Skip to main content

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*


Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi.

Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur

Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami.

Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta, memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecamatan Sembakung atau Sebuku. Dave malah membekali saya dengan data catatan etnografi Desa Sujau di Kecamatan Sebuku, barangkali saya hilang ide, saya bisa pergi ke Sujau.

Waktu persiapan yang saya miliki dari workshop sampai benar-benar pergi ke lapangan hanya dua minggu. Itu pun saya masih belum bisa memutuskan, daerah mana di Kabupaten Nunukan yang akan jadi wilayah penelitian saya. Mas Hikmat Budiman, Direktur Interseksi, berpesan pada saya, "pakai jurus Tai Chi saja, kepekaan kamu menangkap persoalan yang menjadi penting, karena kamu berangkat dengan tidak tau apa-apa soal Nunukan." Itu sebabnya dari Jakarta, saya singgah ke Balikpapan, menemui beberapa teman yang saya harap bisa memberi gambaran tentang Nunukan. Dua Hari di Balikpapan tidak banyak gambaran yang yang saya peroleh soal Nunukan, bahkan redaktur Tribun Kaltim yang saya wawancaraipun tidak banyak memberikan gambaran mengenai Nunukan. Bagi sebagian orang Balikpapan, Nunukan menjadi wilayah terasa lebih asing daripada Jawa. Akhirnya saya putuskan, saya harus sampai dulu di Nunukan setelah itu, baru saya memutuskan, wilayah mana yang akan saya teliti.

Kontak saya di Nunukan bernama Rusdi Kudus, anak Haji Achmad. Saya memperoleh kontak ini dari sahabat saya waktu kuliah dulu, perempuan setengah Dayak, setengah Jawa, bernama Wiwiek yang tinggal di Berau, Kalimantan Timur. Rusdi ini adalah saudara dari teman suami Wiwiek. Wiwiek dan Yudi, suaminya, bukan hanya memberikan kontak kepada saya, namun juga menitipkan saya kepada keluarga temannya itu selama saya melakukan penelitian nanti.

Saya tidak tau, seperti apa orang-orang yang akan saya temui nanti, seperti apa Rusdi, seperti apa bantuan yang bisa dia berikan dalam riset lapangan ini. Satu hal yang selalu saya percaya ketika melakukan perjalan ke tempat yang sama sekali baru dan asing, bahwa saya akan bertemu dengan orang-orang yang baik dan siap membantu saya.

Saya menginap di rumah Haji Achmad yang letaknya bersebelahan dengan rumah Rusdi. Saya memanggil Haji Achmad dan Istrinya, Bapak dan Mamak. Ada Kak Rosida, kakak perempuan Rusdi yang tinggal bersama Haji Achmad. Mereka begitu terbuka dan hangat menerima saya. Bahkan mereka tak segan mengaku bahwa keluarga mereka dulu adalah pengusaha kayu selundupan yang cukup sukses. Sebuah kebakaran besar di akhir tahun 90-an, menghabiskan seluruh kejayaan mereka sebgai penyelundup kayu. Perkenalan dengan keluarga Haji Achmad membawa saya pada perkenalan dengan sub etnis dayak yang sebelumnya belum pernah saya ketahui: Sub etnis Tidung yang beragama Islam. Dari keluarga Haji Achmad justru saya mendapatkan gambaran yang lebih jelas, dari pada berita-berita yang saya cari di google sebelumnya. Haji Achmad yang mantan bendahara partai Golkar, Nunukan ini, mengungkapkan banyak sekali kekecewaannya pada pemerintahan lokal. Sebagai orang Tidung, ia merasa tidak dianak tirikan dalam hal kesempatan ekonomi. Dari cerita Haji Achmad dan beberapa saudaranya yang sempat saya temui, saya merasakan status quo dari penguasa setempat dan perekonomian yang berjalan lambat. Hal yang sangat berbeda dengan yang saya temukan di Tarakan, saat mendarat dari Balikpapan, sebelum melanjukan perjalanan dengan speed boat menuju Nunukan.

Dari Rusdi, saya kemudian dipertemukan dengan Bapak Sura'i, adik ipar Haji Achmad yang belum genap setahun menjabat sebagai Sekretaris Camat Kecamatan Sembakung. Dari Pak Surai, saya mendapat copy hasil penelitian Mika Okushima: Ethnic Background of the Tidung: Investigation of the Extinct Rulers of Coastal Northeast Borneo. Pertemuan dengan Pak Surai, membuat saya memutuskan pergi ke Kecamatan Sembakung, sebagai wilayah penelitian saya. Agama yang berbeda dengan yang dianut oleh sub etnis Dayak lainnya yang mayoritas beragama Kristen dan Katolik, persoalan Banjir yang semakin sering dihadapi masyarakat Sembakung, dan juga persoalan lahan hidup mereka yang dibatasi oleh kebijakan pemerintah pusat soal Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Semua seperti kepingan-kepingan puzzle yang membuat saya menetapkan pilihan Sembakung sebagai wilayah penelitian saya.

Mamak dan Bapak yang menganggap saya sebagai anak angkat mereka, berpesan pada saya untuk berhati-hati: "Jangan kau tolak, suguhan orang di sana ya Nak, nanti kau kepuhunan bisa kena patuk ular. Jangan keluar malam-malam kalau tidak perlu, kalau terpaksa, pakailah sepatu dan celana panjang." Pamali patukan ular Kobra ini rupanya menjadi identik dengan kehidupan warga Sembakung. Pamali ini bukan sekedar pantangan omong kosong, beberapa warga meninggal dunia akibat patukan ular berbisa, sehingga pamali ini jadi pamali yang begitu dipercaya.

Dalam mempersiapkan kedatangan saya ke Sembakung, Pak Surai menghubungkan saya dengan Kades Desa Atap, Sembakung, Syahrin Abdullah (PJS). Di tempat pak Kades lah saya akan tinggal selama di Sembakung.
Dengan menempuh perjalanan air selama 3 jam, dan melintasi jalan penghubung Kec. Sembakung dengan Trans Kalimantan dan Kec. Sebuku dengan menggunakan Ojeg. "Tuh sawah Sembakung, kita sudah sampai," pak Yunus yang mengantar saya dengan Ojeg menunjukan persawahan Desa Atap Sembakung yang menurutnya tak dimiliki oleh desa-desa lain di Kecamatan Sembakung atau Sebuku.

***


Desa Atap adalah ibukota kecamatan. Dihuni oleh sekitar 500 KK yang mayoritas berasal dari suku Tidung beragama Islam. Sawah yang membentang itu luasnya sekitar 100 ha dan berbatasan langsung dengan hutan wilayah KBK. Listrik sudah masuk desa ini meski menyala hanya dari pk. 18.00 sampai 06.00 pagi, setiap harinya, kecuali minggu yang biasanya menyala mulai siang hari. Tower Telkomsel yang berdiri sejak tahun 2005, menjadi penghubung komunikasi antara warga Desa Atap dengan warga di luar Desa. Fasilitas Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, tersedia juga di desa ini. Karena itu, warga desa lain di Kecamatan Sembakung yang ingin melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas, harus melanjutkannya di Desa Atap.

Mayoritas penduduknya adalah petani. Meski mereka bersawah di lahan basah, namun, sawah mereka tidak seperti lahan persawahan di Jawa yang memiliki sistem pengairan dan pematang yang tertata rapi. Pengairan sawah di Desa Atap mengandalkan hujan yang turun. Para petani, mesti berkubang dalam lumpur saat merawat padi-padi mereka.

Saat ditanya, apa persoalan terbesar yang mereka hadapi? warga menjawab, banjir adalah persoalan utama mereka. Hulu sungai Sembakung yang terletak di wilayah Malaysia ini, hilirnya sampai ke muara yang berbatasan dengan pulau Tarakan, Indonesia. Karena itu, hujan semalam di Malaysia (hulu sungai Sembakung) bisa berhari-hari banjir di Sembakung. Banjir besar terjadi tahun 2007-2008. Desa Atap lumpuh total hampir selama sebulan dan banjir ini datangnya tidak dapat diprediksikan. Banjir ini yang membuat mereka menghadapi gagal panen. Karena banjir, sekolah dan fasilitas umum tergenang air berhari-hari bahkan bisa sampai berminggu-minggu. Banjir pula yang mengenangi rumah-rumah panggung mereka berminggu-minggu. Semua upaya mengentaskan tingkat kesejahteraan warga, meski berhadapan dengan persoalan banjir.

Rumitnya lagi, relokasi lahan pertanian dan pemukiman, tak mungkin dilakukan, karena Desa Atap dikepung oleh wilayah KBK. Upaya pembukaan lahan ini, sempat pula di lakukan atas inisitatif warga yang mengusulkan pada Kepala Desa dan di setujui Bappeda Kab. Nunukan, untuk membuka lahan seluas 500 ha di wilayah KBK, namun upaya ini terhenti ketika pemerintah pusat mengetahui dan memperkarakan pembukaan lahan KBK ini ke pengadilan. Semua pihak yang terkait dipanggil pihak yang berwajib. Akhirnya proyek relokasi dan pembukaan lahan pertanian baru, terhenti tanpa ada kejelasan.

Usulan perencanaan pembangunan desa pun, selalu mengahadapi benturan lahan. Desa-desa lain yang ada di Kecamatan Sembakung, tidak hanya menghadapi banjir sebagai persoalan utama mereka, namun abrasi sungai, membuat mereka mesti merelokasi tempat tinggalnya. Namun Bappeda yang sepertinya kapok berurusan dengan pemerintah pusat, justru menyerahkan urusan izin menggunaan lahan ini, kepada warga. Pemerintah kabupaten, baru akan melakukan pembangunan, setelah warga bisa menjamin, bahwa lahannya bukan lahan yang bermasalah. Akhirnya pembangunan menjadi hal yang niscaya bagi warga desa.

***

Berbeda dengan kelompok Sub Etnis Dayak lainnya, seperti sub etnis Dayak Agabag, sub etnis Tidung di Sembakung, dikenal sebagai sub etnis yang memiliki karakter yang 'nrimo' atau pasrah. Lambatnya pembangunan dan bencana banjir yang seringkali melumpuhkan perekonomian mereka, dengan sikap kepasrahan. "Kalau hal ini terjadi di tetangga orang Agabag, pasti mereka sudah protes dan demo ke pemerintah menuntuk penyelesaian masalah, tapi Ibu juga ga ngerti, kenapa orang-orang Tidung ini, menerima saja keadaan ini," jelas Ibu Diana, istri Kades yang juga orang asli Tidung ketika saya tanya bagaimana respon masyarakat Tidung terhadap situasi ini. "Saya juga heran, mengapa orang Tidung di Sembakung ini, tidak punya rasa iri (semangat bersaing) kalau liat tetangganya lebih maju," ungkap Hajjah Kasni, suatu saat kepada saya. Hajjah Kasni sendiri berasal dari sub etnik Tidung Tarakan.

Saya menduga, sikap 'nrimo' ini berkaitan dengan sikap dan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam, terutama ajaran tarekat Syeikh Abdul Khadir Zaelani yang banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat Tidung Desa Atap. Dari ceramah keagamaan yang saya hadiri di desa Atap, Tuan Guru dari Martapura, mengajarkan bagaimana segala musibah itu adalah bagian dari ujian kesabaran yang dapat memperkuat iman. Sikap bergotong royong (tenguyun), juga mewarnai interaksi sosial yang ada di desa Atap. Tanpa di minta, ketika ada warga yang salah satu anggota keluarganya meninggal, warga yang lain akan datang bergantian dan membawa beras dan bumbu dapur bagi keluarga yang meninggal. Ritual tahlilan yang hitungan harinya sedikit berbeda dengan hitungan masyarakat Islam di Jawa yaitu 3, 7, 14, 21,40, 70, 100 hari, menjadi ritual yang masih patuh dijalani. Itu sebabnya pula, tradisi beliaq (tradisi pengobatan suku dayak) atau oleh orang Tidung disebut 'Bersyaitan' semakin ditinggalkan, karena dianggap musrik dan bertentangan dengan ajaran Islam.

***

Banjir, kebijakan KBK, pengaruh agama yang kemudian mengubah karakter masyarakat Tidung, menjadi kepingan-kepingan puzzle di kepala saya yang perlu saya rangkai dalam kerangka kajian Hak-hak Minoritas yang sedang saya kerjakan ini. Bagaimana kepingan-kepingan ini akan tersusun, yang jelas saya sedang memikirkannya.

Satu hal yang jelas yang pasti memperkuat pertanyaan besar di kepala saya adalah bagaimana sesungguhnya membangun sistem demokrasi dari keberagaman yang luar biasa seperti yang dimiliki Indonesia? Semoga, riset ini bisa memberikan kontribusi pemikiran untuk menjawab pertanyaan itu. Dan apakah jurus tai chi yang saya bawa ketika pergi ke lapangan bisa membantuk menelisik jawabannya? kita lihat saja. :)

*Judul ini saya kutip dari gurauan teman saya, Dirmawan Hatta, yang saat ini sedang membuat film dokumenter di Sembakung.

Comments

Anonymous said…
ass.wr.wb. saya benar2 terharu akhirnya kecamatan sembakung kecamatan paling tertua diwilayah kabupaten bulungan sebelum dimekarkan menjadi kabupaten nunukan, bisa terekspos di laman ini semoga bisa bermanfaat dan mendapat perhatian dari stakeholder selaku pemegang kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan yang ada di kec. sembakung. sekian trims. wasalam, from putra asli sembakung yang uda lama bermukim disembakung.
Anonymous said…
ass.wr.wb. saya benar2 terharu akhirnya kecamatan sembakung kecamatan paling tertua diwilayah kabupaten bulungan sebelum dimekarkan menjadi kabupaten nunukan, bisa terekspos di laman ini semoga bisa bermanfaat dan mendapat perhatian dari stakeholder selaku pemegang kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan yang ada di kec. sembakung. sekian trims. wasalam, from putra asli sembakung yang uda lama bermukim disembakung.
vitarlenology said…
wahh.. saya lebih terharu lagi, catatan pendek ini bisa dibaca oleh putra sembakung... salam dari saya.. Sembakung telah meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya.. suatu hari nanti saya akan berkunjung kembali ke sana.. :)
asalammualaikum wr.wb.

kenangan yang tak pernah terlupakan dari diri saya adalah 6bulan PKL di Sembakung. Kami peserta PKL dari SMT PERTANIAN BAWEN Kab.Semarang mengucapkan banyak terimakasih kepada masyarakat Sembakung khususnya masyarakat desa Mambulu, Tanjung Harapan dan Tujung...atas penerimaan yang baik dan wujud persaudaraan yang hebat kepada Kami sewaktu disana. feb 1998 hingga agustus 1998 kami disana dan Kami tak pernah melupakan "persaudaraan" yang ada selama ini...moga aja saya pribadi dapat kesempatan kembali dapat berkunjung ke sana...terimakasih.
asalammualaikum wr.wb.

kenangan yang tak pernah terlupakan dari diri saya adalah 6bulan PKL di Sembakung. Kami peserta PKL dari SMT PERTANIAN BAWEN Kab.Semarang mengucapkan banyak terimakasih kepada masyarakat Sembakung khususnya masyarakat desa Mambulu, Tanjung Harapan dan Tujung...atas penerimaan yang baik dan wujud persaudaraan yang hebat kepada Kami sewaktu disana. feb 1998 hingga agustus 1998 kami disana dan Kami tak pernah melupakan "persaudaraan" yang ada selama ini...moga aja saya pribadi dapat kesempatan kembali dapat berkunjung ke sana...terimakasih.
assalamualaikum wr.wb

salam buat masyarakat Sembakung khususnya desa Mambulu,Tanjung Harapan, dan Tujung....Feb-Agustus 1998 banyak kenangan bersama temen2 PKL dari SMT Pertanian Bawen Kab.Semarang.............
memang benar jika Sembakung merupakan wilayah yang tertua....saya ingat perkataan Pak Dadang salah satu masyarakat desa Tanjung Harapan waktu itu....salam juga buat Pak Ignal dkk....di desa Tanjung Harapan....

HARTANTO
Helmiyanto said…
Sembakung khususnya atap merupakan tempat kelahiran ku yg sangat aku cintai dan juga kegelisahan ku.
Kegelisahan yg membayangi, kpan desa atap menjadi maju dan berkembang.
Tapi semua itu memotifasi qu agar brjuang dalam pendidikan agar suatu hari nanti melahirkan putra dan putri yg cerdas agar mampu brjuang menjadi kan sembakung-atap "sembakung kota bejajok"

Helmiyaahelmi.blogspot.com

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah