu seperti bara, terus menyala tapi tidak akan menjadi kobaran api yang besar. Seni gambar akan selalu mendapat tempat, meski definisi mendapat tempat ini sangat bisa diperdebatkan." Menurut seniman yang akrab di panggil Tanto ini menambahkan bahwa sifat drawing yang 'versatile' atau dapat digunakan untuk berbagai fungsi dan kepentingan ini, membuat drawing menjadi  fleksibel.

Agung Hujatnika, kurator Selasar Sunaryo menilai, ada masanya dalam perjalanan kekaryaan seniman, drawing itu menjadi sesuatu yang ‘cool’ dan menjadi medium yang dipilih. “Ada masa dimana Agus Suwage banyak membuat drawing di atas kertas, sebelum melukis di atas kanvas jadi pilihan medium berikutnya,” Agung mencontohkan.

Meskipun sifatnya yang fleksibel dan fungsinya yang cukup beragam, tidak banyak seniman menjadikan gambar sebagai metode utamanya dalam berkarya.

“Di Bandung,awal tahun 1990an sampai pertengahan 1990, drawing bisa dikatakan menonjol sebagai sebuah seni yang otonom. Tisna Sanjaya menurut saya banyak menginspirasi seniman lain untuk menggunakan medium drawing dalam berkarya, termasuk kelompok Gerbong, Nandang Gawe, Dodi Rosadi,” ungkap Agung. Situasi ini menurut Agung karena ada seni lukis tidak lagi superior. Situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu juga ikut membentuk tema-tema yang dieksplorasi melalui medium ini.

 “Pada karya Rosyid dan Pramuhendra, kita bisa menemukan imbas dominasi pasar seni rupa yang berkembang saat ini. Seniman-seniman ini menggunakan drawing sebagai teknik untuk membuat karya di atas kanvas,” ungkap Heru Hikayat, kurator seni rupa yang tinggal di Bandung. Heru juga  menjelaskan pengamatannya terhadap perkembangan drawing ini. “Secara isi yang politis juga masih tetap ada seperti karya-karyanya Isa Perkasa, tapi yang sangat personal juga ada. Realisme fotografi dan pengaruh komik-komik jepang punya pengaruh dalam gaya.”

Jika menyinggung soal penerimaan karya-karya drawing ini, Heru melihat bahwa drawing menjadi salah satu pilihan yang mulai di pertimbangkan. “Penerimaan pasar sudah lebih moderat dan membuka apresiator yang lebih luas, karena sekarang ini selera pasar juga sudah lebih beragam tidak melulu lukisan saja yang dicari kolektor.”

Di sisi lain, Agung Hujatnika melihat bahwa mayoritas kolekter tetap saja menjatuhkan pilihan pada lukisan. “Karena mengkoleksi drawing itu sulit perawatannya. Apalagi di negara tropis dengan kelembaban yang tinggi seperti Indonesia. Karya drawing di atas kertas menjadi mudah rusak di bandingkan karya lukis,” Agung menjelaskan.

Setelah tahun 2000an, seiring dengan berkembangnya wacana seni rupa kontemporer yang membuka banyak pilihan medium dalam berkarya, Agung melihat bahwa fanatisme terhadap satu medium semakin memudar. Sebagai sebuah wacana masa awal 1990 bagi drawing, tidak akan terulang lagi. “ Bukan hanya drawing, semua medium dalam seni rupa, secara wacana sudah selesai, karena sudah pernah di coba.” 

Saat ini, ketika seni memberi keleluasaan dan berbagai pilihan, keragam medium ini justru menjadi tantangan seniman untuk melahirkan karya yang sesuai dengan karakteristik mediumnya. “Drawing menjadi salah satu pilihan otonom dari banyak pilihan lain. Seniman bisa lebih bebas menggunakan banyak medium sekaligus. Dan medium-medium ini posisinya menjadi sejajar satu sama lain,” kata Agung.

Bagi seniman seperti R.E. Hartanto, kesejajaran posisi drawing ini dengan medium seni yang lain, justru membuat drawing bisa dengan leluasa memanfaatkan beragam media untuk membangun apresiasi penikmatnya. “Menurut saya, drawing justru harus muncul di segala media dari tembok WC, blog, galeri sampai museum bergengsi yang penting kalau buat saya, karya itu bisa diapresiasi seluas mungkin,” tambah Tanto. (Tarlen Handayani)

Tulisan ini pernah dimuat di lembar Khazanah, Pikiran Rakyat, 15 April 2012

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah