Skip to main content

#30hari30film The Art of The Steal (2009): Negara dan Perebutan Koleksi Karya Seni

* * * * 

Jika beberapa minggu lalu, majalah Tempo sempat menurunkan laporan utama tentang skandal lukisan palsu milik kolektor seni terkemuka di Indonesia, Dr. Oei Hong Djin,  dokumenter ini juga berkisah tentang skandal koleksi karya seni moderenisme dan pos impresionisme ternama yang secara sistematis diambil alih oleh negara.

Adalah Dr. Albert C. Barnes, seorang pencinta seni yang memiliki koleksi karya dari seniman-seniman moderenisme dan impresionisme dunia seperti Renoir, Cezanne, Matisses, Picasso, Modigliani. Total koleksinya Albert Barnes berjumlah sekitar 9000 karya yang nilainya mencapai $ 25 juta dolar. Semasa hidupnya Barnes menyimpan seluruh koleksinya itu di kediamannya di Lower Merion. Semasa hidupnya, Barnes lebih menyukai membukakan pintu kepada masyarakat biasa: pelajar, mahasiswa. tukang ledeng, masyarakat kelas bawah yang ingin menikmati karya seni koleksinya itu daripada kalangan elit yang menurut Barnes tidak cukup tulus untuk menikmati seni sebagai seni, bukan sebagai prestise tertentu. Sebelum meninggal karena kecelakaan di tahun 1951, Barners menuliskan di surat wasiatnya tentang bagaimana nasib koleksinya tersebut setelah dia meninggal. Mengingat Barnes tidak memiliki anak atau ahli waris yang bisa diserahi koleksi karya seninya yang sangat berharga itu.

Masalah di mulai ketika The Barnes Foundation, yayasan yang dibentuk untuk mengelola koleksi karya seninya itu, tidak sanggup lagi membiayai perawatan dan pengelolaan rumah Barnes yang di jadikan museum pribadi dan terbuka untuk umum. Masalah lain yang muncul juga adalah para tetangga di sekitar kediaman Barnes merasa terganggu dengan aktivitas museum yang seringkali parkir dan keramaiannya dianggap mengusik kenyamanan di sekelilingnya. Belum lagi perpecahan suara yang terjadi di dalam yayasan itu sendiri tentang langkah-langkah apa yang harus di tempuh untuk menyelamatkan koleksi itu tanpa menyalahi surat wasiat yang sudah ditulis Barnes. 

Persoalannya bertambah pelik, ketika ada pihak-pihak lain seperti saingan bisnis Barnes yang merasa berkepentingan untuk mengambil alih koleksi ini setelah Barnes meninggal. Dalam tubuh yayasan sendiri terjadi persaingan kuasa, pihak-pihak yang semestinya memiliki hak untuk mengelola aset koleksi Barnes, seperti Lincoln University, 'disingkirkan' sehingga suaranya tidak lagi memiliki pengaruh. Upaya-upaya yang dianggap sebagai penyelamatan, kemudian dicurigai sebagai usaha untuk merebut aset tersebut tanpa mempedulikan wasiat yang ditulis oleh Barnes. 

Bukan hanya itu, negara bagian lewat keputusan gubernur Pennsylvania, Edward G. Rendell, ikut mendesak pihak-pihak yang ditunjuk oleh surat wasiat untuk mundur dalam penentuan nasib koleksi berharga Barnes ini. Sampai akhirnya di tahun 2007, pemerintah kota Philadelphia mengambil koleksi Barnes dan memindahkannya ke museum kota dan dipamerkan sebagai koleksi kota Philadelphia. 

***

Persoalan yang diangkat dalam dokumenter ini masih kontroversial hingga kini. Kelompok yang berpihak pada isi surat wasiat Barnes, merasa koleksi tersebut di rampas dengan cara yang sangat sistematis oleh sebagai pihak yayasan atas dukungan negara bagian dengan aturan-aturan yang dibuat untuk melegitimasi pengambilalihan koleksi itu. Don Argott, sang sutradara, dianggap berat sebelah dalam memandang persoalan ini. Ia dianggap tidak memberi kesempatan pada pihak-pihak yang 'dituduh' berkonspirasi dalam pengambil alihan koleksi karya seni tersebut. Namun Argott membantah, dalam filmnya ia berusaha memberi sebanyak mungkin pandangan mengenai persoalan ini dan menyerahkan kesimpulannya kepada pemirsa. 

Bagiku, dokumenter ini seperti laporan investigasi yang mencoba menguak duduk perkaranya sejelas mungkin. Persoalan dimana titik pijak perkara itu dibedah, itu perdebatan yang lain. Kurasa, sama seperti investigasi yang di tulis di majalah Tempo, film ini juga mampu membuka pandangan yang berbeda tentang perkara siapa yang berhak mengapresiasi sebuah karya seni dan juga persoalan kapital serta investasi yang selalu membayang-bayangi ketulusan apresiasi. Namun masih adakah ketulusan dalam mengapresiasi sebuah karya seni?

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Perjumpaan Cara Pandang Berbeda Dalam 'Kultur Membuat'

Jika dirunut lebih jauh kultur membuat ini, sesungguhnya tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan   keseharian sejak dahulu kala. Semua pengetahuan tradisional (di barat dan di timur) dengan teknonologi sederhana, aplikatif dan kebijaksanaan terhadap lingkungan sekitarnya, menciptakan gaya hidup yang seimbang lahir, batin juga dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan cara untuk menemukan keadilan hidup yang selaras dengan lingkungan. ‘Membuat’ bukan semata-mata memenuhi tuntutan seseorang untuk menjadi ‘produktif’, namun lebih jauh dari itu, ‘membuat’ membangun ideologi dan pemenuhan diri secara spiritual dimana ‘membuat’ memberi perasaan berdaya kepada setiap individu yang melakukannya. Membuat juga menciptakan pemahaman akan proses yang membutuhkan waktu, tolerasi atas kegagalan, juga kesadaran bahwa sesuatu itu tidak bisa diperoleh dengan cara instan. Sikap seperti ini yang menumbukan kemampuan untuk menjaga diri dari keserakahan. Nam...