Skip to main content

Sebuah Kemungkinan Menjadi Bijak dan Banal Sekaligus

Anggrek Bulan, foto kiriman kamu


"Bener ga sih, selain semakin matang & bijak, semakin tua seseorang, semakin banal/dangkal dan pragmatis?"

Tiba-tiba saja pertanyaan soal pragmatisme ini muncul kembali bagai pop up di kepalaku. Pertanyaan yang muncul ketika aku membaca kembali tahapan psikologi perkembangan lewat tulisanku Life Begin at Forty dan hasil mengamati sekelilingku, tentang teman-teman yang tumbuh menua dan seperti kehilangan semangat untuk bermimpi dan hidup menjauhi sesuatu yang menjadi "passion" atau legenda hidupnya. Namun pada saat yang sama aku berjumpa dengan orang-orang yang di usia sangat muda (belum genap 20 tahun), sudah menemukan keyakinan hidup berdasarkan passion dan impiannya (baca: cita-cita) serta menjalaninya dengan keriangan yang penuh integritas. Meski sesekali terdengar keluhan atas pilihannya yang didasari oleh passion itu, membuat mereka seperti "sendirian".

Pertanyaan di atas kemudian aku kirim via sms kepada beberapa teman dan seketika aku mendapat reaksi dan jawaban yang berbeda-beda.

Seorang teman yang hidup dalam realitas ibukota dan dunia NGO, tanpa argumen membenarkan smsku. Sementara temanku yang filsuf sufi menjawab dengan tawa sambil bilang bahwa pragmatis itu godaan, semakin tua semakin terlepas-lepas, kalaupun yang tua harus mencari uang, itu untuk tanggung jawab, bukan karena untuk diri sendiri. Temanku yang lain yang sebelum usia 30 malang melintang dalam gerakan subkultur yang kental dengan semangat perlawanan, tidak sepenuhnya setuju denganku. Menurutnya rata-rata orang semakin tua semakin ga punya mimpi, makanya jadi terkesan pragmatis. Dan temanku yang lain yang berjumpa denganku di lorong hati, malah memeriksa pertanyaanku tadi, menurutnya aku selalu mengkait-kaitkan dengan usia, dia mempertanyakan keyakinanku bahwa kedewasaan bukan di tentukan oleh usia.

Jawaban-jawaban itu membawaku pada dialog lebih lanjut dengan teman-temanku itu. Meski kami berbalas-balasan lewat sms dan ada yang berlanjut di yahoo messenger, semua reaksinya membuatku memikirkan kembali banyak hal. Temanku yang bilang makin tua makin kehilangan mimpi, mengangap bagian terparah dari orang yang menjadi tua dengan cara seperti itu adalah mereka merasa paling tau soal hidup. Aku membalasnya dengan pertanyaan lain yang menduga-duga 'jangan-jangan lelah karena kehabisan tenaga untuk bermimpi atau karena ga punya lagi harapan untuk bermimpi?'. Temanku membalas dengan membenarkan dugaanku:"Bisa jadi. Lelah dan kehilangan harapan. Bener..".

Jawaban temanku si filsuf sufi itu, membuat aku bertanya balik padanya, "bagaimana caranya biar tidak terlepas-lepas saat menjadi tua?" Jawabannya cukup padat dan sangat mendasar menurutku" "tanggung jawab, misi dan tugas." Jawabannya langsung mengingatkanku pada perkataan dia sebelumnya. Temanku pernah mengingatkan bahwa setiap orang memikul tanggung jawab, misi dan tugas di muka bumi ini, hal itu lah yang perlu dicari tau dan disadari oleh setiap orang, jika ingin hidupnya punya tujuan, tidak terlepas-lepas.

Dua dari empat jawaban itu, membuat aku memikirkannya seharian: Lelah dan kehilangan harapan, terlepas-lepas, mmm.. Saat masih berpikir-pikir itu, temanku yang lain yang bulan Juni ini tim robotiknya akan mewakili Indonesia di kompetisi robot Internasional di San Francisco, tiba-tiba ngebuzz aku di YM, mengungkapkan kekesalan, kekecewaan dan kemarahannya pada dosen pembimbing disertasi S3nya. Temanku itu begitu terpukul, ketika pembimbing yang selama ini selalu dia mintai pertimbangan bukan hanya sebagai seorang dosen pembimbing, tapi juga seorang ayah, mengatakan padanya, bahwa apa yang temanku lakukan; membangun tim robotik yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang awalnya ga yakin dengan potensinya, sampai bisa berkompetisi di level internasional itu, sebagai sesuatu yang tidak signifikan. Seketika, temanku merasa dipatahkan oleh orang yang dia harapkan bisa mengapresiasi kerja kerasnya selama ini. Orang yang temanku pikir bisa mengerti, tapi nyatanya tidak. Curhatnya, menambah persoalan yang kepikiran olehku: mengerti dan dimengerti. Lelah dan kehilangan harapan, terlepas-lepas lalu ditambah ketidak mengertian dari orang yang kita harapkan bisa mengerti. Apa hubungan dari semua ini?

***

Apa karena tidak tau apa yang menjadi tanggung jawab, misi dan tugas hidupnya sendiri? lalu terlepas-lepas dan kemudian kelelahan untuk bermimpi lantas hilang juga harapannya pada semua impiannya? Bagi orang-orang rata-rata yang dimaksud temanku semakin ga punya mimpi itu, mungkin bisa balik bertanya padaku, 'seberapa penting impian itu dipertahankan, ketika pengalaman hidup membuktikan bahwa kenyataan seringkali mengkhianati semua impian itu?'. Kenyataan seringkali tak seindah impian. Dan pastinya kesenjangan impian dan kenyataan rasanya melelahkan. Karena itu seperti berdiri di atas dua kaki di dua tempat yang berbeda dengan ketinggian yang berbeda pula.

Entahlah, aku sendiri mulai meragukan bahwa antara kenyataan dan impian bisa saling berkhianat. Jangan-jangan keterlepasan yang disebabkan ketidak sadaran kita pada tanggung jawab, tugas dan misi itulah, yang menyebabkan kenyataan dan impian saling mengkhianati. Karena bagiku sendiri, impian seringkali, bukanlah sesuatu yang jauh. Dia seringkali dekat, bahkan sangat dekat dengan nafasku. Kenyataan yang justru seringkali menjauhkannya ketika kenyataan tak berhasil membangun jembatan menuju impian itu. Ketidak mampuan itu yang membuatnya impian dan kenyataan terlepas, lalu hidup seperti terlepas dan tercerai berai, kehilangan tujuan. Situasi ini yang mungkin membuat orang rata-rata itu, menjadi pragmatis. memutuskan berhenti bermimpi dan hidup seperti kenyataan mencerai beraikan tanggung jawab, visi dan misinya.

Lantas persoalan mengerti dan dimengerti, menjadi kerumitan berikutnya. Karena yang tidak berhasil menjembatani impian dan kenyataan seringkali tidak mengerti dengan pilihan orang yang memilih hidup di antara keduanya: orang-orang yang menemukan cara membangun jembatan itu. Ketidak mengertian dan keinginan untuk dimengerti itu seringkali menyakitkan karena keduannya seringkali saling menyakiti tanpa disadari. Keduannya bisa bersikukuh memandang dari tempatnya masing-masing, tanpa mau menggeser mencari titik baru untuk saling memandang. Tidak mudah memang. Karena ini bukan kegiatan saling memandang seperti melihat kenyataan di dalam cermin yang sama dan simetris. Bukan itu. Persoalan mengerti dan dimengerti seperti melihat apa yang ada di balik cermin itu, kenyataan dibalik dinding dimana cermin itu tergantung. Kadang, berjalan masuk ke dalamnya itu akan membantu, namun tidak semua orang punya kesempatan dan juga berani melakukannya.

Mungkin untuk menemukan titik temu dari soal mengerti dan dimengerti ini adalah menyadari bahwa aku dan kamu memang punya tugas, tanggung jawab, visi dan misi berbeda satu sama lain. Namun sesungguhnya, kita adalah bagian yang saling melengkapi satu sama lain, sehingga aku juga kamu, tidak lagi merasa terlepas satu sama lain. Ku kira, soal keterlepasan ini, menyangkut juga persoalan, bagaimana kemudian aku, kamu, kita, bisa menempatkan tanggung jawab, visi, misi, tugas, dalam kenyataan dan impian yang lebih besar. Impian dan kenyataan komunal yang dibangun dari impian-impian dan kenyataan yang sangat personal.

Pada titik ini, persoalan menjadi banal/dangkal dan pragmatis atau matang dan bijak, bisa berjalan bersama-sama, saat sadar bahwa tidak selamanya bisa mengerti dan dimengerti. Bahwa mungkin sekali membangun jembatan antara impian dan kenyataan. Lalu membangun kesadaran diri atas apa yang menjadi tanggung jawab, visi, misi, tugasnya dalam hidup. Disinilah kedewasaan seseorang lantas tidak lagi ditentukan oleh usianya.

Gudang Selatan, 23:03

untuk anggrek bulanmu yang mekar pagi tadi..

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...