Skip to main content

Dua Perjumpaan Pada Seminggu Terakhir

D'Java String Quartet, foto by Tarlen

Setiap perjumpaan dengan orang-orang yang intens dalam berkarya, selalu meninggalkan jejak dalam diriku. Seminggu terakhir ini, D'Java String Quartet dan Gunawan Maryanto meninggalkan jejak itu padaku. Jejak yang di tinggalkan melalui energi kreatif mereka yang menginspirasi.

Perjumpaan Pertama

Mulanya Ahmad Ramadhan, alias Rama, pemain Biola D'Java String Quartet (DSQ), beberapa kali singgah di Klab Klassik, Tobucil & Klabs. Saat pertama aku menyimak permainan biolanya, Rama baru saja terdaftar sebagai mahasiswa ISI Jogja jurusan Seni Musik. Usianya baru 17 tahun saat itu (sekarang Rama duduk di semester 4), namun lewat gesekan biolanya, aku bisa merasakan intensitasnya. Rama telah memilih biola dan musik klasik sebagai jalan hidupnya. Pada usia semuda itu, aku mengagumi dan menaruh hormat pada pilihan hidupnya.

Lalu, 12 April kemarin, Rama datang kembali bersama teman-teman sebayanya yang tergabung di D'Java String Quartet. Ada Ade Sinata (Cello), Dwi Ari Ramlan (Biola), Dany Cheri (Biola) juga Rama sendiri. Mereka memainkan beberapa komposisi yang juga dimainkan dengan lebih lengkap di konser tunggal mereka di CCF, 17 April 2009. Tidak hanya komposisinya saja yang bisa mereka mainkan dengan sangat baik, namun yang memukauku adalah intensitas dan integritas mereka saat memainkannya. Mereka membentuk DSQ justru saat keempat pemuda ini sama-sama mengikuti audisi Asia Tenggara Orkestra di Bangkok. Di usia mereka yang masih begitu muda, tapi integritas bermusik dan kesungguhan itu telah mereka temukan. Entahlah, aku merasa tertulari energi mereka atas integritas itu. Seperti sebuah lecutan pemacu semangat: 'mereka semuda itu, bisa berkarya dengan penuh integritas, mengapa aku tidak?' Kesirikan yang bisa menjadi penyemangat bagi diriku sendiri.

Dan yang menyenangkan, integritas itu tidak lantas mengurangi sosok mereka yang menyenangkan, setidaknya aku melihat itu dari Rama. Di panggung, dia menjadi violist yang begitu total, tapi di luar panggung, Rama tetap saja seperti abg yang manja. "Tante, suapin dong, aku lapar.." begitulah kelakuan mantan pelajar teladan SMUN 3 Bandung. "Aku mah, umur boleh nambah, tapi kelakuan mentok deh di usia 16," melihat kelakuannya sulit orang mengira bahwa dia pemain biola yang handal.

Berjumpa dengan Rama dan teman-temannya, menyadarkanku bahwa sebuah pilihan dalam bekarya, tidak melulu ada di wilayah yang menengangkan (setidaknya ekpresi Ade Sinata saat memainkan Celo menggambarkan itu, intens tapi kocak dan menggemaskan). Pilihan itu bisa sama ringannya dan menyenangkannya saat menjalani kesenangan-kesenangan lain. Hanya saja saat kesenangan dan hal yang nampak ringan itu dilakukan dengan penuh totalitas, kukira situlah integritasnya terbangun. Totalitas atau dalam istilah alm. Kakekku "Tidak setengah-setengah" itulah yang memungkinkan sebuah karya bisa menularkan semangat pada penikmatnya.

Perjumpaan Kedua,

Gunawan Maryanto, sosok bersahaja yang aku temui pertama kali di tahun 2002. Namun namanya sudah sering di sebut-sebut Muhamad Marzuki alias 'Kill the DJ' di akhir 90'an karena hubungannya dengan Teater Garasi. Namanya juga semakin sering ku dengar saat Jogja mulai jadi 'rumah keduaku' sejak akhir 90'an. Pada tahun 2002, Cindil dan beberapa teman Teater Garasi, dateng berkegiatan di tobucil, waktu itu masih di Trimatra Center. Saat itu, aku mulai menyimak karya tulisnya maupun pementasannya. Beberapa pertunjukkan Teater Garasi di Bandung, coba ku apresiasi. Sebagian ada yang berhasil ku simak dari awal sampai akhir dengan perasaan senang dan menikmati, namun ada juga yang dengan sukses membuatku tertidur di tengah-tengah pertunjukkan.

Prosa karya Cindil, kubaca pertama kali di jurnal Prosa yang diterbikan oleh penerbit Metafor. Rasanya seperti menemukan chemistry pada pembacaan pertama. Aku menyukai cara Cindil bercerita. Aku menyukai kesederhanaannya dalam bertutur. Cindil tidak bertendensi bersembunyi di balik 'kata-kata yang seolah-olah nyastra' untuk menyembunyikan kedangkalan cerita. Cindil bercerita kedalaman dengan sederhana. Demikian pula dengan puisi-puisinya yang pertama kali ku temukan di multiply Cindil beberapa waktu lalu. Terus terang saja, aku bukan penyuka puisi, tapi puisi-puisi Cindil, aku selalu menyukainya, karena setelah membacanya aku menemukan sesuatu dan rasa yang ia kirimkan lewat puisi-puisi itu, getarannya sampai kurasakan.

"Puisi, prosa, teater, bagiku adalah medium untuk menyampaikan apapun. Aku bisa memilih medium mana yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ku katakan. Saat aku ingin bercerita, aku bisa menggunakan prosa, atau jika aku ingin mengungkapkan kilasan-kilasan perasaan, aku bisa pakai puisi. Kalau aku ingin menghadirkan kembali peristiwa aku bisa memakai teater untuk itu," ungkap Cindil saat berbagi pengalaman kreatifnya di tobucil hari senin kemarin (20/4/09). Bagi Cindil menulis itu sama halnya dengan berkomunikasi, mengirimkan pesan, mengirimkan rasa. Penguasaan medium akan membuat pesan dan rasa bisa terkirim dengan baik.

Pembicaraan berlanjut setelah makan malam sampai hampir tengah malam. Kami berbincang soal proses "menyebrang" seorang aktor saat memerankan karakter yang di mainkan, sampai hal-hal yang berhasil di lewati sehingga berhasil bertahan dan bahkan tumbuh setelah 15 tahun membangun dan membesarkan Teater Garasi setelah 15 tahun bergulat dengan dinamika kreatif di Teater Garasi. Bagiku, perbincangan ini bergitu berharga. Rasanya seperti menemukan teman yang sudah melampaui apa yang sedang aku hadapi, aku belajar banyak dari proses itu. Delapan tahunku bersama tobucil, belumlah apa-apa. Malah ini baru saja permulaan. Masih panjang proses yang mesti di lalui dan dilewati bersama. Karena untuk tumbuh dengan sehat dan kuat, seringkali masalah justru harus dilewati untuk membuktikannya kesehatan dan kekuatan itu.

***

Dua perjumpaan yang mengajarkan padaku, bagaimana menjalani pilihan dengan ringan dan riang tanpa kehilangan integritas dari D'Java String Quartet. Juga mencapai kedalaman dalam kesederhanaan seperti yang kutemukan pada proses berkaryanya Cindil. Saat aku memilih mengeksplorasi gagasan-gagasan yang ada di kepalaku ini aku seringkali merasa sendirian karena tidak semua yang kutemui memilih untuk mengikuti eksplorasi dirinya sejauh yang dia mampu, karena resikonya membuat orang-orang di sekeliling tidak mengerti dan memahami apa yang kita jelajahi. Dan ketidak mengertian orang-orang di sekeliling terhadap kita, seringkali rasanya menyakitkan. Banyak yang akhirnya menyerah, memilih menyenangkan sekeliling daripada mengikuti perjalanan diri menggali kedalaman. Tapi lagi-lagi itu pilihan setiap orang. Semua ada resikonya.

Terima kasih untuk perjumpaan-perjumpaan di seminggu terakhir ini yang membuatku merasa tidak sendirian dalam perjalanan yang panjang ini. Terima kasih telah menularkan semangatnya padaku.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah