Skip to main content

Perjalanan Kembali Pulang (Untuk Sahabat: Paskalis Trikaritasanto )




Beberapa menit setelah aku datang berhujan-hujan, membawa tumpukan screen sablon dan gembolan bersisi kaos-kaos kosong yang hendak di sablon. Kira-kira Pk. 17.00 WIB
"Kayanya gua jarang banget liat lu naik motor.."
"Masak sih? aku kan sehari-hari naik motor.."
"Lebih sering liat si Upi yang naik motor daripada elu.."
"Haha.. jangan-jangan kamu ketuker antara aku dan si Upi.."
Lalu kami tertawa bersama. Setelah itu dia kembali duduk di bangku depan tobucil, menunggu murid-murid bimbingan klab menulisnya datang dan aku kembali pada pekerjaanku memotong-motong stiker DJava.

Beberapa menit kemudian:
"Pey, itu siapa sih yang batuk, kok gitu banget.. papahnya Reni ya .. biasanya suka batuk heboh gitu.."
" Iya kayanya mba.."
Kami: aku dan Ipey, cekikikan mendengar suara batuk yang ga wajar itu. Sama sekali tidak menyadari bahwa itu bukan papahnya Reni, tapi teman kami, Paskalis.

Aku masih memotong-motong stiker DJava dan menonton film 'Cheri' saat wiku bertanya berapa nomor taksi. "7561234.." aku menyahuti dan belum menyadari apa yang terjadi. Tak lama kemudian, Upi masuk dan meminta bantuan, "Ri, bantuin angkat Paskalis, dia kejang-kejang.." Aku buru-buru keluar. Di gang kecil ke arah toilet luar tobucil, terjadi kehebohan. Paskalis sedang berusaha di gotong rame-rame. Kehebohan di tengah hujan yang lumayan lebat mengguyur. Pak Bangbang dari kantor sebelah menyiapkan mobilnya. Dan sekejap saja, Paskalis dan istrinya yang datang tepat di saat Paskalis terkena serangan kejang, berlalu menuju Rumah Sakit PMI yang paling dekat dengan tobucil. Wiku mengikuti dengan motor, menembus hujan.

Kurang dari setengah jam, Wiku mengsms-ku. Saat itu 18:15 Wib.
'len blm sadar uy.. minta doa na, nya biar supaya cpt sadar...' Aku buru-buru menyampaikan pada teman-teman meminta mereka berdoa untuk Paskalis. Tiga menit kemudian, 18:18 Wib, Wiku meneleponku. "Len, sudah meninggal, urang teu nyaho kudu kumaha?" Ternyata PMI tidak dapat menangani dan Paskalis buru-buru dilarikan ke RS Boromeus atas permintaan mba Wati, istrinya.

Aku, Eri, Upi, Nunu, bergegas menyusul Wiku ke Ruang UGD RS Boromeus. Belum banyak orang di situ. Wiku tampak kebingungan. Hanya ada dua laki-laki; teman dan saudara Paskalis dan mba Wati yang menangis tak sadar. Ku temani mba Wati. Aku sendiri tak tau harus bilang apa, aku hanya sanggup memeluknya dan menemaninya saja tanpa kata-kata.

"Ayah jangan tinggalkan bunda, bunda ga siap... ayo pulang, kasihan sophi..ayo pulang, kamu belum jauh, ayo kembali....bunda cinta ayah.. ayah yang tebaik buat bunda.. ayo kembali..mba.. panggil alis, suruh dia kembali, kasihan sophi mba.. aku ga siap ditinggal dia..."

Aku tau bagaimana perasaan mba Wati saat itu. Ku tatap Paskalis sudah terbujur kaku di tempat tidur UGD RS. Boromeus. Ku sentuh tangannya. Dingin. Rasa dingin yang sama seperti yang pernah kurasakan 14 tahun yang lalu, saat kusaksikan bapakku meninggal dalam genggaman tanganku. Paskalis temanku itu, benar-benar sudah pergi menyisakan kekosongan  dalam hati setiap orang yang ada di situ. Kemudian datang beberapa orang teman mba Wati dan Paskalis, meratap sedih kepergian Paskalis. Salah satunya menggantikanku menemani mba Wati. Aku butuh keluar dari ruangan itu, mencoba mencari tapak dimana aku bisa menemukan bobotku kembali. Di dalam kamar UGD itu, aku seperti ada dalam ruang kosong. Hampa tanpa bobot.

'Temanku kena serangan, kejang2 di tobucil, trus meninggal di perjalanan ke boromeus. Padahal sblmnya sempat ngobrol biasa. Aku ky hilang bobot begini...' sebuah sms ku kirimkan pada sahabatku si pembalap gadungan. 19:52, sahabatku itu meneleponku. Mendengar suaraku yang menyisakan isak, dia memutuskan datang menemaniku. Saat itu, sahabatku sedang di lab robotiknya yang tidak jauh dari RS Boromeus. 20:04. dia sudah sampai di UGD. Sahabatku itu ga kenal Paskalis. Tapi dia tau bagaimana rasanya tiba-tiba kehilangan bobot dalam situasi seperti itu. Ketika kami masuk ke ruangan itu, suster sedang membersihkan Paskalis dan bersiap-siap membawanya ke rumah duka, tidak jauh dari rumah sakit. Setelah jenazahnya dibawa ke rumah duka, kami memutuskan menyusulnya teman-teman lain dan kemudian ke rumah duka bersama-sama.

"Len, cerita gitu, biar saya ga bingung harus gimana."
"Aku juga bingung harus cerita apa.."
Sahabatku itu lalu mendekapku erat. Tidak lama, tapi cukup membuat kesedihan yang tertahan sejak tadi, luruh dan menemukan pijakannya. Perlahan-lahan, kekosongan itu terisi dan menemukan bobotnya kembali. "Yuk, kita makan dulu sambil nyusul temen-temenmu yang lain, kamu harus makan dan harus memutuskan apa yang mesti dilakukan selanjutnya".

Kami bergabung dengan Upi, Erie dan Nunu yang sudah terlebih dahulu makan di tukang nasi goreng depan RS. Sepanjang makan, sahabatku itu bercerita tentang bagaimana dia menghadapi kematian ayahnya dulu, juga mahasiswanya yang tiba-tiba terkena serangan epilepsi. Sahabatku ini, tidak sesentimentil aku dalam menghadapi kematian. Sikapnya yang ringan menghadapi situasi seperti itu dan keputusannya untuk hadir dan ada bersamaku pada saat itu, membantuku dengan cara yang sulit terjelaskan untuk menemukan bobot ditengah ruang kosong yang hadir seiring kepergian Paskalis.

Setelah makan kami ke rumah duka. Bertemu keluarganya yang meminta penjelasan tentang saat terakhir kehidupan Paskalis, karena sebagian orang menyangka Paskalis meninggal karena kecelakaan. Sesudahnya kami berpamitan dengan keluarganya. Aku dan sahabatku berpisah di tempat parkir Rumah Sakit. Ia kembali ke lab robotiknya, aku dan teman-teman lain kembali ke tobucil.

Di tobucil, kekosongan itu terasa mengambang. Bangku di depan tobucil yang beberapa jam lalu masih diduduki Paskalis, tasnya, motornya yang terparkir di halaman tobucil. Semua hadir tapi dengan rasa yang kini kosong, karena Paskalis pergi meninggalkannya tiba-tiba. Aku memutuskan pulang. Memasang kabar duka cita di status fb tobucil dan setelah itu badanku tak sanggup lagi untuk terjaga. Aku lelap sementara tubuhku bekerja keras, memulihkan diri dari kelelahan fisik dan mental yang mendera sepanjang hari.

***

Tadi pagi:

Tanto membangunkanku dengan telepon. Kepalaku pusing, ternyata jejak kekosongan itu masih ada meski dekapan sahabatku juga masih terasa. Dan aku  masih ada di sini, kembali ke tobucil. Sementara kamu, Paskalis, sudah kembali pulang, kehadapan Sang Pencipta.

***

Untuk Paskalis Trikaritasanto (13 april 1974 — 26 november 2009). Ketulusanmu, dedikasimu dan komitmenmu pada klab nulis tobucil & klabs, abadi selalu di hatiku, di hati setiap anggota klab menulis. Terima kasih untuk hidup dan kehadiranmu di hati kami. Selamat jalan sahabat. Selamat kembali pulang ke kerajaanNya.

***

[Yus, terima kasih kamu sudah hadir menemaniku]

Comments

Sustiwi said…
Terima kasih untuk ringkasan perjalanan kembali pulang Paskalis...
Saya jadi tau bagaimana peristiwa sebenarnya...mungkin ini semua jawaban yang menjadi pertanyaan saya ketika Paskalis sehari sebelum wafatnya bilang pada saya bahwa dia ingin menjadi "malaikat"...dia sudah melepaskan semua perasaannya termasuk perasaan cintanya...

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah