Skip to main content

Kangen Kerja

Dalam rangka mencari cara mengembalikan mood perjalanan, terpikir olehku bahwa salah satu penyebab hilang mood, selain penyesuaian dengan teman perjalanan, juga kerana aku rindu pada pekerjaan-pekerjaanku di Bandung. Digital detox sebulan mungkin aku bisa, tapi tidak 'bekerja' dalam tiga minggu bisa membuat aku 'gila'. Bekerja dalam arti juga membuat sesuatu (hiks jadi teringat tumpukan bahan baku di deket meja kerjaku). Apalagi  dalam perjalanan ini aku mendapat banyak ide baru untuk berkarya, rasanya ingin segera merealisasikannya.

Memang suka serba salah. Kalau kerja terus ga ada istirahatnya juga otak rasanya jenuh. Tapi kalo liburan bener-bener off kerja selama 3 minggu begini, juga rasanya ga karu-karuan. Setidaknya dari perjalanan ini aku jadi tau, waktu maksimum yang bisa kupenuhi untuk off dari pekerjaan itu berapa lama: 2 minggu lah. Cukup. Ga nyentuh bahan2 buat berkarya. Lebih dari itu, aku bisa sakau beneran (untung aku bawa hook crochet, aku bisa merajut pake kantong kresek nanti di jalan).

Hari ini akan jadi malam terakhir di Bangkok, karena besok siang kami akan berangkat lagi ke Malaysia. Perjalanan cukup panjang karena menggunakan kereta yang ga langsung mengantar ke tujuan, tapi sambung-sambung di beberapa stasiun. Karena minggu ini adalah hari liburnya orang Thailand, banyak orang pergi ke perbatasan untuk berlibur. Tapi setidaknya melanjutkan perjalanan ini membuat aku kembali bersemangat, mungkin juga karena semakin mendekati Singapura dan itu artinya kembali ke Jakarta dan Menginjakkan kaki kembali di Bandung.

Di Malaysia nanti, judulnya bekerja sambil liburan karena aku harus menyelesaikan beberapa tulisan yang deadlinenya datang bersamaan, juga membuat wawancara dengan beberapa teman disana. Ya cukup menghibur lah. Lagipula bertemu dengan teman seperti Ise dan Asung yang akan datang dari Jakarta cukup membuatku bersemangat.

Sisi baik dari perjuangan melawan kebosanan dan kehilangan frekuensi dengan teman seperjalanan adalah aku bisa menyelesaikan buku yang aku bawa sebagai bekal perjalanan ini.

Tadinya aku ga akan bawa buku ini. Aku meminjamnya dari Rumah Buku. Isinya adalah kumpulan wawancaranya Tom Waits. Salah satu musisi yang aku suka banget karya-karyanya. Dari wawancara-wawancara itu aku jadi lebih mengerti proses kreatifnya Waits yang beda dari yang lain. Waits membuat lagu seperti sedang bercerita. Menurutku dia adalah pencerita yang baik. Dia tau bagaimana membuat cerita itu menjadi tidak membosankan dan selalu menarik. Dia memperlakukan bunyi sebagai bagian penting dalam cerita yang dia buat.

 Buku ini mengumpulkan wawancara-wawancara Waits sejak tahun 1977 sampai 2000-an. Ada dua wawancara yang menurutku sangat menarik, lebih tepat disebut obrolan daripada wawancara, jadi obrolan yang ditranskrip antara Tom Waits dan Elvis Castello dan Tom Waits dengan Jim Jarmush. Elvis Castello lebih senang bercerita banyak daripada Tom Waits, mungkin juga karena sama-sama senang bercerita. Sementara Jim Jarmusch ada dalam tulisan yang terpisah, lebih seimbang  ngobrolnya. Baik Jim maupun Tom sama-sama saling berbagi banyak hal. Mungkin juga karena dua orang ini udah beberapa kali bekerja bareng. Tom pernah membintangi film Jim: Down By Law, salah satu film favoritku . Jawaban-jawaban Tom yang suka ngasal seringkali bikin aku cekikikan sendiri.

Buku kedua yang aku selesaikan dengan sangat cepat adalah Fear and Loathing in Las Vegasnya Hunter S. Thompson. Aku sengaja bawa buku ini karena aku udah nonton filmnya lebih dari 10 kali. Dan ketika baca buku ini aku kaya nonton filmnya lagi hahahah.. makanya cepet. Karena sebagaian aku hapal adegan dan dialognya. Baca buku ini sehari selesai, itupun ga full seharian. Aku bener-bener terhibur dan lumayan menaikan moodku lagi, karena aku tuh beneran suka banget sama film ini. Tentunya juga karena para pemainnya hehehehehe.. juga sutradaranya. Yang aku baca dibuku seperti melengkapi bagian-bagian yagn kurang lengkap di film. Tapi 90% Terry Gilliam menerjemahkan seperti apa yang ada di buku. Kecuali Raoul Duke dan Dr. Gonzo yang seharusnya bugil saat room service di hotel Flamingo disergap Dr. Gonzo. Hahahah.. di film Johnny dan Benicio ga bugil untuk adegan itu. Sepertinya aku membaca film ini sesuai dengan filmnya. Biasanya kebalik, orang nonton filmnya untuk ngeliat apakah interpretasinya sesuai dengan buku, kalo aku mungkin kebalikannya, karena aku nonton filmnya dulu berkali-kali pula, sampai semua audio commentary yang ada di film ini aku dengerin semuanya juga.. hahahahah..

Nah sekarang aku sedang mulai membaca buku yang ini:
The Motorcycle Diariesnya Che Guevara. Aku udah nonton sih filmnya, tapi membaca bukunya kayanya jadi cerita yang berbeda dan menarik. Buku ini aku dapet di Cambodia. Kupikir asli, pas dilihat bajakan hehehehe.. 3 dolar saja. Ya udah hitung-hitung foto copy dan cover dibuat sesuai aslinya. Biar lengkap Che Guevara menemani dalam perjalanan ini. Nemu bukunya Keroac ada dua judul yang aku belum punya, tapi lagi menimbang-nimbang apakah perlu membelinya atau tidak. Aku udah belanja banyak banget nih di Thailand.. Keroac bisa nanti lagi, Town and The City aja ga jadi aku bawa dan belum aku selesaikan juga membacanya.  Biasanya kalo udah mulai baca lagi, bakalan terus nagih dan ga bisa berhenti. Baguslah, karena aku memang harus banyak baca lagi karena sudah mulai menulis lagi. Menulis dan membaca dua hal yang ga bisa dipisahkan. Ga bisa nulis kalo ga banyak baca. Maksudku bacaan-bacaan yang cukup serius dan jadi referensi. Sekalian pengkondisian sebelum daftar sekolah.

Bangkok, 6 April 2010
yang pengen segera kembali ke jalan aceh 56

Comments

I. Widiastuti said…
bacaan yang bagus memang teman perjalanan yang paling yahud. Nggak sabar juga menanti Mbak Tarlen kembali men-tobucil :)
vitarlenology said…
din, surat balasan untukmu udah aku kirim dari bangkok.. tunggu aja ya.. :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...