Skip to main content

Precious: Based on the Novel Push by Sapphire (2009): Ketika Nasib Terlalu Berharga Untuk Diratapi

* * * * 1/2

Sutradara: Lee Daniels

Aku jarang sekali menemukan sebuah film yang ketika aku selesai menontonnya, perasaanku bener-bener ngilu dan sesek di dalem. Yang bisa melepaskan itu semua adalah dengan menangis tergugu. Itulah yang kurasakan setelah menonton film ini.

Film garapan Lee Daniels, dengan eksekutif produser Oprah Winfrey dan Tayler Perry, menampilkan kepiawaian akting Mo'Nique dengan maksimal. Mo'nique berperan sebagai Mary, single mother yang mengalami keruntuhan psikologis ketika Precious (diperankan aktris pendatang baru Gabourey Sidibe) mengalami sexual harrasment untuk pertama kalinya ketika berumur 3 tahun oleh ayahnya sendiri. Mary menjadi abusessive terhadap Precious, karena ia merasa semua laki-laki yang dicintainya direbut oleh Precious. Padahal yang dialami Precious adalah pemerkosaan demi pemerkosaan. Dari mulai ayahnya sendiri sampai kekasih ibunya yang lain. Setiap mengalami kekerasan seksual dan kekerasan psikologis lainnya, Precious membayangkan dirinya sebagai seorang bintang yang dicintai dan dipuja banyak orang.

Ketika Precious hamil anak kedua dari pemerkosaan yang dilakukan kekasih ibunya, pihak sekolah mengirimkan Precious di sekolah khusus bagi anak-anak bermasalah. Beruntung dia bertemu dengan guru yang begitu cinta dengan pekerjaannya_ Ms. Rain  (Paula Patton) punya banyak kesabaran untuk mengajari Precous, membukakan kesadaran bahwa Precious tidak sebodoh dikatakan ibunya. Precious punya sesuatu yang 'berharga' yang patut dibanggakan.

Film ini bukanlah film yang mengharu-biru dengan gaya happy ending ala hollywood. Lee Daniels justru menggarap jalan ceritanya  begitu nyata, sederhana dan apa adanya. Setiap pemain di film ini dituntut untuk bermain dengan kejujurannya, bahkan Lenny Kravitz sekalipun yang berperan sebagai Nurse John dan  Mariah Carey yang berperan sebagai Miss. Weiss, petugas sosial yang mengurusi tunjangan sosial yang diberikan kepada Mary.

Kurasa juri ga salah memberikan gelar aktris pembantu terbaik 2010 Golden Globe Award kepada Mo'nique, karena menurutku aktingnya begitu jujur. Mo'nique mampu menampilkan kehancuran psikologis itu dengan sangat jujur, sampai penonton tidak lagi bisa menilai karakternya secara hitam putih, namun tidak pula dengan serta merta penonton akan memaafkan tindakannya. Kemampuan Mo'nique di film ini justru menampar penonton dan menghadirkan kepahitan seorang ibu yang merasa tidak dicintai lalu melampiaskannya pada anaknya. Gugatan Mary yang begitu jujur justru masuk dalam ruang-ruang tersembunyi, rahasia hidup yang mungkin selama ini disembunyikan dan dihindari banyak orang. Dan keberanian Precious untuk memilih menghadapi nasibnya daripada meratapinya, sungguh menginspirasi.

Comments

Eugenia Gina said…
reviewnya aja udah nyesek lho.. *_* serem yah..
vitarlenology said…
semoga salah satu dari mereka dapet oscar..:)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...