Skip to main content

#MovieComment Detachment (2011): Renungan Seorang Guru Pengganti


* * * *
Sutradara: Tony Kaye

A child's intelligent heart can fathom the depth of many dark places, but can it fathom the delicate moment of its own detachment? -Henry Barthes-

Lima menit pertama menonton film ini komentar spontan yang muncul adalah film ini 'berat'. Dialog-dialognya sejak awal langsung mengajak penonton merenung, betapa  menjadi pendidik bukanlah hal mudah.


Lewat tokoh utamanya Henry Barthes (Adrien Brody), seorang guru pengganti, penonton langsung diajak melihat sisi lain kehidupan guru pengganti yang 'penuh perjuangan' ketika berhadapan dengan murid-murid yang sulit memotivasi dirinya sendiri untuk maju dan positif memandang masa depannya. Tony Kaye, sang sutradara (yang juga menggarap America History X), menggarap film ini seperti sebuah renungan mendalam karena terganggu dengan persoalan pendidikan pada saat ini. Dan Kaye mencoba merenungkannya dari pandangan seorang guru pengganti yang 'gloomy' dan 'berat'. Tokoh Barthes seperti dewa atlas yang harus memikul beban persoalan pendidikan seorang diri.

Dalam film ini, Henry Barthes bekerja sebagai guru pengganti di sebuah sekolah yang bermasalah: murid-muridnya tidak punya pandangan positif tentang diri sendiri, tidak peduli dengan masa depan mereka, guru-guru yang hampir gila dan putus asa dengan situasi yang mereka hadapi, juga orang tua yang menyerahkan tanggung jawab pendidikan pada sekolah tanpa mau peduli dengan persoalan yang dihadapi oleh anak-anak mereka. Sementara sistem pendidikan yang ada pun lebih menuntut pada hasil daripada proses. Henry Barthes berada pada situasi pendidikan yang jauh dari yang disebut ideal. Sementara, kehidupan pribadi Barthes juga tak kalah berat. Barthes harus bergelut dengan masa lalunya dimana ibunya pada saat ia berusia 7 tahun, bunuh diri dengan menegak pil secara berlebihan. Setelah itu, Barthes hidup bersama kakeknya yang terus menerus dihantui perasaan bersalah atas kematian anak perempuannya sampai akhir hidupnya.

Barthes dituntut menjadi karakter yang tetap waras di tengah masalah dan situasi yang sedemikian berat. Sebagai guru, ia berusaha mengajarkan nilai yang berharga dalam kehidupan ini kepada murid-muridnya yang bermasalah itu. Karena bagi Barthes, apalah artinya menjadi guru, jika ia tidak punya nilai yang berharga yang bisa diajarkan dan menjadi inspirasi. Pertemuannya dengan Erica (Sammy Gayle), seorang remaja perempuan yang terpaksa menjadi pekerja seks di bawah umur, kemudian menjadi beban kehidupan Barthes yang lain di luar pekerjaannya sebagai guru. Henry Barthes menjadi seperti dikutuk untuk terlibat dalam semua persoalan ini. Ada yang berhasil ia bereskan, ada pula yang gagal dia tangani. Kadang ia menangisi kegagalannya, kadang ia mentertawakan keadaan yang membuat putus asa itu.

Pada America History X, Tony Kaye lewat tokoh Derek Vinyard (Edward Norton), mengajak penonton untuk merenung tentang rasialisme tapi dalam cerita yang lebih manusiawi dan realistis. Sementara pada film ini, tokoh Henry Barthes dan cerita yang dijalaninya seperti sebuah renungan seorang filsuf tentang pendidikan. Film ini lebih seperti  puisi gelap yang membuat penonton tercenung dengan setiap ucapan tokoh-tokohnya. Karakter-karakter dalam film ini hadir seperti metafor yang menyusun kegelapan bait-bait puisi itu. Menurutku film ini lebih menggedor pemirsanya lewat renungan dari setiap kalimat dan adegan yang metaforik daripada menyentuh secara emosional karena realitas yang dihadirkan di setiap adegannya.  Dan bagiku, keseluruhan film ini adalah upaya untuk mendefiniskan 'Detachment' secara filosofis dan substansial dalam perspektif pendidikan. Berat, tapi sangat layak untuk diapresiasi.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah