Skip to main content

Catatan Perjalanan 2 - Cambodia: Terbakar Teriknya Tanah Khmer

Selamat datang di Cambodia

Perjalanan menyebrang dari Ho Chi Minh ke Phnom Penh, berjalan lancar dan tidak ada kendala yang berarti. Perjalanan mamakan waktu sekitar 6 jam. Kami berangkat 29 Maret 2010 Pk. 10.00, sampai perbatasan sekitar pk. 12.00 waktu setempat (tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta). Teriknya tanah Cambodia, langsung terasa. Tenggorokanku langsung bereaksi dengan hal ini, rasanya kering sekali dan panas. Urusan visa juga ga repot, karena semua dibantuin oleh petugas bis yang membawa penumpang ke Cambodia. Sepanjang perjalanan menuju Phnom Penh daerah yang kulewati terasa gersang dan panas menyengat. Terlihat sekali perbedaan antara Vietnam dan Cambodia, sebagai negara yang lebih kecil dan beda ideologi dengan Vietnam, Cambodia seperti sedang berjuang keluar dari bayang-bayang rezim Khmer Merah dan sedang berusaha membangun dirinya dengan tertatih-tatih. Setidaknya kesan itu aku dapatkan dari ekspresi orang-orang Cambodia yang kutemui sepanjang perjalanan.

Seorang ibu yang bersama-sama naik bus denganku dan menyangka aku orang Filipina (selama perjalanan ini bukan sekali ini aku disangka orang Filipina, berkali-kali, kalo dibilang orang Indonesia, mereka bereaksi, Malaysia?. No! Indonesia!, kalau dijawab orang Puerto Rico mereka lebih bingung lagi hahahaha..). Oke, si ibu teman perjalanan naik bis dari Ho Chi Minh ternyata dia orang Cambodia yang udah beberapa kali ke Indonesia untuk ikut pelatihan Clean Goverment di Indonesia (ga salah nih???), begitu tau aku orangIndonesia dia langsung bercerita soal Cambodia dengan bahasa Inggris logat Cambodia.. heheheh jadi setengahnya aku bisa paham, setengahnya lagi nebak-nebak. Tapi dari dia minimal aku dapet gambaran seperti apa Cambodia, mungkin seperti Indonesia setelah tahun 1965 (aku menebak aja).

Daerah Sekitar Rusia Market di Phnom Penh

Phnom Penh, lebih awut-awutan dari Ho Chi Minh. Jalanannya kotor dan semrawut banget, tapi ga tau kenapa aku merasa langsung terhubung dengan orang-orangnya. Bis berhenti di dekat Russian Market. Perlu Tuk Tuk (semacam bajaj) untuk pergi ke tempat penginapan yang di rekomendasikan Lonely Planet. Sejak menemukan Green Tortoise Hostel atas rekomendasi Lonely Planet waktu backpacked ke Seattl, 2008 lalu, aku sangat mengandalkan pilihan editor Lonely Planet untuk guest house atau hostel backpacker dimanapun berada. Begitu pula waktu di Cambodia. King Guest House namanya. Semalam sewanya 7 US dolar. Kamarnya cukup bersih lah, double bed dan ada kamar mandi di dalam. Oya yang mengejutkan dari Cambodia adalah mata uang yang dipakai sehari-hari adalah US Dolar selain dari mata uang mereka sendiri. 1 US dolar sama dengan 4000 riel (KHR). Jadi membawa US Dolar akan jauh lebih mudah kalo pergi ke Cambodia.  Begitu nyampe di Cambodia aku langsung tewas, karena rasanya penat dan sedikit meriang. Mungkin karena cuaca yang sedemikian panasnya. 

Untuk makanan sekali makan sekitar 2-3 US dollar dan minuman yang paling murah adalah lemon juice hanya 0.50 US dolar. Porsinya cukup mengenyangkan dan makanan Cambodia, ga terlalu berbeda dengan Vietnam, hanya saja lebih sederhana. Kalau Vietnam mereka lebih cantik dalam menyajikan, tapi kalau di Cambodia lebih apa adanya, mungkin sesuai dengan kondisi negaranya juga. Tapi ada hal lain yang juga tidak kuduga sebelumnya, orang Cambodia lebih banyak yang bisa berbahasa Inggris daripada orang Vietnam. Dari cerita tukang tuk tuk, ternyata bahasa Inggris adalah bahasa yang dipelajari dengan antusias oleh generasi muda Cambodia. Sementara orang-orang tua mereka sempat mengalami pelajaran bahasa Perancis di sekolah, jadi generasi tuanya lebih bisa berbahasa Perancis daripada Inggris.
Royal Palece maskotnya wisata Cambodia

Hari kedua di Cambodia, bersamaan dengan hari ulang tahunku. Hari kedua keliling-keliling Cambodia dengan menyewa Tuk Tuk, 20 US dollar. Dengan harga segitu, Tuk Tuk akan mengantar ke tempat-tempat yang biasa di kunjungi turis dan dimulai dengan Royal Palace. Tiketnya lumayan mahal juga 12.5 US dolar/orang. Ternyata bangunan Royal Palace ga sekuno yang kubayangkan. Cukup baru dan detail-detailnya juga terasa lebih sederhana dan ga halus dalam pengerjaannya. Namanya juga kerajaan yang sudah dipengaruhi oleh penjajahan. Pengaruh ini bisa dilihat di langit-langit Royal Palace yang Eropa banget. Ada lukisan semacam Birth of Venus gitu di langit-langitnya, sebuah bukti pengaruh Eropa yang sedemikian kuat ada di langit-langit pula, berarti posisi pengaruhnya cukup tinggi dan penting.


Salah satu blok di S-21

keterangan di salah satu blok bangunan di museum genocide

Setelah dari Royal Palace, beranjak ke Museum Genocide yang merupakan penjara S-21 yang digunakan sebagai tempat penyiksaan, intrograsi dan penjara orang-orang yang dianggap menentang rezim Khmer Merah. Tiket masuknya 2 US dolar/orang. Kompleks bangunan yang terdiri dari 4 blok dan masing-masing blok terdiri dari 3 lantai. Setiap lantai adalah ruangan-ruangan yang tersekat-sekat. Di museum ini yang setiap ruangan dibiarkan seperti ketika masih berfungsi sebagai S-21 dulu. Di salah satu blok hanya ada ranjang besi di tengah-tengah ruangan dan alat penyiksaan. Sementara di ruang lain ada alat-alat penyiksaan untuk kepentingan intrograsi seperti kursi listrik, bak untuk menenggelamkan, dan ada juga blok yang didalamnya di sekat-sekat lagi jadi ruangan 1x1 meter sebagai penjara dan isolasi. Sisanya berisi foto-foto korban kekejaman rezim Khmer. Suasana di museum Genocide terasa hening tapi sekaligus juga mencekam. Rasanya peristiwa itu baru saja terjadi. Temboknya dan semuanya masih dibiarkan apa adanya. Setiap mata yang ada di display foto-foto korban, seperti menatap pengunjung dan menceritakan kekejaman yang sulit dibayangkan itu. Sulit untuk berkomentar.


Beginilah ruang penyiksaan itu beserta alat-alatnya


Aturan main di S-21 (klik gambar untuk melihat tulisan lebih jelas)

Setelah dari museum Genocide, rasanya ga lengkap kalo ga mengunjungi Choeng Ek alias The Killing Field. Lokasinya 15 KM dari Phnom Penh. Naik Tuk Tuk kira-kira 1 jam perjalanan. Tiket masuk 2 US dolar/orang. Lokasinya bener-bener di tengah lahan gersang. Museum ini luasnya sekitar 2 hektar. Dan memang seluas itulah dulu Pol Pot mengunakan tempat ini sebagai tempat pembantaian dan kuburan masal. Jadi para tahanan S-21 dibawa oleh truk untuk 'disukabumikan' di sini. Di tengah-tengah lahan seluas 2 hektar ini ada bangunan kecil yang cukup tinggi yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang korban kekejaman rezim Khmer Merah. Bangunan ini masih baru, karena dibangun 2008, 20 tahun setelah kuburan masal ini di temukan (1988: tolong dikoreksi kalo salah). Suasananya jauh lebih senyap dan 'haunted'. Turis-turis yang datangpun mengelilingi tempat ini dalam diam. Bahkan saat masuk ke ruangan dekat pintu keluar untuk menyaksikan dokumenter tentang Choeng Ek dan penjelasan mengenai The Killing Field, suara langkah sendiri menuju ruang itu pun jadi begitu jelas terdengar dan terasa menteror.


The Killing Field

Ada sebuah pohon yang dinamai 'The Killing Tree'. Pohon yang digunakan untuk menghempaskan bayi-bayi yang direbut dari ibu-ibu mereka dengan begitu keras pada batang pohon dan mati seketika. Aku perhatikan batangnya. Nampak garis-garis pada batangnya seperti di toreh oleh kepedihan ibu-ibu yang kehilangan anak-anak mereka dengan cara yang sedemikian brutal. Pol pot mengaku tidak pernah membunuh bayi dengan cara menghempaskan ke "the killing tree" itu, tapi dalam pernyataannya dia bilang, jika tentaranya yang melakukan itu, berarti ia bertanggung jawab untuk itu.  Udara di sekitar The Killing Field, terasa panas menyengat. Tanahpun seperti belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas kekejaman yang pernah terjadi diatasnya, karena tidak banyak pohon tumbuh di lahan itu. Hanya semak belukar saja yang tumbuh liar mengayomi ayam-ayam dan burung-burung liar yang mencari hidup di situ.

The Killing Tree

Kembali ke Phnom Penh, menghadiahi diriku sendiri oseng cumi dengan bumbu Cambodia untuk mengembalikan mood di hari ulang tahun. Sisa hari yang dihabiskan dengan keliling Phnom Penh, mengunjungi National Museumnya dilalui dalam diam. Banyak hal berkecamuk, tapi sulit untuk diungkapkan. Menuliskannya sembarangan pada buku harian supaya tidak jadi residu. King Guest house tempatku menginap itu, ternyata mau pindahan ke tempat baru. Jadi malam terakhirku di Phnom Penh, juga malam terakhir bagi lokasi lama guest house itu. Suasananya jadi rada berantakan karena si empunya guest house sibuk mengangkuti barang-barangnya.

Hari ketiga, dimulai dengan perjalanan menuju Siem Reap, sebuah propinsi di Cambodia yang menjadi cagar dunia karena keberadaan Angkor Wat. Aku membayar 6 US dolar untuk tiket bus ke Siem Reap, itu sudah termasuk minibus yang menjemput dari guest house sampai ke terminal. Perjalanan dari Phnom Penh menuju Siem Reap di tempuh selama 6 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan aku menyaksikan Cambodia yang gersang dang 'miskin'. Rumah-rumah tradisional mereka seperti rumah panggung yang banyak kutemui di Kalimantan.  Sawah dan ladang terlihat tandus dan kering. Nampaknya ini menjadi musim kering yang berat bagi banyak orang termasuk orang-orang di Cambodia.

Begitu memasuki propinsi Siem Reap, aku melihat banyak perbedaan. Bau 'internasional' mulai terasa, ketika aku menemukan tenda bantuan pangan World Food Program seperti yang kutemui di Banda Aceh, 5 bulan setelah tsunami. Mobil-mobil berstiker lembaga internasional seperti ILO atau FAO aku temukan beberapa, berpapasan di jalan. Logo-logo lembaga seperti USAID, UNESCO, UNICEF, terselip di bilboard beberapa fasilitas publik. Dan ketika sampai di kota Siem Reap, suasananya lebih bebeda lagi. Kotanya terasa sangat kota turis. Selama ini Siem Reap mengandalkan pendapatannya dari turistik. Setelah Tom Rider mengambil setting di Angkor Wat, semakin banyak turis asing yang  datang ke kota ini, penasaran ingin melihat Angkor Wat secara langsung. Harga-harga juga terasa lebih mahal dari Phnom Penh. Di sini aku menginap di guest house yang sama dengan di Phnom Penh. Mereka ternyata punya cabang di sini. Jadi aku membayar 7 US dolar permalam untuk kamar double bed, kamar mandi air panas dan dingin dengan kamar yang lebih bagus dan luas. Lokasinya juga ada di daerah turis dekat dengan tempat-tempat turis seperti pasar, dan KFC! heheheh.. jauh-jauh ke Siem Reap, makannya di KFC. Karena aku booking guest housenya dari Phnom Penh, aku dapet bonus di jemput tuk tuk di terminal. Jarak dari terminal ke guest house ternyata lumayan jauh juga.

Hal yang cukup mengejutkan di kota sekecil Siem Reap, ada toko buku yang koleksi buku bahasa inggrisnya lumayan oke. Meski yang dijual sebagian adalah buku-buku second. Oya di sini juga aku dapet bajakan Motor Cycle Diarynya Che Guevara dengan kualitas bajakan yang lumayan (cover di print laser color) dengan harga 3 US dolar saja dan bajakan Lonely Planet edisi Thailand hanya 6 US dolar saja. Sepanjang perjalanan ini nampaknya aku dibuntuti oleh 'Che Guevara'. Di Vietnam aku nemu flyernya, di Cambodia aku nemu bukunya, di Thailand di weekend marketnya banyak yang bikin sesuatu dengan foto Guevara yang terkenal itu. Che bener-bener 'poster man' heheheh.. nanti pulang aku mau nonton lagi ah tiga-tiganya: Motor Cycle Diarynya Walter Sales dan Che Part One & Part twonya Steven Soderbergh. Btw.. sekilas info, Benicio jadi kandidat kuat untuk memerankan biopicnya Diego Maradona, setelah sukses memerankan biopic Che Guevara (demikian sekilas info dari google alert Benicio Del Toro hihihihih).


Danau yang mengelilingi Angkor Wat

Hari kedua di Siem Reap, barulah berangkat ke Angkor Wat. Sewa tuk tuknya 15 US dolar dan tiket masuknya untuk small tour 15 US dolar per orang.Ada paket tur yang lain kaya big tour 17 US dolar, 2 hari tur 40 US dolar, 3 hari 60 US dolar. Karena kompleks Angkor Wat ini bener-bener gede banget. Small tour aja bener-bener melelahkan. Memang yang paling besar adalah Angkor Watnya itu sendiri. Situs bekas kerajaan Angkor yang komposisinya langsung membawaku masuk ke gambar-gambar litografi kolonial. Angkor di kelilingi pepohonan seperti pohon asem, salah satu jenis palem-paleman yang tertata rapih dan membuat aku, selain masuk ke gambar litografi kolonial seperti masuk ke dalam setting komik Budha.  WOW.. sureal banget.

Kaya di litografi jaman kolonial

Hal yang perlu diperhatian jika akan mengikuti tur Angkor Wat ini adalah stamina. Turun naik tangga mengitari candi-candi di tengah cuaca yang panas dan terik, jangan lupa topi dan air minum secukupnya. Kalo ga bisa dehidrasi.  Salah satu paket small tour Angkor Wat ini adalah mengunjungi salah satu candi yang ada di sela-sela pepohonan besar, seperti yang di film-film itu. Beberapa candi kondisinya masih dalam perbaikan. Hanya yang menarik dalam satu kompleks Angkor, aku menemukan bentuk candi yang mirip prambanan, ada juga yang bentuknya kaya Machu Pichu, juga ada yang terbuat dari batu bata seperti reruntuhan kerajaan jawa di kota gede, Yogja (rasanya aku perlu membaca kembali buku sejarah nih).  Mengelilingi Angkor Wat aja udah cukup melelahkan. Kembali ke guest house jadi terasa menyenangkan.

Hari ketiga di Siem Reap adalah hari menyebrang ke Thailand. Aku membayar 8 US dolar sudah termasuk taksi yang menjemput dari penginapan sampai bus Cambodia yang mengantar ke perbatasan. Sampai di perbatasan cap pasport, minibus yang mengantar dari perbatasan ke Bangkok sudah siap menunggu. Aku berangkat dari Siem Reap pk.09.00 pagi, sampai perbatasan pk. 12.00 istirahat dulu 1 jam. Berangkat pk. 13.00 masuk Bangkok Pk. 16.30 dan langsung disambut oleh kemacetan. Malam sebelum menyebrang sempet ngecek berita via internet soal Bangkok. Ternyata dihari aku tiba (Jumat 2/4) demo "Red Tshirt" yang menuntut reformasi kepemimpinan tengah berlangsung dan hari ini (sabtu 3/4), sekitar 2 juta pendukung turun ke jalan memadati jalanan Bangkok. Dan dari tempatku menginap di kawasan Bang Lampoo, terdengar samar-samar suara pemimpin demo. Langsung saja aku merasa akrab dengan suasana itu. Bangkok yang terasa seperti Jakarta. Aku beradaptasi sangat cepat dengan kota ini.

New Merry V Guest House,
Bang Lampoo, Bangkok
3 April 2010

P.s. foto Cambodia belum semua di upload di flickr, hanya beberapa saja untuk kepentingan catatan ini.

Comments

I. Widiastuti said…
Bang Lamphoo..lagi-lagi...salam buat Bodhi ya Mbak.
happy trip mbak...

xo.
aphrodita

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah