Skip to main content

Nostalgia Kebersamaan Sekawanan Menjelang Umur Mereka yang Ke-40 Tahun


'cukup  mooi indie ga?' foto by vitarlenology

Malam minggu kemarin, aku menjumpai sahabatku si pembalap gadungan di lab robotiknya. Meski hujan mendera-dera sepanjang siang sampai malam, tak mengurangi semangatku menjumpainya. Kangen saja berjumpa dengannya. Coklat panas menemani kami, berbagi cerita tentang hidup  masing-masing sebulan terakhir ini. Tiba-tiba, hp sahabatku berdering. Teman-teman lamanya waktu di UKM Teater mahasiswa dulu, datang mengunjunginya di lab. Aku hadir, menangkap kisah sekelumit masa lalu sahabatku yang sedang mengumpulkan semangatnya untuk menulis desertasi doktornya itu. Sambil aku jadi tau kisah-kisah kegilaan UKM teater Institut paling kondang di negeri ini.

Pertemuan kawan lama, tentu tak jauh dari kisah-kisah nostalgia. Mengenang kembali kejadian-kejadian 'lucu' dan kegilaan-kegilaan yang pernah dilakukan. Singkat kata, tiga orang teman sahabatku itu kembali mengenang-ngenang indahnya kebersamaan mereka di UKM yang sangat mereka banggakan itu. Dan aku sebagai orang yang tidak terlibat dalam kesejarahan mereka, mengambil peran sebagai pendengar. Mulai dari kisah-kisah yang biasa-biasa sampai yang ganjil sama sekali.

Sepintas dari yang mereka kisahkan, hidup tiga orang teman sahabatku itu nampaknya bisa dibilang lumayan mapan. Yang dua membuka jasa konsultan bisnis dan yang satu bekerja di sebuah pertambangan dengan gaji ribuan dollar perbulannya. Sabahatku, di mata teman-temannya tentu saja dianggap orang sukses dengan prestasi robotiknya. Tanggal 10 November lalu, Slamet Rahardjo mewawancarai sahabatku di sebuah stasiun televisi dan menyebutnya sebagai pahlawan Indonesia moderen. Sahabatku, tentu saja ngakak-ngakak, tapi dalam hati saja. Dia tidak merasa seperti itu. Semua sorotan yang tiba-tiba berlimpah ruah datang kepadanya, ditanggapinya dengan sangat santai. Dan aku yakin sahabatku ini bisa terhindar dari krisis eksistensi di usia 40-an nanti.

Udara dingin dan hujan, membuat kami semua merasa lapar dan memutuskan untuk pergi keluar dan makan malam bersama, tidak jauh dari lab robotik sahabatku itu. Saat makan, barulah aku tau maksud dari kunjungan tiga orang teman sahabatku itu. Atas dasar rasa rindu akan suasana kebersamaan yang membentuk mereka sedemikian rupa di UKM Teater itu, teman-temannya mengajak sahabatku membuat 'sesuatu' bersama-sama lagi. Bahkan mereka ingin menyatukan kembali teman-teman lama mereka di UKM itu untuk membangun kembali sesuatu bersama-sama. Bagi mereka dan tentu juga sahabatku, apa yang telah dilalui bersama di UKM Teater itu memberi pengaruh yang cukup besar pada kehidupan mereka saat ini. Semua kegilaan-kegilaan yang pernah mereka lakukan dan kultur komunal yang membentuk mereka, seperti sebuah training camp kehidupan yang meskipun singkat, tapi penting artinya bagi hidup mereka masing-masing.

Aku menyimak gagasan yang ditawarkan teman-teman sahabatku itu. Sangat abstrak sih. Sahabatku itu berkata padaku saat teman-temannya pulang, 'ga kebayang aja gimana cara mewujudkannya.' Aku ga akan membahas gagasan apa itu, karena bisa jadi gagasan itu masih di rahasiakan. Lagi pula yang menarik buatku sebenernya soal nostalgia kebersamaannya itu. Karena aku memperhatikan nostalgia kebersamaan ini terjadi bukan hanya pada teman-teman sahabatku saja, tapi juga di beberapa kelompok pertemanan yang pernah aku jumpai. Kekompakkan yang pernah dialami pada suatu masa di waktu muda, lalu ketika beranjak tua, merindukan kembali suasana itu. Lantas bermimpi bisa mengulanginya kembali dengan membangun proyek atau bisnis bersama. Banyak yang 'gagal' mengulang, karena setiap orang yang pernah begitu kompak itu bertumbuh. Berubah. Berkembang sesuai waktu dan hidup yang dijalaninya. Dan bukankah kekompakan itu sendiri bergerak mengikuti konteksnya?

Aku hanya kepikiran aja soal nostalgia kebersamaan itu. Salah satu sepupuku pernah punya gagasan yang kurang lebih sama dengan teman-teman sahabatku itu: membangun usaha keluarga, untuk meminimalisir 'gap' ekonomi  dan kesejahteraan sosial antara sepupu-sepupuku yang lain dan tentu saja dengan semangat nostalgia kekompakkan kami di masa kecil dulu. Niatnya pengen sama rasa sama rata. Tapi kemudian niatnya bubar di tengah jalan, ketika sadar bahwa menyamakan 'akselerasi' langkah antar sepupu-sepupuku saja hal yang luar biasa sulitnya. Meski seketurunan, namun sejarah kami pada perkembangannya dipisahkan oleh konteks yang berbeda arah satu sama lain. Ya, memang betul saat kecil dulu kami sedemikian kompaknya dan menghabiskan banyak waktu bersama, tapi setelah kami sama-sama bertumbuh, kami menempuh sejarah kami masing-masing. Ketika dipertemukan lagi, rasa kekompakkannya tak pernah lagi sama. Bahkan bagiku pribadi, banyak garis terputus yang aku kenali (belum tentu aku pahami) dari hidup sepupu-sepupuku itu.

Mungkin teman-teman sahabatku itu juga sama bingungnya dengan sahabatku tentang bagaimana mengulang kisah sukses kekompakkan mereka membangun sesuatu seperti yang pernah mereka lakukan di UKM teater di masa muda dulu. Jika mereka berhasil merekonstruksi kembali perjalanan kekompakkan itu, aku yang cenderung ga yakin kekompakkan yang sama bisa terulang untuk kedua kalinya, bisa meralat pandanganku itu. Setidaknya bisa memberikan sedikit harapan keberhasilan yang sama, jika ada contoh sukses.

Satu hal lagi yang terdengar mengelikan di telingaku, ketika teman-teman sahabatku ini berkata: 'ya kita perlu melakukan ini sebelum umur 40, kan life begin at forty.' Tiba-tiba aku langsung teringat tulisanku dengan judul yang sama. Aku malah jadi menduga-duga, jangan-jangan dorongan melakukan sesuatu bersama-sama kembali itu atas dasar nostalgia kebersamaan berkaitan dengan gejala-gejala krisis di usia 40-an? Mmmm..

what do you think, yus?

dan aku bisa membayangkan, seorang teman yang tidak setuju jika hal-hal seperti ini aku hubung-hubungkan dengan soal krisis usia 40-an..hehehe.. karena dia udah 41 tahun dan merasa bahwa dirinya selalu baik-baik aja... padahal... meneketehe..

Comments

pikircerdas said…
Bagus 'len, as usual kamu bisa nangkep hal-hal yang aku pikirkan tanpa perlu dibicarakan..jauh lebih "vokal" dari yang aku omongin malah..terimakasih teman!

hehehe..life begins at forty? saya malah mikir life ends at forty :)
Karena pada umur 40an biasanya orang jadi merasa mapan secara pemikiran, mulai sulit menerima ide baru dan jelas tidak mau merombak struktur pemikiran yang sudah dia bangun sebelumnya...satu hal yang aku sangat takutkan...kalaulah aku bisa bebas, ruang pikiranlah tempatnya! bisa berubah-dibongkar-disusun ulang-mapan-berubah lagi dan seterusnya hingga lingkaran dialektika pemikiran terus berputar..inilah kemewahan yang aku perjuangkan terus menerus.

But we can't defy nature..aku yakin suatu saat nanti akan berubah menjadi ajeg, mapan (istilah keren untuk "sulit menerima perubahan"), menjadi ikon yang aku lawan saat ini...jadi doakan aku mati sebelum masa itu terjadi.

Good guys die young...jadi kalaulah aku berumur panjang, berarti aku bukan orang baik-baik? Hwahahahaha...
vitarlenology said…
heu euh.. makanya kerinduan akan kegilaan-kegilaan di masa muda, menjadi semakin utopis di usia-usia menjelang 40-an,karena realitanya hampir mustahil mengulang hal itu kembali jadinya kenangan-kenangan itu terus menerus dipelihara untuk memberi harapan 'siapa tau kebebasan dalam kegilaan-kegilaan masa muda itu bisa dilakukan kembali meski dalam format yang beda..'

hahahah.. gawat nih kalo kita matinya deketan trus ketemu lagi di alam sana(aku juga selalu merasa akan mati sebelum 40 tahun).. bisa bikin pusing malaikat dengan banyak pertanyaan-pertanyaan ga jelas.. hahahah..
zen said…
baca ini jadi teringat "aroma proust-ian" :D
vitarlenology said…
zen: wuaah.. proust-ian ya.. mmm.. sedang mencoba mengendus-ngendus dari aromanya..

thanks ya sudah berkunjung.. :)

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...