Skip to main content

#Nepaldiary Pelajaran Pelayanan di Namaste Children House

perayaan happy holi di Namaste Children House, Pokhara, Nepal foto oleh vitarelnology

Sudah lebih dari seminggu jadi sukarelawan di Namaste Children House di Pokhara, Nepal. Sebagai sukarelawan banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Mulai dari membantu di dapur mempersiapakan apa yang akan dimasak, cuci piring, membantu bocah-bocah itu mandi, bermain bersama, membantu belajar sampai proyek mengecat bangunan lantai dasarnya. Benar-benar pekerjaan yang dilakukan sehari-hari oleh pengasuh, bedanya ini pengasuh paruh waktu yang hanya datang setengah hari dan itu pun hanya selama tiga minggu saja.

Sekitar tujuh puluh anak  tinggal di Namaste Children House. Usia mereka mulai 4 tahun sampai 18 tahun. Namaste menyekolahkan mereka di sekolah swasta dengan pertimbangan kualitasnya lebih baik. Harapannya ketika anak-anak ini lulus nanti bisa meneruskan sekolah atau bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Sayangnya kegiatanku sebagai sukarelawan di sini bertepatan dengan saat  ujian kenaikan kelas. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk belajar. Pengelola Namaste cukup disiplin dalam menerapkan waktu belajar. Termasuk juga waktu makan, istirahat, main, semua terjadwal dengan baik. Mungkin hampir mirip dengan sekolah berasrama, bedanya ga ada orang tua tempat mereka kembali. 

Ada dua 'ibu' yang menjadi penanggung jawab rumah (house mother) dan lima orang 'kakak' (didi) yang mengurusi anak-anak ini sehari-hari. Dari mulai urusan rumah tangga sampai urusan pelajaran, seperti layaknya ibu dan kakak yang mengurusi anak dan adik-adik mereka. Kehadiran para sukarelawan ini sangat membantu ibu dan kakak dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari mereka. Bagi para sukarelawan pengalaman ini, justru jadi pengalaman yang istimewa, juga untukku. 

Anak-anak di Namaste Children House sendiri sudah terbiasa dengan kehadiran sukarelawan dari seluruh dunia. Itu sebabnya mereka cukup terbuka menerima kehadiran para sukarelawan. Bagi mereka sukarelawan seperti kunjungan teman baru yang disambut suka cita, namun tidak perlu terlalu dalam, karena pada waktunya tamu-tamu ini akan pergi dan  kembali pada rutinitasnya dan  menyimpan Nepal dan foto-foto mereka sebagai kenangan. 

Lewat IVHQ saja, dua kali dalam sebulan datang rombongan sukarelawan, sebagian tentu saja di tempatkan di Namaste. Tidak sedikit pula sukarelawan yang datang langsung sebagai sukarelawan tanpa melalui organisasi sukarelawan seperti IVHQ (btw, IVHQ ini ga punya program ke Indonesia). Dari uang yang mereka dapat dari sukarelawan, Namaste mengaku bisa menutup biaya pengeluaran untuk staf  yang mencapai 9% dari total pengeluaran mereka. Sebenernyan uang yang dibayarkan ini kembali lagi ke sukarelawan. Karena selama tiga minggu di sini tempat menginap, sarapan dan makan malam ditanggung dari biaya yang aku bayarkan, Sebagian lagi uang tersebut digunakan untuk membantu organisasi tuan rumah. Bagi Nepal, sepertinya kehadiran sukarelawan dari berbagai belahan dunia bisa dikatakan strategis, karena bisa jadi salah satu 'sumber dana sosial' sekaligus sumber tenaga kerja sosial gratisan yang selama ini tidak dapat disediakan oleh pihak pemerintah. 

Tak jarang lewat sukarelawan mereka memperoleh akses ke lembaga donor lain yang bisa membantu keberlangsungan organisasi ini. Tidak sedikit sukarelawan ini kemudian kembali lagi ke Namaste dan membawa sumbangan dan bantuan lain, seperti efek Multi Level Marketing. Dan lagi-lagi Namaste bisa melihat peluang itu dengan baik. Untuk membangun  pusat kegiatan komunitas, setiap orang bisa menyumbangkan 50 euro untuk setiap batu bata yang mereka gunakan untuk membangun pusat komunitas mereka. Setiap nama penyumbang di tulis pada setiap batu bata, sesuai dengan jumlah yang merek sumbangkan. Kemudian batu bata ini akan menjadi dinding pada bangunan utama ruang komunitas yang akan mereka bangun. Salah satu cara sederhana untuk mengapresiasi bentuk dukungan sekecil apapun. Sejauh yang teramati dan aku ga membandingkannya dengan organisasi lain, Namaste ini cukup baik dan terbuka secara manajemen. Kurasa ini juga bagian dari strategi mereka untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan dari para pendukungnya.

Dan sepertinya menjadi sukarelawan adalah hal biasa bagi orang-orang di negara maju sana. Mereka menghabiskan waktu liburan sekolah atau kuliahnya, juga mengisi waktu luangnya dengan pergi menjadi sukarelawan. Pengalaman sebagai sukarelawan ini juga menjadi CV penting bagi mereka ketika hendak melanjutkan kuliah atau untuk jenis pekerjaan tertentu. 

Aku melihatnya ini bukan perkara karena mereka berasal dari negara maju, kemudian punya kesempatan untuk melakukan itu, tapi menurutku ini perkara membangun kebiasaan pelayanan terhadap sesama manusia. Kalau dari segi biaya, kelas menengah Indonesia mampu kok membayar biaya sukarelawan seperti ini. Ini perkara mindset aja. Melakukan perjalanan sambil melayani dan mengenal kebudayaan serta kebiasaan tempat lain, kurasa akan jauh lebih bermakna. Mungkin sudah saatnya menjadi sukarelawan masuk dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, apalagi di sekolah-sekolah mahal yang biayanya ga masuk akal. Ga perlu jadi sukarelawan di negeri orang, di negeri sendiri, pergi ke pulau lain selain Jawa atau pergi ke daerah pelosok, ga kalah bermakna.  Setidaknya pengalaman melayani ini jadi penting ketika suatu hari nanti mereka jadi pejabat, mereka tau seperti apa pekerjaan melayani itu. 

Ya, bagiku kadang harus pergi jauh terlebih dahulu mengambil jarak dan menemukan kesadaran ini. 


Comments

Evi Sri Rezeki said…
Sistem yang bagus banget. Harus dicoba diterapkan di negeri kita :)
rambutkriwil said…
Keren sekali.... sungguh2 menginspirasi. I wish to be in Nepal someday, dn sepertinya saya tidak akan melewatkan pengalaman untuk volunteering service seperti ini. Thanks sudah share tulisan ini, sukses selalu!

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah