Sore di Kaliurang KM5, foto oleh vitarlenology
Terpaksa mengatakan hasta la vista atau mendengar orang lain mengatakan itu, ternyata sama ga enaknya. Apalagi jika itu dikatakan saat aku masih berkeyakinan bahwa itu bukan keputusan yang semestinya aku ambil. Itu adalah keputusan terakhir. Atau, hal itu terucap dari orang yang tidak cukup punya energi menghadapi tantangan bekerja bersamaku. Aku jadi merasakan ulang, apakah aku yang terlalu tidak sabar menghadapi orang yang aku yakin dia mampu melakukannya? atau aku yang terlalu 'kurang kerjaan' memberikan tantangan berlebih pada orang yang ternyata tidak cukup punya semangat untuk menjalaninya. Bisa jadi tantanganku itu tidak cukup berarti baginya. Jadi daripada membuang-buang waktu menghadapinya lebih baik dihindari saja. Ya, mungkin ini caraku menghibur diriku sendiri dari rasa kecewa saat orang yang aku yakin mampu, ternyata lebih memilih tidak menerima tantangan dariku dan meninggalkanku.
Life goes on. Hidup senantiasa bergerak terus. Maju. Terpaksa melepaskan dan berusaha merelakan orang-orang yang aku yakini bisa, begitu caranya belajar menerima kehidupan dan ketidak mengertian dalam hidup. Mungkin aku terlalu menaruh harapan besar pada orang-orang seperti itu. Yang aku proyeksikan adalah keinginanku bukan keinginannya. Dan saat keinginanku itu tak kesampaian, aku harus berdamai dengan diriku sendiri dan rasa kecewaku. Aku meyakinkan diriku, bahwa ini adalah proses seleksi teman perjalanku. Cita-citaku ini membangun apa yang disebut 'literasi dalam keseharian' tidak selalu ditemani oleh teman perjalanan yang sama yang bisa setia dari awal memulai langkah sampai saat ini. Kenyataan sendiri telah membuktikan itu. Bahkan di awal saat cita-cita ini disepakati bersama (oleh dua pendiri tobucil lainnya), di masa persiapan aku sudah ditinggalkan. Terpaksa menghadapi kondisi dan situasi dimana aku harus berjalan terlebih dahulu, karena waktu perjalanan dan semua yang sudah ditentukan tidak dapat ditarik mundur. Di perjalananku itu yang lain mengikuti dari belakang sementara aku meraba-raba apa yang akan kuhadapi nanti sambil mencoba menemukan keyakinan diriku sendiri bahwa temanku itu benar-benar ada menyertaiku, meski kehadirannya kadang seringkali tidak berhasil meyakinkanku. Sampai akhirnya aku benar-benar sadar, sendirian karena yang lain memutuskan untuk menempuh jalan yang lain, dan aku memutuskan untuk terus, semua harapan dan keyakinan yang aku bangun dan aku bagi bersama, terpaksa runtuh dan perlahan-lahan kubangun lagi yang baru. Seperti sebuah perancangan ulang tahapan proses, karena terlalu banyak hal tak terduga dan tak diperhitungkan sama sekali.
Pada bangun baru proses perjalanan selanjutnya, kuputuskan menyusun perjalanan cita-citaku itu seperti modul-modul yang bisa kusambung-sambungkan seperti bentukan yang sudah kurencanakan. Namun ada saatnya, aku harus melepaskan salah satu modul itu, karena ternyata modul itu bukanlah modul yang cukup kuat untuk disambungkan dengan yang lain. Apa yang mesti kulakukan pada titik ini? memaksakannya berkait dan melemahkan bangunan bentuk yang sedang disusun, atau terpaksa menyingkirkannya untuk menyelamatkan yang lain (pada titik ini, aku menganggap menyingkirkan dan membuat menyingkir, tipis sekali perbedaannya. Dua hal ini hanya membedakan rasa bersalahku segaris saja. Menyingkirkan berarti rasa bersalahku lebih tebal satu garis, sementara membuat menyingkir dengan sendirinya hanya membuat rasa bersalahku berkurang satu garis saja. Dua-duanya tetap menyisakan perasaan bersalah karena diri telah gagal membuat orang lain mengerti, gagal membuat modul yang baik seperti yang kuharapkan). Namun begitulah hukum alam bekerja. Bahkan Gregor Mendel membuktikan, selalu ada sifat-sifat resesif yang diturunkan secara acak pada setiap mahluk hidup. Kadang kita sulit menduganya kapan sifat itu akan muncul, tapi pada saat kemunculannya, pilihannya adalah memisahkannya atau membuatnya berjuang keras menyesuaikan diri dengan keadaan mayoritas. Namun segregasi dan isolasi seringkali bukan pilihan tepat untuk hidup sebagai yang bebeda. Alam dan kenyataan menuntut percampuran dan hukum survival of the fitness membuat pilihannya menjadi sederhana saja. Sahabatku si pembalap gadungan bilang, menjadi looser selamanya, atau menjadi hebat dan tangguh kerena bisa menyandi penyintas dengan keberbedaan dan keresesifannya itu. Dan setiap orang adalah penyintas untuk keresesifannya dan keberbedaannya masing-masing. Bagiku kemudian, ujung-ujungnya semua kembali ke persoalan negosiasi soal mengerti dan dimengerti dan menerima bahwa orang lain memang belum bisa mengerti.
Satu hal yang aku sadari dari proses melepaskan ini adalah, bahwa dimengerti atau tidak itu hanya persoalan waktu. Sekarang mungkin belum (daripa mengatakan tidak sama sekali) mengerti, mungkin nanti. Toh setiap orang punya waktunya sendiri. Lagi-lagi aku mengingat perkataan temanku si pembalap gadungan itu, bahwa hal yang lumrah ketika kita mencoba untuk berpikir lebih visioner dan jauh ke depan, orang menjadi sulit menangkap apa yang kita maksud, karena semua itu belum ada dalam bayangan mereka. Bahkan bagi si visioner sendiri yang dia visikan itu belum tentu sesuatu yang benar-benar jelas. Orang yang visioner seringkali lebih membutuhkan dukungan untuk memperkuat keyakinan bahwa dia bisa menemukan cara untuk merealisasikan visinya itu. Dengan keyakinan itu si visioner punya kekuatan untuk trial and error dengan caranya. Dukungan keyakinan itu seperti jaminan toleransi bahwa dia bisa memiliki keleluasaan untuk menemukan caranya merealisasikan visi dan misinya itu.
Jadi kukira mengatakan hasta la vista pada orang yang kuanggap bisa tapi ternyata belum, seperti menaruh sebuah harapan bahwa 'kita mungkin suatu hari nanti akan bertemu lagi dalam situasi dan kondisi yang lebih baik. mungkin di titik ketika aku, kamu sudah bisa saling mengerti keinginan masing-masing. Jadi, sampai bertemu lagi, hasta la vista baby..
Terima kasih sudah bekerja keras dan memberikan yang terbaik yang kamu mampu selama berjalan bersamaku.
Comments
Salam rindu dari Bayreuth