Skip to main content

Che (2008): Memberi Bingkai Pada Mimpi Sang Revolusioner

 

* * * * *

Sutradara: Steven Soderbergh 
Part One: 134 menit
Part Two: 135 menit 

Jujur aja, bukan hal yang mudah menonton film ini. Film berdurasi sekitar 4.5 jam ini, butuh 'kesiapan' untuk menontonnya. Berhubung aku lagi 'in the mood for Benicio Del Toro', film ini menjadi film penting yang harus aku tonton untuk melihat perjalanan karirnya. Bagi yang tidak terbiasa menonton film berbahasa lain selain Inggris, film ini pasti terasa membosankan di awal. Dan jangan berharap akan menemukan adegan perang-perangan yang heroik ala Hollywood di film ini. Jika itu yang kamu harapkan, sebaiknya lupakan saja, tidak perlu bersusah payah menonton Che.

Katakan saja, tidak ada sutradara Hollywood sebelum Steven yang mau bersusah payah memfilmkan Che. Jika Motorcycles Diary disebut-sebut, film ini tidak cukup untuk memberi gambaran tetang alasan mengapa Che menjadi icon revolusioner anti kapitalisme global. Kerja keras menghadirkan gambaran Che yang revolusioner itu, tentunya tak bisa lepas dari ketertarikan Beneio Del Toro sebagai pemeran Che sekaligus produser film ini. Sebagai aktor berdarah Puerto Rico, nama Che bukanlah sosok yang asing dalam sejarah Amerika Selatan. Meskipun Che yang dia kenal awalnya adalah prajurit haus darah yang ganas menghabisi musuh-musuhnya. Sampai Benicio menemukan buku yang berisi surat-surat Che kepada istri, bibinya dan kerabat-kerabatnya. Benicio melihat sosok Che yang lain yang membuat dirinya tertantang untuk menghadirkan sosok itu dilayar kaca. Steven Soderberg, sutradara yang mengantarkan Benicio meraih Oscar untuk pertama kalinya lewat film Traffic, menjadi mitra kerjanya untuk menggarap biopic icon revolusioner legendaris asal Argentina itu.

Riset yang dilakukan film ini memakan waktu yang cukup panjang, hampir 7 tahun. Bukan hanya studi literatur mengenai Che Guevara dan sejarah Amerika Selatan itu sendiri, Benicio dan Laura Bickford yang sama-sama memproduseri film ini, melakukan perjalanan ke beberapa negara di Amerika Selatan untuk mewawancarai saksi sejarah dan juga-juga orang-orang yang terkait dengan Che. Bahkan, Benicio sempat bertemu Fidel Castro untuk mempersiapkan proyek ini.

Dalam banyak wawancara, Benicio mengungkapkan ketika memerankan sosok penting dalam sejarah seperti Che, hal yang mesti disadari adalah bahwa ia harus menghargai sejarah itu sendiri dan kejujuran untuk melihat kesejarahan Che, sehingga ia bisa mendekati sosok Che dan memerankannya. Para kritikus sendiri mengakui itu, Benicio berhasil memerankan sosok Che sedemikian baiknya, sampai-sampai Cannes Festival memilihnya sebagai aktor terbaik 2008 untuk perannya sebagai Che.

Meski demikian tidak semua setuju dengan apa yang ditampilkan Del Toro tentang Che di filmnya itu. Che dianggap beberapa pihak terlalu menyederhanakan sejarah dan mengabaikan banyak fakta. Hal ini diakui Del Toro bahwa tidak mungkin menampilkan sosok Che secara utuh dalam 4.5 jam. Ia dan Steven harus memilih bagian-bagian mana yang akan diambil. Seperti mengambil potongan-potongan dan menyambungkannya lalu menghadirkannya sebagai sebuah rangkuman sejarah tentang Che. Dan menurutku, itu adalah konsekuensi ketika menghadirkan sejarah dalam film. Potongan-potongan mana yang akan dipilih untuk di hadirkan itulah yang mewakili keyakinan produser dan sutradara. Itu sebabnya menurutku Steven  berhasil menghadirkan kejujuran atas pilihannya itu (pilihan terhadap potongan-potongan mana yang ia pilih dari sejarah kehidupan Che). Gambar yang ia hadirkan cukup jujur dan tidak berusaha melebih-lebihkan. Tidak ada spesial effect untuk membuat adegan pertempuran menjadi dramatis di film ini. Dan kurasa itu yang membuat mengapa menonton film ini  memang tidak semudah menonton Band of Brothers misalnya yang membuat penonton terpukau dengan adegan-adegan heroik khas Hollywood. Soderbergh dan Del Toro justru mengajak penonton untuk berpikir tentang Che. Dan secara personal setelah menonton film ini  aku dihantui oleh banyak pertanyaan tentang Che, sejarah Amerika Selatan, dan lebih jauh lagi adalah gugatan tentang apa sesungguhnya revolusi itu?

Soderbergh menghadirkan Che kedalam dua bagian, perjuangann Che di Cuba dan di Bolivia dimana akhirnya Che gagal mengulang suksesnya di Cuba dan ditangkap hidup-hidup lalu dijatuhi hukuman mati. Hal yang paling kuat yang kurasakan di dua bagian ini adalah Che berusaha untuk menularkan gagasan revolusi ini keseluruh Amerika Selatan. Jika berhasil di Cuba, ia yakin bisa berhasil di tempat lain juga. Meski pada kenyataannya Bolivia tidak seperti Cuba dan perhitungan Che di Bolivia meleset. Tapi setidaknya dia mencoba. Dia bertaruh dengan keyakinannya. Meski pada akhirnya ia gagal, tapi kukira kegagalannya itu yang menurutku penting  dan menginspirasi kaum revolusioner global. Jika Che tidak mencobanya, apakah Hugo Chavez atau Evo Morales bisa menjadi orang nomer satu di negaranya saat ini? Sejarah butuh orang-orang yang berani mencoba dan gagal untuk membuat sejarah menjadi bab-bab yang berkesinambungan untuk di tuliskan.

Meski film ini tidak mendapatkan banyak award di Amerika Serikat (kurasa karena alasan politis) namun justru mendapat banyak pengakuan di Eropa, Amerika Selatan bahkan di China. Film ini menjadi salah satu dari sedikit film biopic tokoh sejarah yang cukup penting bukan hanya untuk ditonton sekarang, tapi  beberapa tahun kemudian. Menonton Che mengajarkan aku untuk belajar melihat sejarah dengan lebih adil dalam film-film biopic seperti ini. Persoalan adil di sini bukan bagaimana sutradara menempatkan lawan dan kawan secara seimbang, tapi menurutku adil dalam sebuah film sejarah adalah bagaimana keberpihakan sutradara dan aktor ditampilkan dengan jujur. Karena bagaimanapun juga memfilmkan sejarah adalah persoalan memberi bingkai baru pada potret peristiwa sejarah yang telah lalu. Pas atau tidaknya bingkai itu, menjadi perkara yang sangat subjektif. Namun selalu ada rentang kesepakatan tentang mana yang berlebihan dan tidak untuk menakar porsinya. Steven Soderbergh dan Benicio Del Toro kurasa berhasil memberikan porsi yang tidak berlebih-lebihan pada interpretasi mereka tentang impian-impian revolusi Che Guevara.

p.s: Review ini sangat dipengaruhi oleh moodku kepada Benicio Del Toro. Dari hampir semua film Benicio yang aku tonton beberapa hari terakhir ini, aku pikir Che adalah film terbaik yang pernah dia perankan, setelah itu Fear and Loathing in Las Vegas.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Nostalgia Kebersamaan Sekawanan Menjelang Umur Mereka yang Ke-40 Tahun

'cukup  mooi indie ga?' foto by vitarlenology Malam minggu kemarin, aku menjumpai sahabatku si pembalap gadungan di lab robotiknya. Meski hujan mendera-dera sepanjang siang sampai malam, tak mengurangi semangatku menjumpainya. Kangen saja berjumpa dengannya. Coklat panas menemani kami, berbagi cerita tentang hidup  masing-masing sebulan terakhir ini. Tiba-tiba, hp sahabatku berdering. Teman-teman lamanya waktu di UKM Teater mahasiswa dulu, datang mengunjunginya di lab. Aku hadir, menangkap kisah sekelumit masa lalu sahabatku yang sedang mengumpulkan semangatnya untuk menulis desertasi doktornya itu. Sambil aku jadi tau kisah-kisah kegilaan UKM teater Institut paling kondang di negeri ini. Pertemuan kawan lama, tentu tak jauh dari kisah-kisah nostalgia. Mengenang kembali kejadian-kejadian 'lucu' dan kegilaan-kegilaan yang pernah dilakukan. Singkat kata, tiga orang teman sahabatku itu kembali mengenang-ngenang indahnya kebersamaan mereka di UKM yang sangat mereka ba...