Skip to main content

Teman Perjalanan

 Foto kiriman Tanto yang membuatku terhibur karena teringat bagaimana Nirwan Arsuka "tertakjub-takjub" dengan singkatan ini..cara dia mengatakannya itu loh.. lucu banget.. :D

Hal yang paling berat dalam sebuah perjalanan adalah menjaga frekuensi dengan teman seperjalanan. Hari pertama, kedua masih seperti masa-masa serba antusias, tapi saat sudah sampai tempat tujuan dan mulai menemukan minat masing-masing, mulailah setiap tujuan menjadi terlihat berbeda. Pada titik ini, frekuensi atau chemistry masing-masing perlu mengalami penyesuaian lagi. Penyesuaian menjadi sulit saat dari awal udah ketauan beda frekuensi cukup jauh. Jadinya sampai satu titik, perjalanan menjadi masing-masing dan bersama hanya sebatas persoalan teknis (Duh.. kenapa terdengar seperti sebuah hubungan rumah tangga ya... hihihihih.. setidak kesamaan ini disimpulkan dari cerita-cerita temanku yang sudah berumah tangga :D)

Ini menjadi sebuah pelajaran jika akan melakukan perjalanan cukup panjang seperti ini: dari awal carilah teman perjalanan yang kita tau betul frekuensinya ga jauh beda (setidaknya ada pada level yang sama. Sama-sama ada di gelombang FM misalnya, jangan yang satu FM yang satunya lagi AM). Kalau perbedaannya terlalu jauh, akan sulit menyesuaikannya lagi. Pengaruh cuaca, stamina, akomodasi yang ala kadarnya akan sangat mempengaruhi mood perjalanan. Kalau terbiasa jalan sendiri, sebenarnya jadi lebih leluasa. Karena semua keputusan bisa ditentukan sendiri. Tapi dalam sebuah perjalanan bersama-sama, mesti ada ruang juga untuk masing-masing melakukan apa yang menjadi minat. Kalo engga, masing-masing nanti akan merasa terpaksa mengikuti keinginan salah satu pihak saja dan itu akan banyak mengurangi kenikmatan perjalanan ini.

Yayaya.. (sambil berusaha memikirkan kembali, bagaimana menyesuaikan frekuensi dari perjalanan ini .. mungkin juga karena panas, jadi membuatku lambat sekali berpikir.) Semakin menyadari, bahwa gimanapun juga aku tuh cinta banget tinggal di Bandung..

Bangkok, 5 April 2010

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...