Skip to main content

Tiga Belas Hari


foto oleh vitarlenology

Malam terakhir bersama wajah-wajah polos memanggilku tante. "Jangan pulang tante, tinggal lah lebih lama lagi.."
Maaf sayang, aku harus pulang, kembali bekerja. Menyelesaikan urusan-urusan di rumah kecilku itu. Aku segera kembali menjumpai kalian lagi. Love you so much.

Tiga belas hari, menemukan remedy, perdamaian baru dengan diri.
Mungkin tugasku adalah mendampingimu menemukan keputusan yang salah, hingga kau bisa menarik pelajaran dari pengalaman itu. Meski urusan belajar bukan tanggung jawabku. Kamu yang memutuskan akan mengambil pembelajaran itu atau tidak. Aku hanya cukup mengantarkanmu saja.
DJava memberi kunci petualangan baru pada pemahaman proses kreatif yang selama ini selalu menakjubkan untukku: bagiamana bisa partitur-partitur itu menjelma menjadi musik klasik yang sedemikian rupa. Memanageri konser Jawa Bali, terlibat dalam proses produksi konser, membuatku semakin yakin, keindahan yang hadir senantiasa, kapanpun kehadiran itu diinginkan, tidak akan mungkin terwujud tanpa kerja keras. DJava, the most promising string quartet in this country, aku beruntung mendapatkan kesempatan luar biasa memanageri kalian. Kalian menginspirasiku dan memberiku kebaruan-kebaruan, banyak.
Kebaruan-kebaruan itu adalah pilihan. Dan aku memilih mendapatkannya sebanyak mungkin (rasanya tak sabar menunggu saatnya perjalanan bersamamu tiba. Maret 2010. Aku dan umurku yang ke 33 bersamamu menjejak Phuket. Lalu kita akan berkata pada diri kita masing-masing; aku akan kembali menikmati indahnya sore dan udara sejuk Volunteery Park dan kamu kan sampai di negeri Paganini, menyambangi makamnya memberi hormat pada inspirasinya padamu.
Lalu perdamaian juga berarti mengahadapi kejawaan yang lekat dan inheren itu.
Seperti meralat penyangkalan identitas dan aku sedang mempersiapkan diriku di tahun depan, menghadapinya face to face, kejawaanku itu.

Aku kan pulang, menjumpai meja kerjaku. Menjumpai rumah kecilku dan seluruh penghuninya.
Menyongsong teman-temanku. Aku rindu coklat panas toko coklat bersama pembalap gadungan. Aku rindu pasar baru dan gang tamim bersama Mei. Aku rindu warung purnama bersama cicik. Aku rindu jendela kamarku. Aku ingin memeluk ibuku. Aku merindukan kota yang kualami dengan kecintaan dan kebencian.


Setelah pulang nanti, aku akan kembali merindukan berbaring di kamar ini lagi. Bermain bersama kalian lagi.

Bahkan Meener Jansen, tak sabar menunggu kepulanganku:
Welcome home neng!
Not yet. I'll be home on this friday.. :D

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah