Skip to main content

Feel In Love With a Band

Setelah menamatkan The Motorcycle Diaries dalam berjalanan Thailand - Malaysia (2 hari, 2 malam di kereta api..:P), tentunya aku membutuhkan buku lain untuk menemani perjalananku. The Motorcycle Diaries enak banget dibacanya. Che Guevara pandai bercerita. Waktu buku itu selesai, ada perasaan "yah, kok dah selesai lagi.."

Sampai di Kuala Lumpur, tujuan pertamaku adalah Kinokuniya di KLCC, mencari-cari buku, tadinya mau nyari referensi buat tulisan yang lagi kukerjain, trus tiba-tiba aja di rak "rock n' roll" aku menemukan buku ini "Fell in Love with a Band: The Story of The White Stripes" WOHOOOO!!!! Sebagai fan beratnya The White Stripes, aku kok ga ngeh kalo buku ini ada ya? Di terbitkan tahun 2004, jadi ga lengkap sampai berita paling baru soal TWS. Tapi sejauh yang aku baca, banyak info yang aku ga tau soal TWS dan menjawab misteri TWS yang selama ini ga banyak di ekspose media. Ada banyak wawancara sama temen SDnya si Jack, sobatnya Meg dan penulisnya juga jurnalis musik Detroit yang ngikutin sepak terjang TWS dari awal. Langsung membuatku bersemangat nih.. hehehhe.. dan kangen sama playlist 'White to white' di Itunesku.

Hal lain yang menyenangkan di hari ini (selain semakin mendekati pulang), di Kinokuniya KLCC itu ada dua rak penuh isinya buku  ondori atau buku-buku craft jepang gitu dan ga di segel heheheheh.. jadinya aku bukain mencari-cari ide dan nemu banyak tentunya membuatku kangen sama mesin jahit dan tumpukan kain-kain  :(( tapi minimal dua rak buku-buku craft Jepang itu sedikit mengobati kerinduanku untuk bikin seusuatu. Oh oh.. apakah aku harus ke IKEA juga? Hiks.. sementara duit semakin menipis.. masih ada Singapura nih sampai waktnya pulang tiba. Mmm... bener-bener harus menahan diri kuat-kuat nih..

Comments

I. Widiastuti said…
oh tidak kino...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...