Skip to main content

This is It (2009)


**** 1/2

Dua kali nonton film ini, di Bandung dan di Jogja. Dua-duanya tetap membuatku terharu. Ternyata bukan hal yang mudah menjadi 'King of Pop' dan sampai akhir hayatnya ke 'perfeksionisan' Michael Jackson (MJ) dalam mengemas pertunjukkannya, menjadi bukti bahwa gelar yang dia sandang itu bukan serta mereta menempel tanpa tanggung jawab.

Semula film ini dimaksudkan MJ sebagai film yang akan dipersembahkan buat ketiga anaknya. Dokumentasi pribadi yang juga luar biasa. Namun dengan kematiannya 18 hari sebelum konser This is It, film dokumentasi proses persiapan dan gladi resik konser ini, menjadi penting bukan hanya bagi para penggemarnya, manum bagi semua orang yang ingin melihat sisi lain MJ. Semua kru yang bekerja bersama MJ, mengakui bahwa MJ adalah sosok yang sangat bersahaja dan lembut. Aku dan mungkin penonton lain bisa merasakan dibalik ke perfeksionisannya, MJ adalah sosok yang rapuh. Seperti patung porselein yang lembut tapi mudah pecah. Kedikdayaan dirinya dibangun dari kerapuhan jiwanya dan banyak kegetiran hidup yang harus ia lalui. Sangat terasa ketika bekerja bersama dengan para kru, MJ dipenuhi dengan rasa welas asih. Mengganggap bahwa semua orang yang mendukung pekerjaannya adalah satu keluarga dan semua bekerja berlandaskan rasa cinta dan saling menghormati. Film yang di sutradarai Keny Ortega ini memperlihatkan bagaimana setiap lagu yang rencananya akan dibawakan MJ dalam konser This is it, di persiapkan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras dari semua kru yang terlibat. This is It menjadi film dokumenter konser paling laku dalam sejarah perfilman dunia.

Menonton This is It membuatku menyadari, menjadi sosok yang inspirasional itu sama artinya bekerja keras berkali-kali lipat dari orang kebanyakan. Ketulusan dan perjuangan untuk berusaha tulus dengan kerja keras itu yang menentukan keabadian dari inspirasi itu. Badan boleh terkubur dalam tanah, tapi yang membuat seseorang selalu hidup adalah inspirasinya. Dan kurasa sepanjang hidupnya MJ bekerja keras untuk itu. Film ini membuktikannya.

Comments

Budi Warsito said…
Saya juga nonton 2 kali, Tarlen! Satu kali bareng orang Bandung, satu lagi bareng orang Bandung dan orang Jogja. Dan ya, mengharukan. MJ bilang "It's an adventure. It's a great adventure. We want to take them places that they've never been before. We want to show them talent like they've never seen before." Dia benar.
vitarlenology said…
iya.. meski apa yang dia lakukan itu sangat nge-pop, tapi karena dia melakukannya dengan total, tetep aja jadi karya seni yang sulit dilupakan para penggemarnya.. dia sangat layak dapat sebutan king of pop..
MIGOMAGI Brand said…
Wah...harus nonton juga nih...
Tapi dari konser-konsernya, saya juga memang sudah sangat kagum sama MJ, ya betul totalitas adalah padanan kata yang tepat buat ngegambarin sosoknya.

Ataedun,
Migomagi Brand

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah