Skip to main content

Jangan Katakan 'Tidak Bisa' Padaku, Sebelum Kau Mencobanya


'head inside the box' foto by vitarlenology, 2009

Apa yang harus kulakukan, ketika menghadapi seseorang yang kutawari sebuah kesempatan untuk berkembang (tentunya dengan keyakinan bahwa dia bisa melakukannya), tapi jawaban yang kudapatkan adalah "saya ga mau. Ga aja, karena perasaan saya mengatakan demikian. Takutnya nanti kalau dipaksakan malah merusak semua yang sudah saya kerjakan." Aku tentu saja marah tapi lebih besar merasa kecewa karena aku tidak menyukai sikap menyerah sebelum mencoba.  Bagaimana jika perasaannya itu disesatkan oleh ketakutan untuk mencoba hal baru?  Rasanya seperti sebuah harapan baik di runtuhkan oleh ketakutan keluar dari zona aman. Apalagi jika jawaban itu datang dari orang yang aku yakin bahwa dia bisa melakukannya dan selama ini aku memberinya kesempatan untuk belajar dan melakukan kesalahan. Aku punya cukup banyak toleransi untuk kesalahan dalam belajar daripada penolakan sebelum mencoba.  Lalu sahabatku si pembalap gadungan itu bilang '.. hey c'est la vie.. been there done that! and I ain't regret it.. if they can't manage with my way (which I believe it's for they own goodness in the future).. hasta la vista sucker!' 

Dalam sebuah kelompok kerja, tidak mudah membuat setiap anggota kelompok bisa dengan mudah bergerak senantiasa sebagai bagian dari dinamika merespon perubahan dan perkembangan yang ada. Jauh lebih mudah jika setiap orang bisa menemukan ritme peregerakannya dalam dinamika kelompok, meski mereka bergerak pelan daripada satu pihak memutuskan diam di tempat karena takut keluar dari lingkaran kenyamanannya. Apalagi jika yang dilakukan oleh kelompok ini adalah sebuah pekerjaan dimana kelompok itu sendiri yang mesti menemukan sistem, cara dan aturan mainnya sendiri untuk sebuah misi yang disepakati bersama.

Sebagai team leader, tentunya untuk sampai pada keputusan 'hasta la vista loser..' ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, untuk memberi nilai pada keputusan itu: apakah putusan itu menjadi 'adil' atau emosional belaka. Dalam hal ini, aku berusaha keras mengesampingkan rasa kecewa atas penolakan itu, egoku yang merasa ditolak otoritasnya coba menyisih dulu, dan rasionalitasku mengemuka untuk menemukan jalan membela kepentingan yang lebih besar: tujuan dari kerja bersama dalam kelompok ini.  Apakah penolakan ini akan berdampak pada kekacauan sistem kerja dalam kelompok? kontra produktif dengan visi, misi dan tujuan yang hendak di capai? atau secara sistemik tidak berdampak apa-apa, hanya ego pribadi sebagai team leader saja yang terusik? Jika ternyata yang pertama, tentu pertimbangan dari anggota kelompok yang lain yang merasakan dampak dari 'ketakutan yang tak beralasan itu', perlu memberikan pandangannya. Jalan apa yang mesti di tempuh untuk menghadapi sikap anggota kelompok yang seperti itu. Prosedur apa yang disepakati untuk memastikan bahwa hal ini jangan sampai mengganggu  kerja dan pencapaian anggota kelompok yang lain. Lalu pilihan-pilihan apa saja untuk menyelesaikan masalah ini. Dari pilihan yang terbaik menurut kelompok sampai yang terburuk: 'hasta la vista ..'

Dalam situasi seperti ini, team leader bertindak seperti hakim yang menyelesaikan dan memutuskan. Untuk itu, semua rasa marah dan kecewa harus bisa diselesaikan terlebih dahulu. Tentunya aku mesti memahami dimana posisiku sesungguhnya. Sahabatku si pembalap gadungan mengingatkanku dengan dua pertanyaan: 'should I step back right now or this is my kingdom and I'm the queen?'. Dua-duanya sama mengandung resiko yang pertama: penolakan satu jika dibiarkan akan menimbulkan penolakan-penolakan lain. Ini bukan sekedar persoalan menegakkan otoritas, tapi bagaimana belajar mempertahankan keyakinan dengan argumentasi yang bisa diterima.  Sebuah tim yang dibangun dari gagasan yang lemah secara argumentasi akan sulit untuk menemukan dan membangun karakternya sendiri. Yang kedua resikonya seperti yang diingatkan sahabatku: 'prepare for another addition in your enemy list. Untuk resiko ini, rasanya aku sudah terbiasa menghadapi situasi dimana tidak semua orang setuju dan mengamini keputusanku. Ada bagian dari ketidak setujuan itu yang bisa aku simpan sebagai modalku membangun argumentasi dari keputusan-keputusan yang aku ambil, tapi sebagaian besar dari ketidak setujuan itu justru memberikan peluang bahwa tidak semua orang memilih apa yang aku pilih, karena itu lakukanlah tindakan yang tidak disetujui semua orang itu dengan sebaik-baiknya. Temukan argumentasi yang bisa memberi pandangan lain pada orang-orang mulanya tidak setuju menjadi 'sedikit setuju' karena menemukan cara pandang yang berbeda atas keputusanku. Itu yang akan membuat musuh-musuhmu sekalipun menaruh hormat padamu (setidaknya pelajaran hidup seperti ini banyak kutemukan ketika menonton kehidupan para kriminal: Godfather, The Sopranos). Dengan mengerti resiko-resiko ini, kurasa kemarahan dan rasa kecewa akan menemukan argumentasi rasionalnya jika aku paham dan sadar betul diposisi mana aku berdiri.

Baiklah. Rasanya yang pertama harus kulakukan untuk mengahadapi penolakan ini adalah: menjelaskan kembali, mengapa aku memberinya sebuah penawaran dan meminta sebuah perubahan sudut pandang darinya. Menjelaskan alasan mengapa hal itu penting dilakukan untuk mencapai visi, misi dan tujuan bersama yang telah disepakati. Sekaligus juga menegaskan kembali tugas dan otoritas masing-masing. Tak lupa  menjelaskan apa resiko dan konsekuensi dari penolakan itu dan  jika akhirnya dia bisa bersepakat dan menerima tawaran itu, selanjutnya aku akan memberikan jaminan dukungan apa saja yang bisa dia dapatkan dariku sebagai team leader dan dari anggota kelompok lainnya. Hal yang paling diperlukan  untuk menemukan kesepakatan bergerak  bersama-sama dalam sebuah dinamika kelompok adalah keterbukaan termasuk terbuka dalam hal kelebihan dan kekurangan masing-masing dan tentunya  terbuka untuk bekerjasama serta menyadari dirinya bagian dari kelompok kerja bersama. Semua sama-sama belajar, semua sama-sama saling menguatkan dan mendampingi untuk menemukan kekuatan dan mengalahkan rasa takut untuk menemukan kebaruan-kebaruan dari cara melihat. Percayalah, semua yang kau takutkan itu, tidak semenakutkan yang kamu kira saat kau mencoba menjalaninya.

Namun, jika semua upaya itu hanya membuat kamu semakin bertahan dengan penolakanmu, with all due respect I'll said: 'hasta la vista, baby..'


thanks yus, you're god damned right.. xoxo!

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah