Skip to main content

Setelah Merasa Kehilangan, Lantas Apa?


Purnama di Aceh 56. Foto: vitarlenology 

 'Kenapa semua datang  beruntun, yang satu mengundurkan diri, yang satu meninggal, tiba-tiba itu semua jadi pertanyaan di kepalaku.'
'Yah.. nasib aja no more no less, biar km tambah hebat :)'

***

Rasanya memang seperti hang over berkepanjangan, meski sahabatku bilang, 'Jangan lama-lama berkabungnya ya.. :D', tapi setiap peristiwa kehilangan selalu meninggalkan jejak traumatiknya. Bukan hal yang mudah juga untuk menjelaskan, sebelah mananya yang bisa membuat merasa hang over berkepanjangan itu. Istirahat yang cukup, makan yang enak-enak, masak buat temen-temen yang seneng di masakin, ngeblog, mungkin bisa membantu mengurangi 'hang over' itu, tapi ya ga serta merta menghilangkannya secara cepat. Tergantung seberapa berat 'hang over'nya.

Aku sendiri ga tau, apa yang sebenernya aku rasakan. Apakah kesedihan itu karena temanku yang meninggal? Atau aku teringat pada kehilangan atas kematian 14 tahun lalu dan aku butuh 12 tahun untuk menyembuhkannya? Bisa jadi aku sedih karena meratapi diriku sendiri. Bukan karena orang yang pergi meninggalkanku. Karena bisa jadi mereka sebenernya udah ga ada urusan lagi denganku. Apalagi mereka yang meninggal. Sudah sibuk dengan ruang dan waktu mereka sendiri. Jadi apa sesungguhnya rasa sedih, traumatik, gloomy, ketika tau bahwa di hati ini ada bagian ruang yang tiba-tiba kosong karena penghuninya tidak lagi bisa aku jumpai. Rasa takut bahwa setelah orang itu pergi meninggalkanku, kenangannya akan memudar seiring waktu? lalu apakah kesedihan bisa jadi alat untuk mengawetkannya? Tapi rasanya juga, setelah melewati proses penyembuhan yang panjang selama 12 tahun, kesedihan bukanlah metode yang ampuh juga mengawetkan kenangan atas orang yang meninggalkanku.

Bukan. Bukan kesedihan. Kesedihan sendiri bergerak, berubah seiring waktu, dia menjalani proses 'meruang' menemukan bentuknya yang baru, berinteraksi dengan waktu dan kehidupan. Kesedihan bukan bahan pengawet mujarab untuk menyimpan kenangan orang yang pergi. Atau kemarahan? Rasanya bukan juga. Kemarahan sama saja dengan kesedihan. Selain meruang dia juga bersifat korosif. Jadi boro-boro mengawetkan. Kemarahan dan kesedihan justru mengikis kenangan itu sendiri.

Setelah orang-orang yang aku sayangi pergi, lantas apa?

Aku sedang menimbang-nimbang perkataan sahabatku si pembalap gadungan itu, bahwa mungkin ini memang nasib, tidak lebih dan tidak kurang.Tanpa bersusah payah mengupayakannya, nasib senantiasa datang dengan sendirinya. Begitu juga dengan kehilangan. Siapa yang benar-benar menginginkan kehilangan? ku rasa tak pernah ada yang menginginkannya, tapi siapa yang benar-benar bisa menghindarinya?  tidak ada juga. Lalu bagaimana nasib itu bisa diterima tidak kurang dan tidak lebih? pas sesuai dengan takaran? bagaimana menakarnya? bagaimana mengetahui bahwa itu tidak kurang dan tidak lebih? aku tidak tau. Aku sedang mencari tau. Meskipun mungkin tanpa aku sadari aku tau, tapi aku ga ngerti aja. Dua belas tahun menjalani proses penyembuhan dari rasa kehilangan, bukan berarti aku mengerti. Buktinya setiap kali mengalami kehilangan, selalu saja memberi lubang di hati yang aku sendiri ga ngerti, kok bisa berlubang lagi. Meski lubangnya beda-beda, tapi tetep aja rasanya ada yang bolong dan butuh ditambal. Lama atau sebentarnya, bergantung dengan lubang yang ditambalnya.

Hidup mungkin akan memberikan kehilangan-kehilangan yang lain yang membuat aku menjadi sedikit lebih mengerti atau mungkin malah semakin tidak mengerti perkara kehilangan ini. Mungkin menakar yang nasib yang tidak lebih dan tidak kurang itu, hanya bisa dengan merasakannya. Ketika kehilangan itu, tidak menimbulkan kemacetan menjalani hidup, membunuh cita-cita, menimbulkan alergi baik gatal-gatal maupun batuk-batuk atau hidung meler terus menerus, atau tidak mengakibatkan gejala-gejala culang- cileung, cileupeung, cineuteung, cirambay, cineungneung.. itu tandanya kehilangan yang menjadi nasib itu ada pada takaran yang pas, tidak lebih dan tidak kurang,

....mungkin... aku hanya menduga-duga..

Comments

I. Widiastuti said…
mbak...pelukan bulan dan pearl jam campur nirvana memang teman yang tepat ya :) seperti susu jahe sehabis hujan.
vitarlenology said…
bener suara eddie vedder itu tebel kaya selimut yang membungkus rasa sedih dan kosong, jadi hangat dan penuh..:)

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah